JAKARTA, KOMPAS - Partai Amanat Nasional hanya mendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno sampai Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan hasil resmi serta memutuskan pemenang pemilihan presiden. Lamanya masa dukungan ini telah menjadi kesepakatan Partai Amanat Nasional ketika mulai mendukung pasangan tersebut.
Sebelumnya, terjadi pertemuan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (24/4), yang menimbulkan spekulasi bergesernya arah dukungan politik kepada Joko Widodo-Ma\'ruf Amin.
"Komitmen PAN di Badan Pemenangan Nasional Koalisi Adil Makmur hanya sampai berlangsungnya pemilihan presiden. Pemilihan sudah selesai dan hasil resminya masih menunggu dari KPU. Seterusnya, PAN punya otoritas penuh dalam menentukan arah dukungan politik. Segala kemungkinan bisa saja terjadi," ucap Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan di Jakarta, Senin (29/4/2019) dalam diskusi No People No Power: Silaturahmi Politik Paska Pemilu.
Diksusi ini dihadiri oleh Budayawan Mohamad Sobary, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti, dan Peneliti Bidang Perkembangan Politik Nasional LIPI Aisah Putri Budiatri.
PAN punya sejarah panjang relasi maju-mundur dengan Jokowi. Berawal sebagai pendukung Prabowo-Hatta Rajasa pada Pemilu 2014, PAN akhirnya bergabung ke koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla pada September 2015.
Setelah dua tahun bergabung, PAN lebih banyak berbeda sikap dengan pemerintah dan koalisi di DPR, seperti pada sejumlah isu penting di revisi Undang-Undang Pemilihan Umum serta Perppu Ormas. Pada akhirnya, PAN resmi keluar dari koalisi pada Agustus 2018 dan kembali mendukung Prabowo di Pemilu 2019.
Menurut Bara, bukan sesuatu yang aneh ketika PAN memutuskan untuk bergabung dengan koalisi pendukung pemerintahan. PAN selalu mendukung pemerintah sejak era pemerintahan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid.
"Bukan oportunis. PAN melihat kontribusi yang bisa diberikan melalui pemerintahan. Paska pemilu, suasana di masyarakat masih tegang. Pak Zulkifli sadar akan ada interpretasi macam-macam usai pertemuan dengan Pak Jokowi. Namun, ketua umum punya tanggung jawab menjalin komunikasi untuk kepentingan bangsa," katanya.
Bara juga memastikan, PAN tidak ingin terjebak dengan klaim sepihak dan tidak berdasar paska rilisnya hasil hitung cepat lembaga survei serta penghitungan suara oleh KPU yang masih berlangsung.
Menurutnya, klaim dan gerakan yang menjurus ke delegitimasi KPU justru menimbulkan kekacauan. Parahnya, hal tersebut tidak didukung data yang valid terhadap tuduhan.
"Itu hanya ide pribadi," ujarnya.
Diuntungkan
PAN diuntungkan jika arah dukungan politik bergeser kepada Jokowi-Amin.
Peneliti Bidang Perkembangan Politik Nasional LIPI Aisah Putri Budiatri menjelaskan, PAN tidak akan mengalami kerugian ketika memutuskan bergabung dengan pemerintahan. Jika Jokowi-Amin terpilih maka koalisi hanya akan terikat sampai 2024. Kemudian peta politik akan berubah untuk pemilihan presiden berikutnya.
Selain itu, pertemuan Zulkifli dengan Jokowi mendapat respon yang baik dari kader, TKN maupun BPN. "Penting nagi PAN untuk tentukan sikap secara formal arah dukungan politik," ucap Aisah.
Aisah menambahkan, kelak arah dukungan politik harus membuat pemerintah lebih efektif dalam pengambilan kebijakan, melayani serta memenuhi kebutuhan publik. Bukan sebaliknya hanya untuk kesepakatan politik seperti jabatan.
Sementara menurut Budayawan Mohamad Sobary, elite politik jangan mengemas diri sekadar ketua bagi kelompok tertentu. Elite politik seharusnya menampilkan watak pemimpin dalam kepemimpinannya.
"Elite politik hadir untuk seluruh masyarakat. Elite menjadi penyejuk suasana di tengah masyarakat," ujarnya.