MALANG, KOMPAS — Minimnya pendidikan politik memicu terbelahnya sikap masyarakat akibat perbedaan pandangan dalam Pemilihan Umum 2019. Peran Komisi Pemilihan Umum lebih pada posisi memberikan sosialisasi, bukan pendidikan politik.
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Sipil Malang terkait evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019 di Malang, Jawa Timur, Selasa (30/4/2019). Hadir sebagai peserta diskusi adalah belasan akademisi dari sejumlah perguruan tinggi, antara lain Universitas Brawijaya, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Widya Gama, dan Universitas Negeri Malang. Ikut hadir praktisi dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat.
”Di Indonesia, tidak ada pendidikan politik yang dilakukan oleh siapa pun. Partai politik belum melakukannya. KPU hanya sosialisasi pemilu. Artinya, masyarakat tidak pernah mengikuti pendidikan politik,” ujar M Lukman Hakim dari Badan Penelitian dan Pengabdian Kepala Masyarakat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
Menurut Lukman, keterbelahan di Indonesia berlangsung sejak lama. Jauh sebelum hari ini, politik pecah belah oleh Belanda sudah terjadi di Indonesia. ”Jadi, pemilu hari ini merupakan imbas dari keterbelahan yang sudah lama dikenal,” katanya.
Ke depan, Lukman menyebutkan, penting untuk mendiskusikan pendidikan politik secara lebih detail. Semuanya akan lebih berguna untuk masa depan bangsa ketimbang sibuk menghitung kecurangan selama pemilu. Alasannya, dia yakin, semua kelompok juga melakukan kecurangan.
Masalah yang muncul
Pengajar Sosial Politik di Universitas Muhammadiyah Malang, Wahyudi Winarjo, lebih merinci menjelaskan permasalahan yang muncul selama pemilu berikut solusi penanganannya. Masalah pertama yang muncul adalah perang hoaks. Oleh karena itu, segera diperlukan adanya kontribusi media sosial dan media arus utama agar berada di posisi netral.
Masalah lainnya, menurut Wahyudi, terkait data. Finalisasi daftar pemilih tetap yang dilakukan sampai 10 April dinilai tidak efektif karena pemilu tinggal satu pekan lagi.
”Seseorang memang bisa pindah memilih, tetapi logistik pemilu tidak bisa berpindah. Penyelenggara pemilu dari pusat sampai daerah juga tidak boleh partisan,” ujarnya.
Pada kesempatan ini, Wahyudi juga mengingatkan agar organisasi keagamaan kembali ke visi keumatan, bukan justru terjebak pada politik praktis. Saat ini, organisasi keagamaan dinilai telah terjebak dalam manisnya janji dunia politik.
”Politik identitas juga masih berkembang karena provinsi-provinsi kita masih terkompartemensasi berdasarkan sejarah dan ideologi tertentu. Misalnya, Jawa Timur didominasi NU, Jawa Tengah nasionalis,” ucapnya.
Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Widya Gama, Anwar Cengkeng, mengatakan, pemilu berkualitas menjadi patokan keberhasilan negara melaksanakan demokrasi. Ia pun mengurai bagaimana pemilu pertama, pemilu pada masa Orde Baru, Reformasi, dan pasca-Reformasi.
Pemilu serentak tahun 2019 bisa terjadi, menurut dia, setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Jika sebelumnya pemilu presiden dilaksanakan setelah pemilu legislative, mulai 2019 keduanya dilakukan bersamaan.
”Keputusan MK bisa berubah. Setelah ini, dimungkinkan akan ada undang-undang baru yang membuat pemilu selanjutnya tidak seperti sekarang,” lanjutnya.