Menutup Ruang Teror di Momen Politik
Hingga Senin (20/5/2019), tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah menangkap sekitar 30 tersangka teroris selama bulan ini. Mayoritas penangkapan dilakukan untuk mengantisipasi aksi teror pada hari pengumuman hasil rekapitulasi nasional Pemilu 2019.
Pengungkapan puluhan teroris itu menunjukkan ada perkembangan dalam strategi aksi teror yang dilakukan anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Meskipun hanya menggunakan media sosial untuk mempelajari pembuatan bom, sejumlah orang dalam kelompok itu telah mampu menciptakan sejumlah bom berdaya ledak tinggi.
Hal itu terungkap dalam penangkapan Endang alias Abu Rafi alias Pak Jenggot di wilayah Cibinong, Jawa Barat, Jumat lalu. Ia telah menciptakan enam bom yang diramu dengan bahan utama triaseton triperoksidaalias TATP yang jamak disebut mother of satan dan sejumlah bahan kimia lain. Berdasarkan konfirmasi resmi dari otoritas kepolisian Sri Lanka, bom jenis itu yang digunakan dalam aksi bom bunuh diri di tiga gereja, awal Mei lalu.
Pembuatan bom berdaya ledak tinggi itu juga telah diungkap tim Densus 88 Antiteror Polri ketika menangkap jaringan teroris di Sibolga, Sumatera Utara, yang dipimpin oleh Abu Hamzah, Maret lalu. Abu Hamzah pun telah membuat bom rakitan berdaya ledak tinggi seberat 100 kilogram.
Dalam penangkapan Endang terungkap pula penggunaan sejumlah metode dalam rencana aksi teror pada aksi massa di Komisi Pemilihan Umum, 22 Mei, yakni dengan bom bunuh diri atau bom diletakkan di suatu tempat untuk diledakan dari jarak jauh. Lalu, ada pula rencana amaliyah atau aksi teror dengan senjata tajam dan senjata api.
Kemudian, ada pula bom yang disiapkan amir atau pemimpin jaringan JAD Bekasi, Jawa Barat, EY. Bom itu bisa diatur dari jarak jauh menggunakan wifi. Kecanggihan bom ini merupakan pengembangan dari bom jarak jauh melalui sinyal telepon genggam yang digunakan pelaku bom Bali 1, Oktober 2002. Penggunaan wifi dilakukan untuk mengantisipasi teknologi peredam sinyal telepon (jammer) yang dipasang di kawasan kantor KPU.
Target
Kepala Biro Penerangan Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo nengungkapkan, bom yang telah disiapkan akan diledakkan pada 22 Mei nanti. Sasaran utama aksi teror itu ialah aparat keamanan dan para peserta unjuk rasa di KPU.
Merujuk data dalam Global Terrorism Database yang dikeluarkan National Consortium for the Study of Terrorism and Responses to Terrorism (START), selama periode 2013-2017, kelompok JAD mendominasi serangan teror di Indonesia. Dari 20 peristiwa teror, sebanyak 15 serangan teror diinisiasi oleh jaringan JAD.
Dari jumlah serangan teror itu, masyarakat sipil dan polisi paling banyak menjadi korban. Masyarakat menerima 36 serangan yang mengakibatkan 42 orang tewas dan 42 orang terluka. Sementara itu, serangan kepada anggota kepolisian berjumlah 34 peristiwa yang menyebabkan 44 aparat tewas dan 65 lainnya terluka.
Melalui sejumlah operasi penangkapan Densus 88 Antiteror dalam tiga bulan terakhir setidaknya dapat diklasifikasikan dua kategori kelompok teroris pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yaitu sel JAD dan sel non-JAD.
Melalui sejumlah operasi penangkapan Densus 88 Antiteror dalam tiga bulan terakhir setidaknya dapat diklasifikasikan dua kategori kelompok teroris pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yaitu sel JAD dan sel non-JAD.
Adapun penangkapan terhadap sekitar 30 anggota jaringan JAD menunjukkan ada dua sel dari kelompok teroris itu. Pertama, para teroris yang teradikalisasi melalui media sosial. Kedua, para anggota JAD yang pernah menuju ke Suriah.
Kedua sel JAD ini memiliki rencana yang seragam, yakni memanfaatkan aksi massa di KPU untuk melakukan aksi teror. Tujuannya, agar korban masyarakat sipil semakin banyak.
Pengamat terorisme, Al Chaidar, menjelaskan, kedua sel itu sama-sama memiliki pemahaman takfiri yang keras. Artinya, mereka akan menyerang siapapun yang memiliki pemahaman keagamaan yang berbeda.
Lalu, lanjut Chaidar, perbedaan mencolok dari kedua sel itu ialah para anggota JAD yang pernah berada atau sempat berusaha masuk ke Suriah tidak lagi bisa berkompromi. Alhasil, pendekatan lunak atau negosiasi yang hendak dilakukan aparat keamanan untuk mengagalkan rencana teror tidak akan berhasil.
“Mereka sudah tidak bisa diajak kompromi oleh aparat. Mereka rela mengorbankan umat muslim atau rakyat sipil lain untuk mewujudkan rencana amaliyah,” kata Chaidar.
Mereka sudah tidak bisa diajak kompromi oleh aparat. Mereka rela mengorbankan umat muslim atau rakyat sipil lain untuk mewujudkan rencana amaliyah
Dalam laporan Institut Analisis Kebijakan Konflik (IPAC), April 2019, bertajuk “The Ongoing Problem of Pro-ISIS Cells in Indonesia”, Direktur IPAC Sidney Jones menuturkan, sel Sibolga adalah contoh lain dari sel kelompok teroris yang tidak terafiliasi dengan organisasi JAD. Alhasil, kelompok itu akan lebih sulit terdeteksi. Ia menjelaskan, Abu Hamzah bisa terungkap setelah tim Densus 88 Antiteror menangkap Rinto Sugianto di Lampung.
Menurut Jones, rencana serangan teror yang dilakukan sel non-JAD tidak hanya didasari perintah dari pimpinan NIIS di Timur Tengah, tetapi mereka ingin membuktikan eksistensi dan kemampuan bahwa mereka bisa melakukan aksi teror yang lebih baik dari JAD.
“Mereka umumnya memiliki sedikit pelatihan, indoktrinasi, senjata, atau pengalaman. Tetapi mereka memiliki semangat dan keinginan untuk pengakuan yang tidak terbatas,” kata Jones.
Pemilihan waktu
Penetapan 22 Mei sebagai momentum amaliyahmerupakan waktu yang strategis. Hal itu didasari dua hal, yaitu adanya tahapan Pemilu 2019 dan momen bulan Ramadan.
Kenapa kelompok teroris pendukung NIIS merencanakan aksi teror pada momen Pemilu 2019? Salah satu tersangka teroris, DY alias Jundi alias Bondan (32), yang ditangkap pekan lalu di Nganjuk, Jawa Timur, mengungkapkan, rencana amaliyah pada aksi massa di KPU dilakukan karena mereka berkeyakinan bahwa mengikuti tahapan pesta demokrasi adalah syirik (menyekutukan Allah) akbar yang dapat membatalkan keislaman dirinya.
Pemahaman DY itu merupakan hal yang dimiliki oleh seluruh simpatisan NIIS. Salah satu pendiri NIIS, Abu Musab al-Zarqawi, menentang keras perhelatan Pemilu Irak 2005 lalu. Ia pun berkata,
“Pemimpin yang dipatuhi dalam demokrasi adalah manusia, bukan Allah. Hal itu jelas ajaran sesat dan bertentangan dengan iman”.
Adapun bulan Ramadan juga selalu dianggap sebagai waktu yang baik untuk melakukan jihad oleh kelompok teroris. Satu aksi teror pada 5 Juli 2016 atau di hari terakhir bulan Ramadan 1437 hijriah merupakan salah satu bukti kelompok JAD selalu menunggu momentum untuk melakukan amaliyah pada bulan Ramadan. Kala itu, Nur Rohman (31) menyerang Markas Kepolisian Resor Kota Surakarta, Jawa Tengah, melalui bom bunuh diri.
Di tengah segelintir peserta pemilihan presiden 2019 yang terus berupaya menggerakkan masyarakat untuk ikut serta dalam people power, tim Densus 88 Antiteror Polri terus bergerak untuk mencegah amaliyah yang direncanakan kelompok teroris. Kita berharap agar tahapan akhir pesta demokrasi tahun ini berjalan lancar. Semoga…