Penyederhanaan Partai yang Tidak Sederhana
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan berkurangnya jumlah parpol yang meraih kursi DPR. Namun, tingkat konsentrasi parpol cenderung tak jauh berbeda dibandingkan DPR periode terdahulu.
Ada sembilan partai politik yang lolos ambang batas parlemen sehingga bisa menempatkan wakilnya di DPR periode 2019-2024. Kesembilan partai tersebut adalah partai petahana yang pada periode sebelumnya juga meraih kursi DPR. Dari sepuluh partai politik yang masuk DPR periode 2014-2019, hanya Partai Hati Nurani Rakyat yang tidak berhasil menembus ambang batas parlemen empat persen dari suara sah nasional sehingga harus meninggalkan Senayan.
Meskipun tersisa sembilan partai, konfigurasi dan tingkat konsentrasi kekuatan partai tidak akan jauh berbeda dengan kondisi lima tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari masih dekatnya angka indeks Effective Number of Parliamentary Parties (ENPP) perolehan kursi kesembilan partai tersebut dengan konfigurasi parpol di DPR pada tiga pemilu sebelumnya. ENPP diperkenalkan Laakso dan Taagepera (1979) yang bertujuan melihat tingkat konsentrasi dan penyebaran kekuatan parpol berdasar hasil pemilu. Dengan menggunakan indeks ini, bisa terlihat sejauh mana efektivitas sistem kepartaian sekaligus konsentrasi kekuatan kursi partai dalam memengaruhi proses di parlemen.
Dari hasil penghitungan, indeks ENPP hasil Pemilu 2019 berada di angka 7,44. Indeks ini memiliki arti, kekuatan kursi di parlemen nanti terkonsentrasi pada tujuh dari sembilan parpol peraih kursi parlemen. Fragmentasi parpol di parlemen ini juga diperkirakan lebih kurang sebangun dengan dukungan calon presiden-calon wakil presiden pada Pemilu 2019.
Koalisi Indonesia Kerja yang merupakan pendukung pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin terdiri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (128 kursi), Golkar (85 kursi), PKB (58 kursi), PPP (19 kursi), dan Partai Nasdem (59 kursi). Total kursi koalisi ini 349 kursi atau 60,8 persen dari total 575 kursi DPR. Sementara itu, Koalisi Indonesia Adil Makmur yang merupakan pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terdiri atas empat partai, yakni Gerindra (78 kursi), PKS (50 kursi), PAN (44 kursi), dan Partai Demokrat (54 kursi). Koalisi ini mengumpulkan 226 kursi atau setara dengan 39,2 persen dari total kursi parlemen.
Di atas kertas, Koalisi Indonesia Kerja menguasai kursi parlemen dan tentu ini menjadi modal politik pemerintahan Jokowi-Amin. Meski demikian, sejumlah manuver politik, terutama dengan adanya pertemuan antara elite partai dan Jokowi, seperti yang dilakukan oleh PAN dan Demokrat, tetap membayangi masa depan dua koalisi ini.
Multipartai
Sistem kepartaian hasil Pemilu 2019 mengarah pada multipartai meluas. Sistem kepartaian ini merujuk klasifikasi dari ilmuwan politik Italia, Giovanni Sartori (1976). Multipartai meluas berlaku jika jumlah partai yang berada di parlemen lebih dari enam partai. Dengan indeks ENPP 7,44, wajah DPR lima tahun ke depan masuk kategori multipartai meluas.
Indeks ENPP pada Pemilu 2019 tidak jauh berbeda dari tiga pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2014, indeks ENPP mencapai 8,19. Kekuatan parlemen terkonsentrasi di delapan dari 10 partai peraih kursi DPR. Hal sama tercatat di Pemilu 2009 dan 2004 yang sama-sama masuk kategori multipartai meluas. Tingkat konsentrasi lebih kuat tampak pada hasil Pemilu 2004 karena dari 16 partai peraih kursi DPR, hanya enam partai yang efektif memengaruhi proses politik di parlemen.
Sementara itu, tipe lain adalah multipartai sederhana yang disebutkan terjadi jika jumlah partai yang masuk parlemen 3-5 partai. Kondisi ini hanya terjadi pada Pemilu 1999 dengan indeks ENPP 4,72. Saat itu, dari 20 partai peraih kursi DPR, kekuatan parlemen hanya terkonsentrasi di empat sampai lima partai politik.
Tidak menyederhanakan
Dari tren indeks ENPP di lima pemilu yang digelar sejak era reformasi tersebut, tampak peningkatan besaran ambang batas parlemen yang diterapkan dari Pemilu 2009 sampai Pemilu 2019 tak mampu membuat dinamika politik di antara partai politik di parlemen menjadi lebih sederhana dengan 3-5 partai.
Hal ini mengindikasikan ambang batas parlemen tidak bisa dijadikan alat utama membangun sebuah sistem kepartaian yang lebih sederhana di parlemen. Ambang batas parlemen justru meningkatkan jumlah suara yang hilang dan sia-sia (wasted voice) karena tidak terwakili di parlemen
Hal ini mengindikasikan ambang batas parlemen tidak bisa dijadikan alat utama membangun sebuah sistem kepartaian yang lebih sederhana di parlemen. Ambang batas parlemen justru meningkatkan jumlah suara yang hilang dan sia-sia (wasted voice) karena tidak terwakili di parlemen. Pada Pemilu 1999, yang hanya menerapkan ambang batas pemilihan (electoral threshold), suara pemilih yang tidak terwakili di parlemen tercatat 4,6 juta suara atau 4,4 persen dari total pemilih yang menggunakan hak suara di pemilu. Pemilu 2004 menghasilkan 6,7 juta suara terbuang atau 5,9 persen dari total pemilih yang memiliki hak pilih.
Sebaliknya, ketika ambang batas parlemen diberlakukan, jumlah suara pemilih yang ”terbuang” atau tidak terwakili di parlemen melonjak. Pada Pemilu 2009, saat pertama kali ambang batas parlemen diberlakukan 2,5 persen, jumlah suara yang tak terwakili di parlemen mencapai 19,5 juta atau 18,7 persen. Suara ini berasal dari 29 parpol yang gagal menembus ambang batas parlemen. Di dua pemilu berikutnya, hal yang sama terjadi. Pada Pemilu 2014 distribusi suara relatif lebih menyebar sehingga dari 12 partai politik nasional peserta pemilu, dua partai gagal lolos ambang batas parlemen yang saat itu 3,5 persen.
Pada Pemilu 2019 dengan ambang batas parlemen lebih tinggi yakni 4 persen, jumlah suara yang terbuang kembali meningkat menjadi 13,5 juta suara atau 9,8 persen dari jumlah pemilih yang hadir ke tempat pemungutan suara.
Ambang batas 4 persen hanya ”berhasil” mengurangi satu partai petahana, yakni Partai Hanura, dua partai lama peserta pemilu (PBB dan PKPI), dan empat partai pendatang baru (Perindo, Garuda, Berkarya, dan PSI). Hal ini semakin memperkuat ambang batas parlemen tidak cukup efektif menjadikan sistem kepartaian lebih sederhana.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz mengatakan, ambang batas parlemen bukan jalan ideal untuk menciptakan sistem kepartaian yang lebih sederhana, apalagi dengan adanya ambang batas parlemen yang semakin meningkatkan potensi suara terbuang.
”Kalau mau sederhana, ke depan bergantung pada kemampuan partai politik untuk meyakinkan pemilih bahwa partainya layak untuk dipilih, bukan lagi bergantung pada formula elektoral,” kata August Mellaz.
Argumen ini semakin memperkuat ambang batas parlemen tidak serta-merta menjadi instrumen penyederhanaan, apalagi tanpa disertai pemahaman kepada pemilih soal efek sampingnya yang melahirkan suara terbuang. Penyederhanaan partai memang bukan sesuatu yang sederhana dan bisa disederhanakan melalui mekanisme elektoral semata.