Penerbitan IMB Celah untuk Pendirian Bangunan Baru
Penerbitan izin mendirikan bangunan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap 932 bangunan di Pulau D atau Pantai Maju berpotensi jadi celah untuk pemberian izin bagi calon-calon bangunan lainnya dalam waktu dekat.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbitan izin mendirikan bangunan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap 932 bangunan di Pulau D atau Pantai Maju berpotensi jadi celah untuk pemberian izin bagi calon-calon bangunan lainnya dalam waktu dekat. Itu mengingat pengembang punya hak untuk mengelola penggunaan 35 persen lahan pulau.
Saat ini, 932 bangunan menempati baru 5 persen dari luas Pulau D yang totalnya 312 hektar. ”IMB yang diberikan kemarin menjadi celah bagi pengembang nanti untuk mengajukan IMB-IMB baru, sementara peraturan belum dibenahi,” tutur anggota Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) Tigor Nainggolan saat dihubungi pada Minggu (16/6/2019).
IMB yang diberikan kemarin menjadi celah bagi pengembang nanti untuk mengajukan IMB-IMB baru, sementara peraturan belum dibenahi. (Tigor Nainggolan)
Menurut Tigor, komitmen penghentian reklamasi seharusnya tidak hanya ditunjukkan dengan penghentian aktivitas reklamasi, seperti pengerukan dan penimbunan pasir guna memperluas pulau atau membuat pulau baru, tetapi juga secara nyata membenahi peraturan yang bermasalah. KSTJ pernah secara langsung memberikan sejumlah rekomendasi pada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan agar janji kampanyenya menghentikan reklamasi terwujud.
Rekomendasi itu antara lain mencabut Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, D, dan E, serta Peraturan Gubernur DKI Nomor 137 Tahun 2017 tentang Panduan Rancang Kota Pulau G. Mereka menyampaikan pada 7 Desember 2017. Nyatanya, Anies menggunakan Pergub 206 Tahun 2016 sebagai dasar Pemprov DKI menerbitkan IMB.
Dalam penjelasan tertulisnya, Anies mengatakan, jika ia mencabut pergub itu agar bangunan di Pulau D kehilangan dasar hukum, yang hilang bukan saja bangunannya, melainkan juga kepastian atas hukum.
”Bila itu dilakukan, masyarakat, khususnya dunia usaha, akan kehilangan kepercayaan pada peraturan gubernur dan hukum. Efeknya peraturan gubernur yang dikeluarkan sekarang bisa tidak lagi dipercaya karena pernah ada preseden seperti itu,” ujarnya.
Tigor mengkritik, Pergub 206 Tahun 2016 bermasalah. ”Jadi, janganlah memberikan jalan pada investasi dengan alasan menciptakan kepercayaan, tetapi dibangun pada argumentasi hukum yang tidak benar,” tuturnya.
Jadi, janganlah memberikan jalan pada investasi dengan alasan menciptakan kepercayaan, tetapi dibangun pada argumentasi hukum yang tidak benar. (Tigor)
Ia juga menolak pandangan bahwa penerbitan IMB pada bangunan di atas pulau reklamasi dipisahkan dari komitmen menghentikan reklamasi. Sebab, beroperasinya permukiman, kantor, dan gedung komersial di sana bisa menimbulkan masalah tambahan di luar masalah akibat pembangunan pulau baru. Contohnya, ancaman pencemaran teluk akibat limbah rumah tangga di Pulau D.
Karena itu, peraturan daerah tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) Pantai Utara DKI Jakarta dan perda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis (RTRKS) Pantura Jakarta seharusnya disahkan dan berlaku dulu sebelum adanya IMB untuk segala bangunan.
Harapannya, penentuan zonasi di kedua perda itu sudah melalui kajian berbagai bidang, termasuk lingkungan dan sosial, sehingga luas lahan untuk bangunan dan jumlah bangunan yang ditentukan tidak menimbulkan masalah. Tigor ragu penentuan 35 persen lahan sebagai hak pengembang sudah mempertimbangkan aspek itu.