Sekolah Wajib Lindungi Anak dari Kekerasan Seksual
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kekerasan seksual hingga kini mengancam anak perempuan maupun laki-laki, termasuk di lingkungan pendidikan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat pada Januari-Juni 2019, ada 11 kasus kekerasan seksual terjadi di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.
Dari jumlah kasus tersebut, korbannya mayoritas anak perempuan di sembilan kasus, dan dua kasus lainnya korbannya adalah anak laki-laki. Pelaku kekerasan seksual didominasi oleh guru, bahkan satu kasus yang dilakukan oleh kepala sekolah. Modus yang digunakan bermacam-macam.
“Kekerasan seksual di lingkungan sekolah harus mendapat perhatian, apalagi pelakunya adalah guru-guru yang seharusnya jadi teladan bagi siswa. Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur sekolah wajib melindungi anak-anak dari kekerasan,” kata Retno Listyarti, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Senin (1/7/2019) di Jakarta.
Dari catatan KPAI, hingga Juni 2019, kasus kekerasan seksual di SD terjadi di wilayah Kecamatan Lembak dan Ujanmas, Muara Enim (Sumatera Selatan), Kecamatan Klego, Boyolali (Jawa Tengah), Kabupaten Majene (Sulawesi Barat), Kota Pontianak (Kalimantan Barat), Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota (Sumatera Barat), dan Kota Malang (Jawa Timur).
“Selain itu di jenjang SD, kekerasan seksual juga dilakukan oknum guru di kecamatan Cikeusal, Serang (Banten), di Tanete, Bulukumba (Sulawesi Selatan), dan Padangtualang, Langkat (Sumatera Utara),” kata Retno.
Tiga kasus di jenjang SMP terjadi di Tanete, Bulukumba (Sulawesi Selatan), Kecamatan Cikeusal, Serang (Banten), dan Pondok Pesantren, Padangtualang, Langkat (Sumatera Utara). “Anak lelaki maupun anak perempuan sama-sama rentan menjadi korban kekerasan seksual di sekolah. Selama ini masyarakat menjaga anak-anak perempuannya agar tidak menjadi korban kekerasan seksual karena memganggap anak lelaki aman dari kejahatan seksual,” katanya.
Modus kekerasan seksual yang dilakukan pelaku antara lain, mengiming-imingi korban mendapat nilai yang bagus, memberikan uang, membelikan korban telepon genggam, mengajari korban matematika, dan sebagainya.
Di Muara Enim misalnya, M (27), guru honorer sebuah SD Negeri ditangkap aparat kepolisian karena diduga mencabuli enam siswi. Di Ujanmas, Muara Enin, sebanyak 7 siswi mengaku dicabuli guru, dengan modus pelaku mengajak menonton bareng tayangan pornografi dan memegang-megang tubuh korban berulang kali.
Di Banten, tiga guru sekaligus melakukan kekerasan seksual terhadap tiga siswi (semua berusia 14 tahun) di salah satu SMPN di Serang dengan modus “memacari korban” padahal ketiga guru tersebut sudah beristri dan memiliki anak.
Edukasi peserta didik
Karena itulah KPAI mendorong pihak dinas pendidikan setempat untuk melakukan sosialisasi kepada para kepala sekolah dan guru agar mengedukasi anak didiknya untuk berani bicara kekerasan seksual yang dialami, baik dibawah ancaman maupun yang dalam bentuk di bujuk rayu oleh oknum guru pelaku.
“Pencegahan dini untuk anak laki-laki maupun perempuan sama yaitu edukasi pada anak-anak laki-laki maupun perempuan bahwa ada bagian ditubuhnya yang tidak boleh disentuh siapa pun,” kata Retno.
Sekolah juga harus membangun sistem pengaduan agar para korban tidak diam, tetapi berani mengatakan yang dialaminya. KPAI juga mendorong sekolah-sekolah untuk menginisiasi program sekolah ramah anak (SRA).
Nahar, Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menambahkan, anak-anak harus dikenalkan dengan pemahaman hak anak dan dilatih keterampilan untuk melindungi diri dari kasus-kasus pelanggaran hak anak di lingkungan pendidikan. "OSIS atau organisasi siswa juga perlu dikembangkan sebagai penguat perlindungan sesama siswa,” katanya.
Posisi anak yang lemah
Psikolog, Gisella Tani Pratiwi menyatakan kekerasan seksual terjadi karena ada ketimpangan relasi kuasa. Anak memiliki posisi yang lemah dalam masyarakat, karena sering kali dianggap tak memiliki hak bersuara dan menurut saja. Akibatnya, siapa pun yang berinteraksi dengan anak, terutama yang memiliki relasi kuasa rentan menyalahgunakan kuasanya, termasuk guru.
Karena itu, jika kasus-kasus kekerasan seksual yang disampaikan KPAI dibiarkan, dikhawatirkan semakin banyak kemungkinan anak-anak Indoensia yang rentan mengalami dampak psikologis akibat perilaku kekerasan seksual tersebut.
“Dampak psikologis kekerasan seksual pada anak berdampak kepada keseluruhan aspek perkembangan anak, baik pola pikir, psiko emosional dan bahkan kondisi kesehatan fisiknya. Penngaruhnya tidak hanya pada jangka pendek namun juga jangka panjang, jika tidak mendapatkan intervensi pemulihan komprehensif yang hebat,” tegas Gisella yang juga psikolog di Yayasan Pulih.
Tak hanya di jenjang SD dan SMP, kekerasaan seksual juga terjadi di jenjang SMA bahkan di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Karena itu, desakan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual terus disuarakan berbagai kalangan.