Nasi Padang dan Kekalahan Jokowi di Sumbar
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F02%2F75502336_1549717844.jpg)
Ragam masakan khas Padang. Nasi padang tidak hanya sekadar makanan. Pembahasan tentangnya juga berkait dengan politik.
Sebagai produk kultural, nasi padang telah diterima secara universal. Aromanya melampaui sekat persukuan, pilihan politik, bahkan perbedaan keyakinan. Namun, tidak demikian ihwal orang Minang, produsen nasi padang, dalam berpolitik. Dalam dua pemilu terakhir, urang awak menjadi mudah terpetakan.
Minangkabau yang dulu terbuka terhadap semua pandangan politik kini menjadi sangat kaku. Mengapa bisa demikian?
Pekerja perusahaan rintisan dan jebolan Universitas Indonesia, Claudia Jasmine (23), menjadikan nasi padang sebagai makanan idola. Seperti dirinya, keluarganya juga penggemar nasi padang.
Makan bareng di rumah makan padang kerap dilakukan selepas pulang dari gereja bersama keluarganya. Acap juga rendang beserta lauk-pauk lain dibungkus dan dibawa pulang. ”Aku suka rasa rendang. Enak. Gurih,” katanya, Selasa (7/5/2019).

Claudia Jasmine (23), penyuka nasi padang.
Sewaktu kuliah di Institut Teknologi Bandung, salah satu penulis di jurnalruang.com, Permata Adinda (22), doyan betul pada nasi padang. Menu favoritnya adalah rendang, dendeng balado, dan gulai gajeboh.
”Perpaduan tekstur antara daging dan bumbu serta rasa santan dan lemak yang lumer dalam gajeboh. Itu bikin ketagihan,” kata perempuan perpaduan Jawa-Betawi ini.
Nasi padang telah menjadi bagian yang sangat universal bagi bangsa ini. Produk kuliner rumah makan padang pun nongol dalam obrolan politik. Simak saja perbincangan Presiden Joko Widodo dengan presenter kondang Najwa Shihab seminggu sesudah Pemilu 2019.

Permata Adinda (22), penyuka nasi padang.
Najwa meminta tanggapan Jokowi berkait rendahnya suara petahana itu di Sumatera Barat berdasarkan hitung cepat. Padahal, dalam lima tahun pemerintahannya, Jokowi selalu mengatakan pembangunan tidak boleh hanya terpusat di Jawa. Sumatera Barat salah satu wilayah yang cukup gencar dibangun dan dikunjungi Jokowi.
Menjawab pertanyaan Najwa, Jokowi menyatakan bahwa itu adalah konsekuensi politik. Ada yang senang, ada juga yang tidak. Ia juga menegaskan, pembangunan di luar Jawa tak ada kaitannya dengan keinginannya untuk meraup keuntungan elektoral. ”Yang jelas, saya tetap makan nasi padang,” ucap Jokowi.
”Yang jelas, saya tetap makan nasi padang,” kata Jokowi.
Berdasarkan sistem informasi perhitungan suara KPU, suara pasangan calon presiden-wakil presiden Jokowi-Amin di Sumatera Barat hanya mendapat 360.501 suara, sedangkan Prabowo-Sandi mengantongi 2.221.136 suara. Sistem ini diakses pada Selasa (7/5/2019) pukul 12.03.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2F05E4E0E9-1EF5-4971-AC9C-B84C69A527DE_1555589223.jpeg)
Presiden Joko Widodo menyampaikan harapannya untuk segera bertemu dengan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno dalam wawancara khusus dengan Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/4/2019) siang.
Tokoh masyarakat Minang, Ramzy Nasroen, menduga, kekalahan Jokowi di Sumbar disumbang oleh dendam sejarah. Orang Minang tidak begitu senang dengan elite tanah Jawa.
Semua bermula dari berakhirnya gerakan PRRI, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, tahun 1961. Pada masa itu, Ahmad Husein, salah seorang pucuk pimpinan PRRI, menyerahkan diri. Berakhirlah gerakan yang mengkritik (memberontak) pemerintah pusat itu.
”Perlakuan sebagai orang yang kalah perang itu terasa sekali. Operasi militer beberapa kali membuat orang Minang punya kesimpulan bahwa ini adalah akibat kebijakan ’Jawa’,” ujar anak sulung Gubernur Sumatera Tengah M Nasroen ini.
Sumatera Tengah kemudian berubah menjadi Provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2Fkompas_tark_11151186_92_0.jpeg)
Pegawai rumah makan di kawasan Pasar Raya, Kota Padang, Sumatera Barat, Selasa (20/9/2011), menyiapkan rendang.
Ramzy menceritakan pengalaman ayahnya saat menjadi gubernur di Sumatera Tengah. Saat itu, M Nasroen akan dipanggil ke Jakarta untuk menempati posisi sebagai pejabat di Kementerian Dalam Negeri.
Pengganti Nasroen sebagai gubernur merupakan orang Jawa. Banyak orang protes. Dalam pidatonya, Nasroen mengatakan, pemimpin itu ibarat pahat. ”Jika bersalah, tokok (pukul) saja kepalanya,” kata Ramzy, mengenang pidato ayahnya.

Pengurus Masjid Agung Al Jihad, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Ramzy Nasroen. Ramzy juga salah satu tokoh Minang yang ada di Tangerang Selatan.
Di atas kertas, lanjutnya, sebagian besar orang Minang telah menyatakan pilihan elektoralnya melalui sosok Prabowo Subianto. Kendati demikian, selain dari hitung cepat, kesimpulan ini tidak berangkat dari musyawarah dan mufakat.
”Masih ada kok tokoh-tokoh Minang yang melihat Prabowo bermasalah, tapi mereka lebih memilih hening,” ucap Ramzy, yang satu angkatan dengan politisi gaek Akbar Tandjung di Universitas Indonesia.
Intelektual muda Minangkabau, Heru Joni Putra, berpendapat, tingginya suara Prabowo di Sumbar dipengaruhi tiga faktor, yakni sosial ekonomi, politisasi agama, dan legitimasi adat.
Masih ada kok tokoh-tokoh Minang yang melihat Prabowo bermasalah, tapi mereka lebih memilih hening.
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Cultural Studies Universitas Indonesia ini menjelaskan, Sumbar mengalami kebuntuan sosial-ekonomi. Tidak ada sumber ekonomi dalam skala besar di sana. Kalaupun ada, semisal PT Semen Padang, itu milik negara, bukan masyarakat Minang.
Masyarakat badarai mengeluh. Ekonomi seret. Sementara intelektual mudanya kesulitan mengakses dana penelitian di universitas. ”Jokowi bukannya tidak punya solusi, tetapi ini, kan, soal cara pandang melihat solusi itu yang berbeda,” kata Heru.
Dia melanjutkan, rasa frustrasi sosial ekonomi itu mengendap di alam bawah sadar rakyat. Di saat bersamaan, Prabowo hadir sebagai representasi kritik terhadap pemerintah. Prabowo seolah-olah mengartikulasikan sikap politik masyarakat Sumbar yang terpendam itu.
”Lantas, apakah tokoh yang mengartikulasikan sikap politik rakyat itu bisa memberi solusi? Itu pertanyaannya,” ujarnya.

Intelektual muda Minangkabau, Heru Joni Putra.
Perajin puisi yang karyanya pernah dimuat di Kompas ini melanjutkan, politisasi agama turut berperan. Heru menolak tesis bahwa pemeluk Islam di Sumbar berhaluan keras. Menurut Heru, mereka adalah orang-orang apolitis yang tidak mendapat pengetahuan merata terkait kandidat Pemilu 2019. ”Secara propaganda politik, kelompok Islam tertentu berhasil di Sumbar,” katanya.
Heru menolak tesis bahwa pemeluk Islam di Sumbar berhaluan keras. Menurut Heru, mereka adalah orang-orang apolitis yang tidak mendapat pengetahuan merata terkait kandidat Pemilu 2019.
Yang tak kalah penting, lanjut Heru, adalah peranan adat dalam melegitimasi konsep yang cair terhadap pemimpin ideal. Secara kritis, Heru menyoroti konsep pemimpin ideal bagi orang Minang yang terangkum dalam konsep 3T: takah, tageh, tokoh. Dia menilai, konsep itu tidak memiliki indikator yang jelas. Artinya, konsep itu bisa dilekatkan kepada siapa saja yang berkepentingan.
”Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menyederhanakan 3T dalam bentuk pemimpin militer. Padahal, dalam dua periode pemerintahan Gubernur Irwan, tidak kami dapati konsep 3T itu dalam dirinya sendiri,” tuturnya.
Dia melanjutkan, fenomena politik di Sumbar sungguh berbeda dengan zaman dahulu. Pada suatu masa, khususnya zaman kemerdekaan, ekspresi politik orang Minang sangat beragam. Keberagaman itu, menurut Heru, yang menginspirasi Audrey Kahin menulis Dari Pemberontakan ke Integrasi.
Heru juga menyoroti bangunan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) sewaktu masih eksis di Sumbar. PKI cabang Padang cenderung mirip PKI Jawa yang konfrontatif terhadap kelompok agama. Sementara PKI cabang Padang Panjang dekat ke Tan Malaka, yang akomodatif terhadap kelompok agama. ”Bahkan, ekspresi keberagaman itu berada dalam satu naungan kepartaian,” katanya.

Diaspora Minangkabau, Irmanza (31).
Diaspora Minangkabau, Irmanza (31), membagi dua jenis orang Minang dalam Pemilu 2019. Mereka yang masih kental dengan adat memilih Prabowo-Sandi, sedangkan Minang modern yang tinggal di perkotaan memilih Jokowi-Amin.
Di keluarga besar Irma, dua kandidat itu menjadi idola. Ada anggota keluarganya yang cenderung memilih pasangan 01, tetapi ada juga 02. Dia belajar betul dari Pemilu 2014.
Awalnya, ada seseorang yang mengutarakan kekecewaan di Facebook karena Jokowi kalah di Sumbar. Tulisan itu mempertanyakan mengapa orang Minang sangat benci kepada Jokowi.
Diskusi di grup Whatsapp keluarga pada tahun itu memanas. Pada pemilu kali ini, Irma dan keluarga lebih santai. ”Pemilu 2014 itu jadi pelajaran banget. Tidak ada gunanya ribut-ribut soal politik,” ujar aparatur sipil negara di lingkungan Pemprov DKI Jakarta ini.
Pasca-Pemilu 2019, beredar kabar tidak sedap. Pendukung petahana dituduh memboikot rumah makan padang karena idolanya kalah di Sumbar.
Kabar ini dibantah oleh anggota jaringan awan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Amin, Felagonna. Alumnus Filsafat Universitas Gadjah Mada yang bermastautin di Sumbar ini menjelaskan, kisruh boikot rumah makan padang berawal dari komentar di Facebook.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F05%2Fkompas_tark_11151329_103_0.jpeg)
Reno Andam Suri (kanan) memasak rendang daging sapi dengan dibantu dua pekerjanya di rumah produksi Rendang Uni Farah, Ciledug, Tangerang, Banten, Sabtu (24/9/2011). Selain laris di pasar lokal, Rendang Uni Farah juga diminati banyak pembeli dari mancanegara.
Pada awalnya, lanjut Felagonna, seorang bernama Dewi Tanjung mengutarakan kekecewaan karena Jokowi kalah di Sumbar. Tulisan itu mempertanyakan mengapa orang Minang sangat benci kepada Jokowi.
Lantas, pada komentar ke-33, ada warganet yang menyatakan tidak akan membawa keluarganya ke rumah makan padang lagi. Komentar itu lalu di-screenshot oleh pihak yang tidak diketahui. Hasil tangkapan layar itulah yang menjadi awal dari tuduhan boikot rumah makan padang itu.
”Kami kecolongan. Itu, kan, sebenarnya ekspresi warganet. Ketika diamplifikasi, usaha untuk meredam tagar boikot nasi padang itu tidak maksimal karena pilpres sudah selesai,” katanya.
Benar atau tidaknya kabar boikot itu, Jasmine dan Adinda, duo perempuan penyuka nasi padang, tidak ambil pusing. Mereka tetap menyantap rendang di tengah gosip pemilu yang tak kunjung usai.