Megawati, Jatah Kabinet, dan Arah Koalisi
Akhir-akhir ini, panggung politik nasional diramaikan dengan konsolidasi di internal koalisi partai-partai politik pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam rangka pembentukan kabinet periode 2019-2024.
Partai-partai pendukung Jokowi-Amin beramai-ramai menyiapkan kader unggulannya untuk diusulkan menjadi menteri di periode kedua pemerintahan Jokowi. Tidak tanggung-tanggung, beberapa partai bahkan sudah mematok jumlah kursi serta portofolio menteri tertentu.
Sejak pekan lalu, Jokowi secara bergilir menerima pengurus partai-partai pendukungnya di Istana Kepresidenan. Dimulai dari Partai Golkar pada 1 Juli 2019, Partai Kebangkitan Bangsa pada keesokan harinya, serta Partai Nasdem pada 8 Juli 2019, dan Partai Persatuan Pembangunan pada 9 Juli 2019.
Dalam berbagai pertemuan tertutup itu, Jokowi meminta masukan terkait arah pemerintahan lima tahun mendatang. Tidak ketinggalan, isu terkait pembentukan kabinet dan pembagian jatah menteri dari masing-masing partai juga disinggung.
Di sela hiruk-pikuk politik di Tanah Air itu, sejak 6 Juli, Ketua Umum PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Beijing, China, untuk memenuhi undangan sebagai pembicara kunci di Forum Perdamaian Dunia Ke-8. Di sela kunjungannya, Megawati yang turut didampingi dua cucunya juga menyempatkan diri bersantai bersama keluarga dan kerabat dekatnya.
Meski berada jauh dari Tanah Air, sebagaimana partai-partai koalisi Jokowi-Amin yang lain, PDI-P pun tidak ketinggalan turut mempersiapkan diri. Meski demikian, Megawati mengakui, ia belum mendapat undangan untuk bertemu dengan Jokowi dan membicarakan ihwal pemerintahan ke depan. Perihal arah koalisi dan jatah kabinet ke depan, ujarnya, menjadi hak prerogatif Jokowi.
“Pada akhirnya nanti, Presiden yang memutuskan. Mungkin kami hanya bisa mengusulkan, menyarankan, tetapi tidak ada bentuk perhitungan yang proporsional bahwa seharusnya nanti penempatannya begini atau begitu,” ujarnya.
Berikut petikan wawancara terkait penempatan jatah menteri bagi partai pendukung Jokowi-Amin serta arah komposisi koalisi ke depan, di Beijing, China, Rabu (10/7/2019).
Saat ini partai-partai koalisi pendukung Jokowi-Amin banyak yang sudah menyiapkan nama-nama untuk diusulkan sebagai menteri, termasuk menyiapkan kader muda untuk disodorkan sebagai menteri muda. Bagaimana dengan PDI-P? Apakah akan bertemu dalam waktu dekat dengan Jokowi?
Hak prerogatif itu ada di Pak Jokowi. Seperti waktu saya jadi Presiden, saya bilang ke partai-partai yang ada saat itu, oke, kamu boleh minta, kamu boleh kasih (usulan nama), tetapi orangnya saya yang pilih. Itu hal yang sangat logis. Karena, kalau orangnya tidak seperti yang saya inginkan, bukannya pemerintahan malah jadi tidak bisa berjalan baik? Belum ada berita (terkait undangan bertemu Jokowi), paling juga nanti saya dikabari. Untuk saat ini, saya memang lagi heboh mau mengurus kongres partai.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa kabinetnya ke depan membutuhkan menteri berusia muda, antara usia 20-30 tahun. Bagaimana pandangan Anda terkait itu?
Saya pikir bisa-bisa saja anak muda, tetapi kalau umpamanya muda tapi tidak bisa apa-apa, mau bagaimana? Lalu, kalau usianya tua, kenapa tidak boleh? Yang penting itu punya pengalaman, jadi yang harus dijadikan patokan itu orang-orang yang mumpuni di bidangnya masing-masing.
Jadi, kalau memang mau menarik anak muda dalam kabinet pemerintahan, karakteristik seperti apa yang perlu diperhatikan?
Saya kira secara natural dan obyektif, harus dilihat dulu keperluannya seperti apa? Zaman Bung Karno memerintah dulu, ada loh menteri yang muda tetapi memang pintar dan bisa menguasai isu.
Menurut saya, ini kelemahan kita dewasa ini. Banyak orang yang disodorkan, tetapi tidak mengerti secara praktis tata pemerintahan. Saya berpikir, jangan-jangan kemungkinan (menjadi menteri) hanya untuk mejeng saja?
Saya tidak akan sebut nama, tetapi kita bisa lihat, ada yang tidak punya latar belakang menjalankan tata pemerintahan di republik ini, sehingga gagal. Kita bisa lihat dari keseluruhan program yang telah dijalankan.
Ini hanya pikiran saya sebagai ketua umum partai. Ketum partai lain kalau ditanya, jawabannya sama. Tetapi, kalau menurut saya, seharusnya begitu. Kalau anak muda mau jadi menteri, maka siapkan diri dulu.
* * *
Urusan jatah kabinet tidak hanya menjadi perhatian koalisi pendukung Jokowi-Amin, tetapi juga sejumlah partai eks pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Belakangan, beberapa partai mengkaji opsi untuk merapat ke koalisi pendukung Jokowi. Lobi-lobi dan komunikasi pun dilakukan lintas elite untuk mengkaji reposisi koalisi dengan merangkul partai-partai rival.
Melihat peta politik di DPR saat ini, kekuatan partai pendukung Jokowi-Amin sebenarnya sudah sangat kuat dibandingkan posisi pascapemilu 2014 dulu. Dalam pandangan Anda sebagai pemimpin partai utama pengusung pemerintah, apakah masih perlu ada penambahan anggota koalisi?
Kalau untuk urusan itu, saya nanti akan bicarakan ke Pak Jokowi, tetapi tidak di sini. Saya sekarang sudah punya sikap sendiri untuk persoalan itu, meskipun kembali nanti saya akan bilang bahwa itu adalah sepenuhnya hak prerogatif presiden.
Namun, tentu saya akan memberi masukan, karena bagaimanapun juga, (penyesuaian ulang koalisi) itu adalah sebuah kebutuhan. Artinya, (yang disebut) kebutuhan itu memang kebutuhan atau tidak?
Belakangan, sejumlah partai eks pendukung Prabowo ada yang mulai mengkaji opsi untuk merapat. Kalau partai beramai-ramai diterima masuk ke koalisi, bagaimana nanti mekanisme kontrol dan check and balance terhadap pemerintah di DPR?
Sekarang harus dibedakan kalau untuk urusan politik. Di politik itu, sebetulnya, jika dilihat dari sudut pandang filosofis, ada yang punya idealisme, tetapi di sisi yang berseberangan, ada juga yang pragmatis transaksional. Persoalannya, tentu saya tidak mau sebut siapa dan siapa, tetapi tinggal kita lihat saja nanti di (sisi) sebelah manakah ia akan mengambil posisi?
PDI-P pernah menjalankan peran sebagai kekuatan penyeimbang atau oposisi selama 10 tahun. Menurut Anda, untuk saat ini, apakah kekuatan yang seimbang di luar pemerintahan masih relevan dibutuhkan?
Sistem kita sebetulnya tidak ada oposisi. Dalam sistem kita, yang ada itu adalah kerja sama di pemerintahan, misalnya melalui masuk ke kabinet. Tetapi, kita ini sebenarnya, kan, bertarung di level masing-masing.
Kalau ada oposisi, seharusnya dari atas sampai ke bawah konsisten beroposisi, seperti di negara dengan sistem parlementer. Dari atas sampai DPRD-nya semua beroposisi. Tetapi, kalau dengan sistem kita, meskipun Presidennya dari kita (PDI-P), belum tentu seluruh gubernur dari kita.
Makanya, saya selalu mengatakan, kenapa harus menyebut ada koalisi, ada oposisi? Kita tidak seperti itu. Sistem seperti itu penuh hitung-hitungan. Dalam sistem kita, itu tidak ada sama sekali. Nanti Presiden yang memutuskan, sementara kita ini hanya bisa mengusulkan dan menyarankan.