Ikhtiar Menuju Badan Peradilan Modern
Sejak berdiri tahun 2003, Mahkamah Konstitusi berupaya menjadi suatu badan peradilan modern. Selama 16 tahun berdiri, cita-cita peradilan modern itu harus dilalui dengan berbagai upaya perbaikan terus-menerus terhadap mekanisme peradilan, hukum acara, dan kualitas putusan.
Citra MK juga sempat tercoreng ketika mantan Ketua MK Akil Mochtar ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2013. Setelah bersusah payah membangun citranya, MK kembali terjatuh ketika mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditangkap oleh KPK, tahun 2017.
Namun, upaya membangun peradilan modern itu tidak boleh berhenti. Setidaknya dalam teknis peradilan dan penanganan perkara, MK terus berikhtiar membangun sistem peradilan modern, yang antara lain ditandai dengan transparansi.
Begitu halnya dengan percepatan pemberian putusan, MK berlari mengejar waktu. Tahun 2017, rata-rata satu perkara yang masuk ke MK diputuskan dalam waktu 5,2 bulan. Bahkan, ada perkara yang baru diputus setelah lebih dari satu tahun diperiksa. Pada tahun 2018, catatan itu diperbaiki. Tahun 2018, satu perkara di MK bisa diputuskan dalam waktu 3,5 bulan. Jumlah perkara yang diregister di MK pada tahun 2017 dan 2018 sama, yakni 102 perkara pengujian undang-undang (PUU).
Tahun 2019, MK menghadapi tantangan lebih berat karena mendapatkan amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk menuntaskan perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) presiden dalam waktu 14 hari. Waktu 14 hari yang diberikan itu relatif singkat untuk menyelesaikan satu perkara dengan dimensi politik yang besar serta memiliki dampak sangat signifikan bagi kepemimpinan nasional. Setelah pilpres, MK juga harus memeriksa dan memutus PHPU legislatif.
Khusus untuk menangani sengketa pemilu, MK membentuk gugus tugas beranggotakan 684 pegawai. Gugus tugas itu disiapkan sejak satu bulan sebelum pendaftaran perkara sengketa PHPU dibuka di MK. Tiap gugus tugas bertanggung jawab di bidang pengamanan, penerimaan perkara, konsultasi, registrasi, penerimaan alat bukti, pemberkasan selama jalannya sidang, pembuatan risalah, asistensi pada hakim, hingga penyiapan draf putusan.
Bagi pihak kesekretariatan jenderal dan kepaniteraan, sengketa pilpres itu benar-benar menjadi ujian kinerja mereka. Sekalipun di sana-sini masih ada keterbatasan, MK berupaya memenuhi ekspektasi publik. Untuk menyimpan berkas dan alat bukti, misalnya, MK akhirnya mendapatkan bantuan untuk menggunakan bangunan Kementerian Koordinator Perekonomian yang bersebelahan dengan Gedung MK.
”Ruangan di MK terbatas, sedangkan kami harus menyimpan alat bukti, berkas, dan dokumen pilpres yang sangat banyak. Alat bukti yang datang sampai diangkut dengan truk karena begitu banyaknya. Maka, untuk menjamin semua alat bukti itu bisa disimpan dengan baik di MK, sebagian berkas di MK harus dipindahkan ke gedung sebelah,” kata Guntur Hamzah, Sekretaris Jenderal MK, Senin (25/6/2019) di Jakarta.
Lantai 1-4 Gedung Kemenko Perekonomian itu dipakai MK untuk menyimpan berkas dan dokumen dari ruangan di Gedung MK. Adapun alat bukti pilpres semuanya dimasukkan ke dalam ruangan-ruangan di MK yang dijaga ketat.
Tim pemeriksa alat bukti harus memeriksa satu per satu alat bukti itu untuk melihat kesesuaiannya dengan syarat yang diatur oleh peraturan MK. Sebagian dari anggota tim harus menginap untuk menuntaskan pekerjaannya.
Tim pemeriksa alat bukti harus memeriksa satu per satu alat bukti itu untuk melihat kesesuaiannya dengan syarat yang diatur oleh peraturan MK. Sebagian dari anggota tim harus menginap untuk menuntaskan pekerjaannya.
”Ketika bapak-ibu hakim menanyakan alat bukti, misalnya, atau menyampaikan ada alat bukti yang tidak lengkap, itu sudah pasti benar. Karena satu per satu alat bukti itu disisir dan dipastikan kelengkapannya. Anggota tim memastikan itu semua dan melaporkannya kepada panitera. Panitera menginformasikan hal itu kepada panitera pengganti (PP). PP kemudian yang menyampaikan kepada hakim,” kata Guntur.
Kesigapan dan ketelitian hakim konstitusi dalam melihat kelengkapan bukti-bukti, sebagaimana terlihat di dalam persidangan, bukanlah kerja instan, melainkan hasil dari rantai panjang kerja anggota gugus tugas. Hal-hal detail di dalam ruang sidang, mulai dari penempatan dan jumlah kursi, pun harus diperhitungkan untuk memastikan sidang berlangsung lancar.
Panitera Muda III MK Bidang Pasca-Putusan Ida Ria Tambunan, misalnya, hari-hari ini sudah mulai sibuk mengurusi pemberkasan dalam penyiapan pembuatan putusan oleh hakim. Ia bertanggung jawab atas pemberkasan, yang antara lain memastikan hakim mendapatkan masukan (feeding) berkas yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Alat-alat bukti yang sebagian besar berupa surat harus ditata dengan label yang rapi, sehingga ketika alat bukti itu hendak diminta hakim di ruangannya, PP bisa dengan cepat menyediakannya.
”Kami kadang diajak berdiskusi oleh hakim mengenai berkas-berkas itu,” kata Ida, yang telah bekerja di MK sejak tahun 2004.
PP juga kerap dilibatkan dalam teknis pengetikan draf putusan, tetapi substansi atau isi putusan itu tetap ditentukan oleh hakim. Dalam prosesnya, mereka juga dibantu oleh peneliti MK, yang melekat pada hakim. Seorang hakim dibantu oleh dua peneliti.
Transparansi
Kesiapan teknis peradilan itu di sisi lain harus terlihat untuk menciptakan kepercayaan publik. Bagi MK, kepercayaan publik itu penting untuk tidak hanya membangun legitimasi putusan yang berkualitas dan kredibel, tetapi juga untuk memastikan segala proses peradilan itu bisa dikontrol oleh publik.
Seorang ahli hukum, Lord Hewart, pernah berkata, ”Justice should not only be done, but must also be seen to be done.” Kutipan itu menjadi penting maknanya saat ini, di saat orang ingin memastikan pengadilan telah berjalan sebagaimana mestinya dan mereka ingin mendapatkan akses pada pengadilan yang terbuka, bersih, dan transparan. Oleh karena itu, transparansi pengadilan tidak bisa ditawar.
Soal ini, MK sejak awal merintis laman mkri.id menjadi laman yang dinamis dan menampilkan informasi pengadilan, mulai dari jadwal sidang, risalah persidangan, hingga menampilkan sidang itu secara langsung dalam layanan streaming dan memuat putusan tidak lama setelah dibacakan.
Dalam dua tahun terakhir, informasi di laman mkri.id itu ditambah dengan kemampuan mengunggah langsung setiap permohonan yang masuk ke MK hanya beberapa menit setelah permohonan dimasukkan.
Soal transparansi, MK cukup baik, bahkan apabila dibandingkan dengan MK dari negara lain.
Guntur mengatakan, soal transparansi, MK cukup baik, bahkan apabila dibandingkan dengan MK dari negara lain.
”Saya pernah bertemu dengan pimpinan MK dari Jerman yang mengatakan, bangunan gedungnya yang terbuat dari kaca ialah simbol transparansi. Namun, ketika ditanyakan apakah publik boleh meliput sidang, publik boleh mendapatkan risalah, jawabannya tidak. Untuk mendapatkan risalah, mereka harus izin kepada ketua mahkamah. Itu sesuatu yang tidak terjadi di MK karena di sini risalah bisa diunduh siapa saja, tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi juga rekaman, bahkan bisa menyiarkan langsung isi persidangan,” kata Guntur.
Transparansi persidangan di MK itu sekali lagi ditunjukkan dalam keterbukaan sidang pilpres. Namun, jalan menuju peradilan modern itu masih panjang. Berbagai hal masih harus dibenahi MK, mulai dari keajekan hukum acara hingga upaya peningkatan kualitas putusan yang lebih terukur, yang antara lain ditunjukkan dengan adanya daya dukung lebih pada ketersediaan ahli-ahli yang melekat pada diri hakim.