JAKARTA, KOMPAS - Komitmen Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) diharapkan untuk mempercepat pemecatan sesuai aturan terhadap aparatur sipil negara yang terlibat korupsi. Hal ini penting untuk mencegah perlawanan hukum dan bertambahnya kerugian negara akibat menggaji mereka yang tidak layak dipekerjakan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai, pemerintah sudah cukup tegas dalam menguatkan aturan terkait pemutusan hak bekerja bagi ASN yang telah mendapat keputusan berkekuatan tetap melakukan tindak pidana korupsi.
"Memang, beberapa tahun yang lalu sebelum ada keputusan tegas. Oleh karena itu, pemerintah buat peraturan baru. Itu pun digugat juga. Tetapi, alhamdulillah MK pun mengabulkan bahwa kalau nanti ada terpidana korupsi yang masih berstatus bekerja, maka akan dipecat dan gaji distop. Ke depan, ini akan lebih baik," ujar Laode saat ditemui di Kantor KPK, Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Sesuai Pasal 87 ayat 4 huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), ASN yang telah divonis bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi pada Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dapat diberhentikan dengan tidak hormat.
Aturan itu kembali dipertegas dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) yang dikeluarkan pada 28 Februari 2019. Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) juga mengeluarkan putusan yang menolak gugatan sejumlah pihak untuk membatalkan aturan tersebut.
Pemecatan ASN menjadi tugas bagi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), seperti kepala daerah hingga menteri. Anggota Divisi Kampanye Indonesia Corruption Watch (ICW) Tibiko Zabar Pradano menilai, penegasan MK terhadap gugatan terakhir harus menjadi pemantik bagi PPK untuk bersikap tegas mengikuti putusan.
"Kemarin MK mengeluarkan putusan yang menguatkan bahwa ASN koruptor harus segera dipecat. Ini harus jadi pemantik bagi PPK untuk mengikuti putusan dan aturan yang telah ada," ujarnya saat dihubungi Kompas hari ini.
Wali Kota Bogor Bima Arya, yang juga ditemui usai kunjungan dengan pimpinan KPK, di Jakarta, menyatakan akan mengikuti aturan yang ada, mana kala ditemukan ASN koruptor yang masih tercatat sebagai pegawai pemerintah.
"Tadi saya juga ditanya mengenai hal ini oleh pimpinan KPK. Semua kita kembalikan ke aturan, kalau memang ada yang harus diberhentikan, kita patuhi peraturan itu," kata Bima yang mengaku di daerahnya tidak ada ASN koruptor yang masih bekerja.
Potensi kerugian
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada Jumat (26/4), dari total 2.357 Aparatur Sipil Negara (ASN) korupsi, baru 1.147 ASN yang diberhentikan dengan tidak hormat. Sementara, 1.210 ASN masih berstatus sebagai pegawai dan mendapatkan penghasilan. Kebanyakan dari mereka yang belum dipecat, bekerja di instansi daerah.
Berdasarkan keputusan Menpan RB, pemecatan terhadap ASN koruptor harus diselesaikan hingga 30 April 2019. Namun, hingga saat ini, masih ada ribuan ASN koruptor yang belum dipecat. Bersamaan dengan itu, negara berpotensi merugi karena banyaknya uang yang dikeluarkan untuk menggaji mereka.
ICW sebelumnya memperkirakan, negara bisa merugi miliaran rupiah jika masih mengganti ASN koruptor setiap bulan. Dengan memakai aturan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang Kenaikan Gaji ASN, senilai Rp 3,5 juta per bulan, maka saat ini negara rugi Rp 4,2 miliar per bulan.
Untuk memastikan kerugian tersebut, Tibiko mengatakan, pada Februari lalu ICW sudah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian negara karena masih menggaji ASN yang tidak lagi bekerja karena tersangkut kasus korupsi.
"Sampai saat ini, kami belum mendapat tanggapan dari BPK. Menurut kami, BPK baiknya ikut serta dalam proses ini, karena BPK juga punya andil dalam menghitung potensi kerugian negara," ujarnya.
Mekanisme sanksi
Selain menyoroti potensi kerugian negara, ICW juga berupaya mengadvokasi pemerintah agar segera mengeluarkan sanksi pada PPK yang lamban memecat ASN koruptor. Tibiko mengatakan, belum lama ini ICW juga mendesak Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk membuat mekanisme sanksi bagi PPK yang tidak tegas mengikuti aturan.
"Kalau sampai tenggat waktu pemecatan ASN koruptor masih berstatus bekerja, Menpan RB dan Mendagri perlu beri peringatan kepada PPK. Sanksi yang bisa dikenakan, menurut kami, bisa berupa penundaan anggaran dan sebagainya. Saya kira, perlu ada peraturan menteri terkait untuk hal ini," katanya.