Sempat terkendala bahan baku seiring pelarangan alat tangkap cantrang, surimi atau daging ikan yang dihaluskan masih menjadi komoditas ekspor dengan volume tertinggi di Jawa Tengah. Namun, masih perlu upaya lebih keras meningkatkan nilai tambah produk itu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sempat terkendala bahan baku seiring pelarangan alat tangkap cantrang, surimi atau daging ikan yang dihaluskan masih menjadi komoditas ekspor dengan volume tertinggi di Jawa Tengah. Namun, masih perlu upaya lebih keras untuk meningkatkan nilai tambah produk itu.
Menurut data Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Semarang, volume ekspor perikanan Jateng pada Januari-April 2019 sebanyak 14.932 ton. Jumlah itu naik 5,1 persen dari periode sama pada 2018. Surimi jadi penyumbang terbanyak dengan bobot 3.307 ton.
Kepala Seksi Pengawasan dan Pengendalian Data Informasi BKIPM Semarang Ely Musyarofah, Kamis (30/5/2019), mengatakan, para pelaku usaha surimi sempat terdampak seiring pelarangan cantrang. Namun, adanya kemudahan perizinan membuat surimi kembali menggeliat.
”Bahan baku sempat kosong, tetapi memang harus dipikirkan karena surimi menyumbang devisa hasil ekspor. Dengan adanya kemudahan perizinan, produksi surimi kembali menggeliat. Dalam hal ini, BKIPM sebagai penjamin juga melayani sertifikasi,” kata Ely.
Pada awal 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendata dan memverifikasi kapal-kapal cantrang di sejumlah daerah di Jateng, seperti Kota Tegal, Kabupaten Batang, Pati, dan Kabupaten Rembang. Nelayan boleh melaut dengan syarat mau beralih alat tangkap di kemudian hari.
Ely menjelaskan, bahan baku surimi umumnya merupakan ikan rucah atau ikan-ikan kecil. ”Bahan baku tersebut sudah terstandardisasi, sesuai tingkatan kualitasnya. Ekspor surimi dari Jateng antara lain ke China, Jepang, dan Amerika Serikat,” katanya.
Kepala BKIPM Semarang R Gatot Perdana menuturkan, surimi memang merupakan salah satu komoditas andalan ekspor perikanan. Hal itu karena kualitas produknya termasuk baik.
”Dibandingkan negara lain, seperti Vietnam, kualitas surimi di Indonesia lebih baik. Hal ini antara lain karena proses pengolahan yang telah memenuhi standar dan bahan baku yang merupakan kategori ikan-ikan segar. Ini membuat pasar bergantung pada Indonesia,” ujar Gatot.
Nilai jual
Meski dominan dari segi volume, nilai jual surimi masih terbilang rendah. Sebagai perbandingan, pada Januari-April 2019, sebanyak 3.307 ton surimi yang diekspor dari Jateng hanya menghasilkan Rp 107 miliar. Sementara 1.086 ton rajungan (termasuk daging rajungan) menghasilkan Rp 350 miliar.
Ely menuturkan, hal itu bakal menjadi catatan untuk meningkatkan nilai jual dan daya saing produk. ”Perusahaan pengolahan ikan dapat melakukannya, misalnya dengan peningkatan teknologi yang membuat nilai ekonomi produksi lebih baik,” katanya.
Menurut data BKIPM, total ada 51 unit pengolahan ikan (UPI) di Jateng. Dari jumlah itu, tujuh di antaranya pabrik surimi. Empat di Rembang, sedangkan sisanya di Tegal, Pekalongan, dan Kendal.
Sebelumnya, pada 2018, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim meminta pemerintah memastikan aktivitas produksi surimi tetap berjalan. Hal itu dilakukan dengan membuka ruang pasokan bahan baku baru dari wilayah pengelolaan perikanan yang memungkinkan (Kompas, 15 Februari 2018).
Selain surimi dan rajungan, komoditas penyumbang volume ekspor terbanyak di Jateng pada Januari-April 2019 adalah cumi, udang putih, dan daging nila. Cumi menghasilkan 1.752 ton (Rp 72 miliar), udang putih 787 ton (Rp 74 miliar), dan daging nila 723 ton (Rp 45 miliar).