Sejak diresmikan Pejabat Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967, Kali Malang menjadi saksi sejarah perubahan peradaban di Kota Bekasi, Jawa Barat. Kali dengan panjang 71 kilometer itu terhubung dengan Waduk Jatiluhur, Purwakarta, dan membentang melintasi Karawang, Bekasi, hingga Cawang, Jakarta Timur.
Oleh
Stefanus Ato
·5 menit baca
Sejak diresmikan Pejabat Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967, Kali Malang menjadi saksi sejarah perubahan peradaban di Kota Bekasi, Jawa Barat. Kali dengan panjang 71 kilometer itu terhubung dengan Waduk Jatiluhur, Purwakarta, dan membentang melintasi Karawang, Bekasi, hingga Cawang, Jakarta Timur.
Berbeda dengan sungai alam di Jawa Barat yang mengalir dari selatan ke utara atau sebaliknya, Kali Malang mengalir dari timur ke barat. Kali buatan itu mengalir memalang sejumlah sungai alam, seperti Sungai Cirata, Sungai Bekasi, dan Sungai Cakung. Adapun peresmian kali itu dilakukan bersamaan dengan peresmian Waduk Jatiluhur.
”Disebut Kali Malang karena dia mengalir memalangi kali alam. Posisi dia berada di atas kali alam, yang kemudian menyatu. Tetapi, prinsipnya dia ada di atas kali alam,” kata pemerhati sejarah Ali Anwar, Jumat (26/4/2019), di Bekasi.
Kali Malang dibangun zaman Presiden Soekarno pada 1957, ditargetkan rampung tahun 1962. Namun, karena persoalan teknis dan situasi politik di dalam negeri, memaksa penyelesaian proyek itu molor.
Meski saat itu warga Bekasi telah punya Sungai Bekasi, mereka antusias menyerahkan lahan secara cuma-cuma untuk pengerjaan proyek Kali Malang. Hal itu wujud karakter bangsa Indonesia, termasuk Bekasi, yang dikenal berjiwa sosial dan memiliki semangat gotong royong.
Pembangunan Kali Malang merupakan kebijakan pemerintah memenuhi pasokan air baku warga Jakarta. Tahun 2018, pasokan air baku sebanyak 725 meter kubik bagi warga Jakarta disuplai dari Kali Malang. Kali itu juga berfungsi sebagai saluran irigasi, termasuk mengairi area persawahan warga Bekasi.
”Sejak ada Kali Malang, hasil panen warga meningkat. Awalnya mereka hanya panen sekali setahun, meningkat menjadi dua hingga tiga kali setahun,” ucap Ali.
Awal pencemaran
Semenjak berfungsi setengah abad lalu, air Kali Malang mengalir dengan sangat jernih, bahkan berkilau ketika terpapar sinar matahari. Situasi itu tentu berbeda dengan saat ini.
Sore itu, Senin (22/4/2019), di tepi Kali Malang, dekat Kampus Unisma, Kota Bekasi, air mengalir perlahan. Seorang perempuan setengah baya duduk di beton salah satu sisi saluran itu. Perlahan pakaian demi pakaian dikucak, dibilas. Tak jauh dari perempuan itu, sejumlah pria sibuk membersihkan tubuh yang berlumpur.
Di balik aktivitas sejumlah warga sore itu, aliran air Kali Malang dipenuhi sampah eceng gondok, sampah plastik, daun kering, dan bangkai tikus. Sampah yang mengapung itu bak berkejaran terseret arus air dengan debit 20.200 liter per detik. Warga tak peduli, sampah itu pun hanyut tanpa terganggu.
”Saya sudah hampir setengah tahun, mandi dan cuci pakai air ini. Tidak ada apa-apa, kulit saya cocok,” kata Maban (60), perempuan separuh baya itu.
Perubahan air Kali Malang menandakan perubahan peradaban warga Bekasi. Bantaran Kali Malang dulu kala hanya dimanfaatkan warga untuk menanam berbagai aneka sayuran, seperti kangkung, bayam, dan sawi. Aktivitas yang terus menggeliat itu perlahan tumbuh bedeng-bedeng. Kemudian berganti menjadi rumah semipermanen hingga menjadi permanen.
Air Kali Malang tak lagi dimanfaatkan hanya sekadar untuk membasahi tanaman, tetapi juga untuk mencuci dan membilas pakaian. Sisa detergen dibuang ke Kali Malang. Bahkan, lebih dari itu, kakus terapung pun ada di sana. Kotoran manusia menyatu dengan air kali ini.
Keadaan itu setidaknya masih terlihat di luar Bekasi, di Karawang. Catatan Kompas, Senin (4/2/2019), menyebutkan, warga di Desa Wadas, Teluk Jambe, Karawang, membuang hajat dan mandi di kali itu. Di tempat tersebut juga ditemukan bilik-bilik semipermanen untuk mandi cuci kakus.
Menurut Ali Anwar, awal mula keruhnya Kali Malang dan Kali Bekasi berawal dari berubahnya sejumlah wilayah penyanggah Jakarta, termasuk Bekasi yang disulap menjadi kawasan industri dan perumahan. Hal itu terjadi setelah tahun 1974, pertumbuhan penduduk Jakarta kian padat.
”Bekasi yang awalnya berupa rawa dan sawah disulap menjadi kawasan industri dan perumahan. Supaya tidak banjir, dibangun saluran-saluran dari perumahan dan dialirkan ke Kali Bekasi,” kata Ali.
Tercemar coli tinja
Meski masih menjadi pemasok utama air baku bagi warga Jakarta dan sebagian warga Bekasi, Kali Malang kian tercemar. Data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta tahun 2012-2017 menunjukkan, konsentrasi coli tinja di Kali Malang mulai dari 5.750 jumlah sel (jml)/100 mililiter (ml) sampai 340.000 jml/100 ml. Konsentrasi tertinggi ditemukan tahun 2018 sebanyak 1 juta jml/100 ml.
Kompas pernah menguji sampel Kali Malang di laboratorium PT ALS Indonesia di Sentul, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan tenaga laboratorium PT ALS di ruas aliran Kali Malang, dekat Jalan Mayor Madmuin Hasibuan, Kota Bekasi, Selasa, 22 November 2018, pukul 14.30. Saat pengambilan sampel, cuaca dalam kondisi hujan rintik. Beberapa jam sebelum sampel diambil, wilayah Bekasi diguyur hujan deras.
Hasil pengujian itu menunjukkan konsentrasi coli tinja sebesar 3.000 jml/100 ml. Hal itu tentu lebih tinggi dari standar baku mutu untuk baku air minum yang ditetapkan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sebesar 1.000 jml/100 ml.
Rencana penataan
Di tengah isu pencemaran Kali Malang, angin segar datang dari Bandung. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil merencanakan penataan Kali Malang melalui unggahan akun Instagram-nya pada 12 September 2018. Dua pekan kemudian, dia kembali memperbarui informasi itu dengan mengunggah gambar calon rancangan Kali Malang.
Model penataan Kali Malang yang didesain Ridwan Kamil mengingatkan orang pada Sungai Cheonggyecheon di Seoul, Korea Selatan. Aliran sungai itu mengalir membelah Kota Seoul. Saking jernihnya, ikan-ikan yang berenang di sana terlihat jelas.
Sungai Cheonggyecheon dibeton. Di pinggirnya menjadi lintasan lari atau berjalan kaki. Di sejumlah titik dibangun air terjun, air mancur, hingga delta-delta buatan untuk berbagai kegiatan. Rumput atau tanaman liar dibiarkan tumbuh alami. Tidak ada sampah mengembang dan menumpuk di sungai itu (Kompas, 25/11/2018).
Namun, rencana penataan Kali Malang, zona satu di Marga Jaya, Kota Bekasi, yang seyogianya mulai dikerjakan Februari atau Maret 2019 dipastikan molor. Pembangunan terbentur pengerjaan proyek Strategis Nasional Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu atau Becakayu seksi IIA.
Menurut Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto, penataan Kali Malang perlu diselaraskan dengan proyek Tol Becakayu. ”Kami belum melihat finalisasi Tol Becakayu terakhir seperti apa. Makanya, akan kami dahulukan silt yang ada di Unisma,” kata Tri pada Maret 2019.
Penataan Kali Malang yang melintasi Kota Bekasi dengan panjang sekitar 5,3 kilometer direncanakan untuk dibagi dalam empat zona, yaitu zona ekologis, zona selebrasi, zona edukatif, dan zona komersial. Tentu kini warga Bekasi berharap sembari menanti perubahan wajah Kali Malang layaknya Sungai Cheonggyecheon di Korea Selatan.
Penataan itu akan menjadi penanda perubahan peradaban Kali Malang dari keruh, kotor, dan tercemar kembali menjadi lebih bersih, tertata, dan bermartabat. Semoga!