Dalam 4 tahun terakhir, meski meningkat, tren peningkatan Indeks Persepsi Korupsi cenderung stagnan. Hal ini disebabkan maraknya korupsi politik, penegakan hukum, dan birokrasi.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi diminta segera menaruh perhatian lebih besar dalam membenahi tata kelola organisasi dan menyiapkan sumber daya manusia yang kompeten. Langkah ini untuk mengatasi berbagai bentuk korupsi ke depan yang semakin kompleks.
Dalam ”Peluncuran Hasil Penelitian Evaluasi Kinerja KPK 2019” yang dibuat Transparency International Indonesia (TII) tampak bahwa dimensi sumber daya manusia (SDM) dan anggaran baru mencapai 67 persen atau berada di posisi terendah dibandingkan lima dimensi lainnya.
”Dari enam dimensi yang disebar ke 50 indikator melalui metodologi yang ketat, TII menemukan faktor pendukung internal KPK menyumbang 85,71 persen, dan pengelolaan SDM harus menjadi prioritas pembenahan,” ujar peneliti TII, Alvin Nicola, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (4/7/2019).
Sementara dimensi dengan perolehan tertinggi yaitu pencegahan, pendidikan, dan penjangkauan mencapai hingga 88 persen. Empat dimensi lain yaitu independensi dan status (83 persen); akuntabilitas dan integritas (78 persen); deteksi, penyidikan, dan penuntutan (83 persen); serta kerja sama dan hubungan eksternal (83 persen).
Terkait tata kelola SDM internal, Alvin menyoroti bahwa yang diperlukan bukan sekadar proporsi jumlah pegawai, melainkan fokus pada kualitas. Artinya, pegawai KPK harus mampu mengatasi kasus korupsi dengan kompleksitas tinggi.
Tantangan transnasional
Menanggapi temuan ini, penasihat KPK, Budi Santoso, mengatakan, memang diperlukan pengawas yang berkapasitas dalam menghadapi kejahatan korupsi yang terus berkembang. Terlebih saat ini kejahatan transnasional bukan lagi ancaman, melainkan sudah menjadi kenyataan.
”Maka, saya setuju bahwa perekrutan pegawai harus mempertimbangkan spesifikasi keahlian yang sangat spesifik. Ini bagian dari tanggung jawab kami untuk menyiapkan SDM dalam mengantisipasi kejahatan yang semakin kompleks,” kata Budi.
Selain itu, dalam rangka memulihkan aset negara, Budi menyampaikan bahwa ada kebutuhan agar tindak pidana pencucian uang (TPPU) bisa lebih dimaksimalkan menjadi penghukuman. Hal itu dalam arti, pemenjaraan harus terus dijaga beriringan dengan upaya memaksimalkan TPPU.
”Kita berharap itu bisa dijalankan secara bersama dan simultan. Namun, memang tidak sesederhana yang diharapkan karena beban itu tidak semata milik KPK. Sayangnya, saat ini masih ada sekelompok tim majelis hakim yang persepsi terhadap TPPU masih berbeda dengan kami di KPK,” kata Budi.
Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko menyampaikan bahwa persoalan ini terjadi karena selama ini terlalu fokus di tingkat hilir, yaitu penghukuman dalam arti pemidanaan, bukan pemulihan aset ataupun pencegahan.
”Penegakan hukum pun tidak dibarengi pembuatan sistem pencegahan yang lebih cepat. Kita hanya sibuk di hilir, tetapi peluang terjadinya korupsi enggak pernah bisa secara optimal diperbaiki,” kata Dadang.
Masih ada yang percaya bahwa penindakan hukum melalui pemenjaraan itu mengatasi segalanya. Padahal, seharusnya kita berfokus pada pemulihan aset yang juga sebagai wujud pemiskinan koruptor.
Elemen bangsa
Dadang juga menegaskan bahwa upaya memberantas korupsi bukan semata tanggung jawab KPK, melainkan seluruh elemen bangsa. Menurut dia, sinergi antarlembaga itu penting untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi dan mengembalikan aset negara.
Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2018, skor indeks persepsi korupsi Indonesia mencapai 38. Dengan skor ini, Indonesia setidaknya lebih unggul dibandingkan Filipina (36), Thailand (36), Vietnam (33), Myanmar (29), dan Kamboja (20).
Dalam 4 tahun terakhir, meski meningkat, tren peningkatan CPI cenderung stagnan. Hal ini disebabkan maraknya korupsi politik, penegakan hukum, dan birokrasi.
Data Global Corruption Barometer pada 2017 mempersepsikan bahwa institusi legislatif, kepolisian, dan legislatif daerah sebagai institusi yang paling korup. Sementara dari 2014-2018, Anticorruption Clearing House mencatat ada 121 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah.
”Jika dilihat secara menyeluruh, skor indeks persepsi korupsi Indonesia ini tidak sepenuhnya mencerminkan kinerja KPK. Sebab, ada kinerja dari pemerintah juga yang turut andil di dalamnya,” kata Dadang.
Dalam rangka pencegahan, Dadang menilai, ini saatnya KPK mendekati presiden terpilih untuk ikut menyeleksi dan memastikan bahwa semua menteri dalam kabinet merupakan orang-orang terbaik. Sebab, pemberantasan korupsi bukan hanya di level teknis, melainkan juga di level strategis.
Namun, perlu disadari bahwa kerja sama antarlembaga, khususnya kepolisian dan kejaksaan, bukanlah perkara mudah. Sebab, setiap lembaga memiliki sejarah dan kewenangan yang berbeda sehingga tidak mudah untuk dikoordinasikan.
”Dengan begitu, penting juga bagi KPK dan presiden untuk berkoordinasi guna memastikan jaksa agung dan kepala kepolisian adalah orang-orang yang berkomitmen, bukan hanya visi untuk memberantas korupsi,” ujar Dadang.