Politik Identitas Tumbuh Subur, Menyebarkan Paham Radikal
Cendekiawan meyakini, politik identitas semakin kuat dan tumbuh subur setelah Pemilu 2019. Masyarakat pun mudah terpecah belah. Hal ini tidak lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu. Salah satunya, kepentingan menyebarkan paham radikal yang bertentangan dengan Pancasila.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Cendekiawan meyakini, politik identitas semakin kuat dan tumbuh subur setelah Pemilu 17 April 2019. Masyarakat pun mudah terpecah belah. Hal ini tidak lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu. Salah satunya, kepentingan menyebarkan paham radikal yang bertentangan dengan Pancasila.
Isu tersebut menjadi fokus diskusi Forum Koordinasi Lintas Fakultas Alumni Universitas Indonesia (FOKAL UI) di Jakarta, Rabu (24/4/2019). Diskusi ini terlaksana karena keresahan cendekiawan akan situasi terkini bangsa.
”Politik identitas tumbuh subur. Di media sosial, terpampang seperti perang saudara. Orang saling bicara kasar dan keras. Politik identitas juga berjalan di akar rumput dan sangat mengkhawatirkan. Indonesia yang beragam digerogoti kelompok yang jelas-jelas anti-Pancasila, akan tetapi bilang tidak. Persoalan ini tidak bisa dibiarkan berlarut,” tutur Pande K Trimayuni, Ketua FOKAL UI.
Keresahan ini juga tecermin dari survei sejumlah lembaga. Menurut data dari Alvara Research Center, sebanyak 17,8 persen mahasiswa dan 18,4 persen pelajar menyetujui khilafah sebagai bentuk negara yang ideal. Sementara itu, 16,8 persen mahasiswa dan 18,6 persen pelajar menyetujui Islam sebagai ideologi Indonesia.
Beropini intoleran
Hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan, 51 persen mahasiswa/siswa Muslim beropini intoleran terhadap aliran Islam minoritas, misalnya Syiah dan Ahmadiyah. Sementara 58,5 persen mahasiswa/siswa Muslim memiliki pandangan keagamaan yang radikal.
Dalam survei BNPT 2018 yang melibatkan 11.200 siswa dan mahasiswa di 32 provinsi, sebanyak 77,73 persen koresponden melakukan aktivitas keagamaan. Dari persentase itu, hanya 25,82 persen yang belajar agama secara langsung kepada guru atau tokoh utama, sedangkan 61,23 persen mencari ilmu agama melalui media sosial.
”Mereka (kelompok radikal) bekerja setiap hari. Kerja melalui pengajian, masjid, komunitas, dan lainnya,” ujarnya.
Selain itu, secara masif dan sistemik melakukan pengaderan mulai dari komunitas terkecil, yaitu keluarga. Gerakan seperti ini juga menyasar kalangan ekonomi menengah ke atas.
Pande menuturkan, untuk melawan paham tersebut, harus mulai membina komunitas, petani, nelayan, pesantren, dan lainnya. Tidak cukup hanya itu, pendidikan dan merawat anak-anak sejak usia dini penting untuk menjaga mereka dari pengaruh radikal. Perlu keterlibatan seluruh elemen dan konsisten agar dapat terlaksana.
Simposium
Diskusi ini jadi bagian dari Simposium Kebangsaan Alumni UI yang akan dilaksanakan pada 10-11 Mei di Kampus UI, Salemba, Jakarta. Sebelum simposium, sejumlah diskusi akan digelar untuk mengupas secara dalam isu-isu yang akan diangkat.
Isu tersebut ialah pengembangan sumber daya manusia, kesetaraan jender, dan pemberdayaan komunitas. Selain itu, pembumian ideologi Pancasila, identitas, dan budaya bangsa. Ekonomi kerakyatan, ketahanan pangan, dan pemeliharaan lingkungan.
Adapun isu lain tentang pendidikan, riset dan teknologi, serta kesehatan. Selain itu, juga tata kelola pemerintahan yang baik, penegakan hukum, pertahanan dan keamanan, serta kerja sama global.
Sekretaris Jenderal FOKAL UI Sigid Edi Sutomo menjelaskan, hasil simposium akan menjadi masukan untuk pemerintahan lima tahun mendatang dalam mengambil kebijakan.
”Lima tahun ke depan, pemerintah akan fokus mengembangkan sumber daya manusia. Dana pendidikan sudah 20 persen, dengan kata lain banyak sekali. Dana harus dimanfaatkan dengan baik karena ini kemajuan dan lompatan besar. Tetapi harus siapkan kualitas yang merata,” tuturnya.