Dari Bandung, karya seni John Martono (47), seniman berbasis tekstil dan serat, dihargai dunia. Hadir diantara ramainya Terminal Leuwipanjang hingga megah galeri seni ternama di Inggris dan Amerika Serikat, John bersama beragam kelompok masyarakat mewujudkan semuanya penuh makna.
Oleh
Samuel Oktora
·6 menit baca
Dunia menghargai karya seni dari Bandung, karya John Martono (47), seniman berbasis tekstil dan serat. Karyanya hadir di antara ramainya Terminal Leuwipanjang hingga megahnya galeri seni ternama di Inggris dan Amerika Serikat. John bersama beragam kelompok masyarakat mewujudkan semuanya penuh makna.
Suasana di galeri bercat putih di Kelurahan Cibeunying, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, ramai, Kamis (18/7/2019) siang. Di antara lukisan berbagai bentuk dan ukuran, sejumlah ibu tekun menyulam di beberapa lukisan. Jari jemari mereka telaten. Jarum dan benang saling mengisi tapak lukisan.
Si pemilik lukisan, John Martono, juga ada di sana. Dia juga tengah berkreasi. Beberapa lukisan tengah ia buat untuk ditampilkan dalam pameran lukisan tunggalnya di Jakarta, akhir tahun ini. Sembari melukis, John ditemani suara merdu penyanyi Iwan Fals, musisi idolanya.
”Biasanya ibu-ibu ini membawa beberapa lukisan untuk disulam di rumah masing-masing. Namun, hari ini mereka bekerja di galeri karena ada lukisan berukuran besar yang perlu disulam bersama,” katanya.
Dari menyulam, para ibu mendapat upah bervariasi, Rp 50.000-Rp 250.000 per lukisan bergantung besar dan kecilnya sulaman. Ukurannya bervariasi, ada yang berukuran 45 sentimeter x 45 sentimeter hingga 3,5 meter x 2,5 meter. Ada enam ibu yang rutin berkarya bersama John.
Salah seorang penyulam warga Cibeunying, Ny Kuni (56), mengatakan, hasil menyulam sangat membantu ekonomi rumah tangganya. Dia bisa mendapat lebih kurang Rp 3 juta per bulan.
”Uangnya bisa buat tambahan belanja dapur,” kata Kuni.
Proses hadirnya lukisan bersulam tak sebentar. Sejak tahun 2000-an, John dengan latar belakang pendidikan tekstil di Institut Teknologi Bandung mulai mengembangkan lukisan pada sutra menggunakan cat tekstil dengan kombinasi sulaman. Sebagai seniman, ia mempunyai karakter dengan karyanya, yang dapat menghadirkan karya seni berbeda dan baru.
Seni bersama seni
Semua yang dia pelajari lantas pelan-pelan diajarkan kepada ibu penyulam. Dengan ketekunan, lama-lama ibu-ibu mahir dan masing-masing memiliki karakter khas dalam setiap model sulaman.
”Inilah wujud ’seni bersama dan bersama seni’, ada timbal balik. Seorang seniman merupakan bagian dari masyarakat, dan seni bagian dari kehidupan sehingga seni juga harus menghidupi, mempunyai peran positif bagi kehidupan atau lingkungan,” kata John.
Kerja samanya dengan ibu-ibu tidak hanya menghasilkan rupiah. Pengakuan dunia pun berdatangan. Karya lukisan bersulam John telah diikutkan dalam pameran nasional dan internasional.
Lalanta Fine Arts Bangkok, Thailand; Lahd Gallery London, Inggris; Arts Connection Miami, Amerika Serikat; serta Nissalara Gallery Queensland dan Tusk Gallery Melbourne, Australia, adalah sederatan galeri seni ternama yang pernah memasang karya kolaborasi itu. Bahkan, dia menjadi sedikit orang Indonesia yang karya seninya terpajang di hotel besar di Australia dan Singapura.
Jika semuanya belum cukup juga, John punya bukti lebih besar bersama masyarakat makna seni bisa jadi sangat dahsyat. Mural-mural yang ada di Bandung menjadi saksi.
Dengan mengambil kegiatan bakti sosial (baksos), John memulainya dari sekitar rumahnya. Dia bersama warga menghias posyandu dan poskamling serta terkait kegiatan peringatan Hari Ulang Tahun RI bulan Agustus.
Di posyandu itu terdapat mural, antara lain, seorang ibu menggendong bayi dan motif bunga. Umumnya mural yang dibuat John berbentuk abstrak. Semua dana diusahakan sendiri. Besar dan kecil tak jadi soal.
Pasar-pasar tradisional di Kota Bandung juga dibubuhi karyanya. Bersama para pedagang dan komunitas kreatif, sejumlah mural terpampang bangga di Pasar Cihapit dan Pasar Kosambi pada 2018. Khusus mural Pasar Kosambi, keberadaannya selamat dari kebakaran dahsyat beberapa waktu lalu. Kini, warna-warninya memberi semangat bagi korban kebakaran untuk bangkit.
Akan tetapi, yang paling fenomenal dari sejumlah karyanya bisa jadi adalah Jembatan Pelangi di persimpangan Antapani. Kali ini, dia berkolaborasi dengan pemerintah daerah. Di salah satu titik macet Kota Bandung itu, mural penuh warna itu diresmikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, 24 Januari 2017.
Di Jembatan Pelangi, desain mural yang dibuat John juga berbentuk abstrak, dibuat dengan bahan cat, keramik, dan potongan baja antikarat. John tak mau karyanya yang dipajang di ruang publik merepresentasikan bentuk tertentu.
”Yang saya tawarkan adalah keindahan, dan bentuknya abstrak, tak merepresentasikan bentuk tertentu. Jadi, yang muncul adalah berbagai persepsi masyarakat yang menikmatinya. Ada banyak penilaian, dan itu artinya saya berhasil,” katanya yang mewarisi gairah seni dari ayahnya, Moehammad Hoesin, yang gemar membuat beragam patung kertas dalam kegiatan peringatan HUT RI di Jatim.
John berpendapat, apabila dalam mural itu ditampilkan dengan komposisi merepresentasikan bentuk tertentu, misalnya buah-buahan, orang, atau bunga, masyarakat akan terbatas menikmati bentuk tersebut.
”Yang saya tawarkan adalah keindahan, dan bentuknya abstrak, tak merepresentasikan bentuk tertentu. Jadi, yang muncul adalah berbagai persepsi masyarakat yang menikmatinya. Ada banyak penilaian, dan itu artinya saya berhasil,” katanya.
”Seperti karya saya pada baksos, ada bagian dari bidang lukisan yang dibuat bersama masyarakat. Harapannya, karya seni itu menjadi milik banyak orang. Ini dapat mengeliminasi perbedaan dan ego masing-masing serta tumbuh pula semangat gotong royong. Pasalnya, tidak hanya urusan cat, sampai konsumsi juga disiapkan bersama,” ujar John yang sejak kecil bercita-cita jadi pelukis karena terinspirasi karya para seniman teman-teman ayahnya.
John berpendapat, mural di ruang publik ini juga sebagai bentuk peran seni terhadap lingkungan yang memberikan atmosfer baru dan inspirasi. Ada satu tempat yang sebelumnya kumuh, kotor, dan bau, seperti umumnya pasar tradisional, menjadi menarik dan berarti.
”Bahkan juga bisa mengubah perilaku. Di lingkungan kampung saya, sebelumnya warga biasa menaruh sampah di depan rumah untuk dibakar. Kemudian, saya cetuskan mural sepanjang 50 meteran di halaman depan rumah warga. Kini tak ada lagi warga yang menaruh sampah sembarangan,” ujarnya.
Dengan semua pengalaman itu, John belum ingin berhenti. Dia bahkan semakin lapar berkontribusi terhadap lingkungan dan sosial kemasyarakatan lewat seni. Belakangan sampah jadi perhatiannya. Sejak 2018, dia mencoba membuat kerajinan dari sampah plastik hingga pakaian bekas.
Plastik tersebut diolah dengan dipanaskan atau dilelehkan, ada pula yang dibentuk menjadi rumah lampu gantung. Hal itu menjadi bagian kampanye mereduksi sampah plastik dan mengubah suatu barang bekas menjadi bernilai tambah.
”Tahun depan (2020), saya akan mengembangkan lukisan di atas sutra dan sulaman, dikombinasikan dengan barang bekas plastik dan akrilik. Dan, para ibu ini akan kembali dilibatkan,” ucap John sembari melirik para perempuan tangguh yang membantu karya seni dalam kebersamaan itu melanglang buana.
John Martono
Lahir : Batu, 31 Maret 1972
Istri : Citra Wulandari (35)
Anak: Fulvian CJ Chordio (11), Starr Firdaus (2)
Pendidikan :
- S1 Program Studi Kriya (Seni) Institut Teknologi Bandung (1997)
- Magister Desain ITB (200)
Penghargaan/ prestasi , antara lain:
-Kontes Desain Mode dan Kain Sutera ASEAN 2010 dari Kementerian Pertanian dan Koperasi Thailand
-Karya Inovasi Tahun 2017 dari Rektor ITB
-Mengikuti pameran seni tekstil dan serat tertinggi dunia, “European Textile and Fibre Art Triennial” (2007) di Polandia