Tim Pemerintah Dinilai Tak Akomodir Aspirasi Organisasi Masyarakat Sipil
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
Tim pemerintah diminta melibatkan organisasi masyarakat sipil dalam pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Ini penting agar RUU ini responsif terhadap perempuan.
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Dewan Perwakilan Rakyat, organisasi masyarakat sipil meminta tim pemerintah benar-benar mempersiapkan daftar inventaris masalah yang telah disusun selama ini. Sikap tim pemerintah yang saat ini menutup diri terhadap masukan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang selama ini aktif mendampingi korban, mengundang pertanyaan.
“Kami tidak bisa membayangkan kalau partisipasi publik tidak dilibatkan, pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan timpang,” ujar Koordinator Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) Ratna Batara Munti saat bertemu dengan Deputi V Bidang Kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM, Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani, Senin (17/6/2019), di kantor KSP, kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.
Ratna bersama aktivis sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam JKP3 menemui Deputi V KSP karena kenyataan selama ini proses persiapan tim pemerintah terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak melibatkan organisasi masyarakat sipil seperti JKP3. Tim pemerintah untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dipimpin Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dituding menutup ruang diskusi terhadap kelompok masyarakat terutama kelompok perempuan yang sangat berkepentingan dengan hadirnya RUU ini.
Proses persiapan tim pemerintah terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak melibatkan organisasi masyarakat sipil seperti JKP3.
Padahal selama ini, menurut Ratna, rumusan daftar inventaris masalah (DIM) yang disusun pemerintah sudah dipertanyakan karena masih jauh dari harapan, bahkan terkesan mereduksi terobosan-terobosan penting dalam RUU tersebut.
Misalnya, tim pemerintah memangkas 9 tindak pidana kekerasan seksual menjadi 4 tindak pidana kekerasan seksual. Kemudian mempersempit rumusan perkosaan yang sudah diperluas dan masih digunakannya istilah persetubuhan dan pencabulan yang selama ini problematis dan mendiskualifikasi pengalaman perempuan korban. Selain itu, tim pemerintah juga menghilangkan hukum acara khusus untuk kekerasan seksual dan menghilangkan ketentuan terkait hak-hak korban.
Pada kesempatan tersebut, Ratna yang bersama tim JKP3 antara lain Sjamsiah Achmad, mantan anggota Komite The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) PBB juga mengingatkan bahwa seharusnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi terobosan hukum terutama hukum acara, seperti peranan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) yang lebih sensitif dan mewakili korban.
“Oleh pemerintah hal itu dikembalikan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kita menjadi bertanya-tanya kalau semua dikembalikan ke model hukum seperti sekarang, untuk apa kita punya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?” kata Ratna.
Atashendartini Habsjah, dari Dewan Pembina Yayasan Kesehatan Perempuan berharap pemerintah memberi ruang bagi masyarakat sipil menyampaikan aspirasi. Apalagi selama empat tahun terakhir organisasi-organisasi masyarakat sipil intensif menyisir semua hal-hal yang perlu diakomodir dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Oleh karena itu dia berharap waktu tiga bulan terakhir ini benar-benar dimanfaatkan untuk meloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU. “Bila tidak masuk, berarti harus mulai dari awal lagi, dan itu lima tahun ke depan. Sementara korban sudah banyak. Dari penelitian saya di Jakarta dan Semarang saja, korbannya adalah kelompok usia sangat muda anak mulai dari 12 tahun,” kata Atashendartini.
Momentum
Menanggapi permintaan dan keluhan dari JKP3, Jaleswari menyatakan berbagai persoalan kekerasan seksual yang menimpa perempuan sudah lama menjadi perhatian. Bahkan secara politik, hukum, dan budaya perempuan selalu didiskreditkan ketika mengalami kekerasan seksual, seperti ketika menjadi korban perkosaan.
“Ini momentum bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang yang benar-benar melindungi perempuan dan hak-hak korban, dan lain-lain,” ujar Jaleswari yang mengakui bahwa organisasi masyarakat sipillah yang paling tahu kondisi di lapangan selama ini.
Ini momentum bagaimana RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang yang benar-benar melindungi perempuan dan hak-hak korban.
Karena itu, sangat penting semua pihak bersinergi dalam memberikan masukan. Karena itu, dalam pertemuan yang juga dihadiri Pelaksana Tugas Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian PPPA, Margareth Robin, Jaleswari menyatakan masih ada jadwal yang memungkinkan untuk melibatkan organisasi masyarakat publik.
Margareth menyatakan ruang diskusi pemerintah dengan publik masih terbuka. “Sudah disampaikan Sekretaris Menteri PPPA, ruang diskusi kami akan membuka karena tidak ada yang sempurna. Tidak ada kata terlambat masih ada tiga bulan,” ujarnya Margareth yang sepakat bahwa aspirasi publik penting diakomidir agar RUU tersebut responsif terhadap perempuan.