HI, pelaku kekerasan seksual terhadap kakak beradik, Jo (14) dan Ji (7), seperti diketahui, sempat divonis bebas dari segala tuntutan oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Cibinong, 25 Maret 2019. Oleh karena itu, putusan majelis hakim di Mahkamah Agung yang membatalkan vonis bebas HI tersebut, harus dicontoh hakim lain.
Oleh
Aguido Adri
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Putusan majelis hakim di Mahkamah Agung yang membatalkan vonis bebas pelaku kekerasan seksual berinisial HI (41) diapresiasi sejumlah pihak. Putusan hendaknya dijadikan contoh oleh hakim lain. Selain itu, kasus HI hendaknya mendorong DPR dan pemerintah untuk mempercepat penyelesaian Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
HI, pelaku kekerasan seksual terhadap kakak beradik, Jo (14) dan Ji (7), seperti diketahui, dibebaskan dari segala tuntutan oleh majelis hakim yang terdiri atas Muhammad Ali Askandar, Chandra Hutama, dan Raden Ayu Rizkiyati di Pengadilan Negeri Cibinong, 25 Maret 2019.
Orangtua korban bersama kuasa hukumnya lantas mengajukan kasasi.
Pekan lalu, Mahkamah Agung (MA) memvonis bersalah HI, dan menjatuhkan pidana penjara selama 11 tahun dan denda sebesar Rp 60 juta subsider 3 bulan kurungan. HI terbukti melanggar Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 juncto UU Nomor 35 Tahun 2014.
Sebelumnya, di PN Cibinong, jaksa menuntut HI dengan hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp 30 juta.
Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta Uli Pangaribuan, saat jumpa pers di kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), di Jakarta, Rabu (17/7/2019), mengapresiasi putusan MA tersebut.
“Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh kakak beradik tersebut sudah berlangsung sekitar 3 tahun dan berulang kali sejak Jo berumur 11 tahun dan Ji berumur 4 tahun. Pelaku HI merupakan tetangga korban,” kata Uli.
Putusan itu menurutnya, bukan saja kabar baik bagi korban dan keluarganya, tetapi juga bagi seluruh korban kekerasan seksual lainnya yang takut melaporkan tindak kekerasan seksual yang mereka alami ke aparat hukum.
Apresiasi juga dilontarkan Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo yang turut hadir dalam jumpa pers tersebut. “Putusan kasasi kasus itu patut dijadikan suri teladan bagi hakim-hakim lain dalam memeriksa kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak,” kata Hasto.
Ke depan, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Livia Istania DF Iskandar berharap, Victim Impact Statement (VIS) dapat menjadi sarana bagi hakim untuk lebih mendengarkan perspektif dari korban sebagai pertimbangan sebelum membuat putusan. LPSK juga mendorong VIS dimasukkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
VIS merupakan pernyataan tertulis berisi rincian mengenai dampak sebuah tindak pidana pada seorang korban. Pernyataan ini diberikan kepada hakim yang akan memvonis pelaku untuk membantu menentukan jenis hukuman bagi pelaku pelecehan seksual.
Legislasi
Selain mengapresiasi putusan MA, LBH APIK meminta agar kasus HI dapat mendorong DPR dan pemerintah untuk mempercepat penyelesaian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Menurut Uli, ketakutan dan kekhawatiran korban kekerasan seksual karena selama ini Indonesia belum memiliki undang-undang khusus penanganan kasus kekerasan seksual.
“Terobosan hukum sebagai upaya memberikan keadilan bagi korban hanya akan tergantung pada perspektif dan kebaikan aparat penegak hukum,” tuturnya.
Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, terdapat sejumlah aturan yang belum ada dalam UU yang ada saat ini.
Diantaranya, aturan mengenai kewajiban negara akan pemenuhan hak-hak korban, sistem pembuktian yang dibebankan pada pelaku, penanganan satu atap, pendidikan dan sertifikasi bagi aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual, dan mengutamakan pemulihan bagi korban dalam setiap proses hukum bahkan pascaputusan.