Komisi Pemberantasan Korupsi didorong untuk tidak hanya menindak kepala daerah dan perantara suap. KPK juga hendaknya berani menindak perusahaan yang menyuap kepala daerah.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah menjalani pemeriksaan sejak Kamis (25/7/2019) malam, Umar Ritonga, buronan kasus suap terhadap mantan Bupati Labuhan Batu, Sumatera Utara, akhirnya ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
”UMR ditahan 20 hari pertama di rumah tahanan cabang KPK di K4 (di belakang Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan) terhitung hari ini, Jumat (26/7/2019), hingga 14 Agustus 2019,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Jumat (26/7/2019).
Umar tiba di Gedung KPK pada Kamis (25/7/2019) sekitar pukul 23.06 dan langsung menjalani pemeriksaan. Tim KPK menangkap Umar di rumahnya di Labuhan Batu dengan bantuan pihak Kepolisian Resor Labuhan Batu.
Sebelumnya, Umar ditetapkan sebagai buron karena telah kabur selama satu tahun terakhir dari pemanggilan KPK. Umar menjadi salah satu anak buah Bupati nonaktif Labuhan Batu, Sumatera Utara, Pangonal Harahap, yang membantu menerima suap dari Direktur PT Binivan Konstruksi Abadi Efendy Sahputra alias Asiong.
Tindakan korupsi Pangonal dilakukan secara berkala dari tahun 2016 sampai 2018. Ia disebut menerima suap yang diberikan oleh peserta lelang proyek infrastruktur di Labuhan Batu melalui beberapa perantara, salah satunya Umar.
Atas kasus itu, pada 11 Maret 2019, Pangonal dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 4 bulan kurungan. Dia juga diminta membayar kerugian negara Rp 42,28 miliar dan 218.000 dollar Singapura serta dicabut hak politiknya untuk dipilih selama 3,5 tahun.
Data Anti-Corruption Clearing House menunjukkan, kasus korupsi yang melibatkan para kepala daerah tergolong tinggi. Berdasarkan profesi atau jabatan, kepala daerah, baik bupati, wali kota, maupun gubernur, menempati urutan keempat dari 12 profesi atau jabatan.
Dalam periode 2004 hingga 2018, gubernur yang terlibat korupsi sebanyak 20 orang. Sementara untuk wali kota atau bupati termasuk wakilnya tercatat ada 101 orang.
Sanksi bagi penyuap
Secara terpisah, pakar hukum pidana Agustinus Pohan mengemukakan, kasus suap kepala daerah yang dilakukan perusahaan merupakan pola lama yang tak kunjung selesai. Akar masalahnya ada pada biaya politik tinggi yang membuat para kepala daerah berpikir ”balik modal” dengan cara korupsi saat menjabat.
Sebagai salah satu solusi mencegah suap oleh perusahaan, KPK, menurut dia, tidak cukup menindak kepala daerah dan perantara suap. KPK juga hendaknya berani menindak perusahaan yang menyuap kepala daerah.
”Perusahaan sebagai pihak penyuap harus diberi sanksi tegas, sanksi denda yang besar. Ini bisa menciptakan efek jera pada perusahaan,” katanya.
”Kalau kejahatan yang dilakukan korporasi, itu selalu rasional, hanya manusia yang emosional. Kalau rasional, sanksi yang berat itu tentu bisa mengubah mereka (perusahaan) karena dilihat dari hitungan cost and benefit, perusahaan akan melihat cost yang terlalu tinggi ketika menyuap,” ujar Agustinus.
Sebagai catatan, KPK sudah pernah menindak korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Awal tahun ini, misalnya, PT Duta Graha Indah (DGI) atau yang telah berganti nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) divonis membayar pidana denda Rp 700 juta. PT NKE juga dipidana tambahan dengan membayar uang pengganti Rp 85.490.234.737. Selain itu, majelis hakim mencabut hak perusahaan untuk mengikuti lelang proyek pemerintah selama enam bulan.
PT NKE dijerat dalam kasus tindak pidana korupsi pembangunan RS Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana Tahun Anggaran 2009-2010.
Selain itu, Agustinus mendorong KPK untuk terus membangun sistem pencegahan di pemerintahan untuk mencegah suap. Karena itu, KPK perlu mengintensifkan kerja sama dengan pemerintah.
Salah satunya melahirkan proses tender yang lebih transparan. Prosedur dan proses memenangkan tender menjadi terpantau dan dapat diakses publik. Dengan cara ini, kemungkinan ada penyimpangan relatif kecil. Kalaupun tetap ada, akan menjadi lebih mudah diketahui.
”Mungkin penyuapan akan tetap dilakukan, tetapi dengan transparansi maka orang akan lebih tahu, ’oh ini pasti ada permainan, kenapa perusahaan yang tidak memenuhi kualifikasi tetapi bisa dimenangkan’,” kata Agustinus.