Elite politik hendaknya bersikap sebagai negarawan dalam menyikapi proses setelah pemilihan umum berlangsung.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Elite politik hendaknya bersikap sebagai negarawan dalam menyikapi proses setelah pemilihan umum berlangsung. Tindakan saling klaim dan provokatif yang menjurus inkonstitusional sebaiknya tidak terulang karena memecah belah bangsa serta merusak demokrasi.
Hal ini menjadi pernyataan bersama organisasi kemasyarakatan pemuda, Cipayung Plus, di Jakarta, Selasa (23/4/2019). Cipayung Plus terdiri dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Kesatuan Mahasiswa Hindu Darma Indonesia, dan Himpunan Mahasiswa Budhis Indonesia.
Perdebatan dan gesekan di masyarakat belum tuntas seiring terlaksananya pemungutan suara pada 17 April lalu. Irisan ini justru semakin terasa ketika memasuki proses penghitungan suara.
Pemilihan Presiden 2019 diikuti pasangan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma\'ruf Amin dan pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dalam penghitungan sementara KPU yang masih terus berlangsung, pasangan Jokowi-Amin unggul dibandingkan Prabowo-Sandi.
”Setelah pemilu, elite politik justru sibuk deklarasi sebagai pemenang atau kandidat terpilih. Padahal, proses penghitungan suara masih berjalan sampai saat ini. Seharusnya dan sepantasnya saling menahan diri. Provokasi dan kegaduhan yang terjadi sekarang akibat tidak bisa menahan diri. Tidak elok seorang negarawan menggerakkan massa, memobilisasi massa, karena ketidakpuasan. Gunakan jalur konstitusional,” ujar Ketua Presidium PP Kesatuan Mahasiswa Hindu Darma Indonesia I Kadek Andre Nuaba.
Cipayung Plus sangat risau karena elite politik justru menjadi penyebab semakin kuatnya dikotomi di masyarakat. Salah satunya melalui deklarasi kemenangan yang memainkan psikologi masyarakat, khususnya pendukung. Mereka mengalami kebingungan hasil pemilu yang berimbas ketidakpercayaan pada penyelenggara pemilu, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Padahal, penghitungan suara baru akan tuntas 22 Mei mendatang dan hanya KPU yang berhak mengeluarkan pernyataan serta hasil resmi.
Menetralkan
Ketua GMNI Robaytullah Kusuma Jaya menyebutkan, Cipayung Plus terus berupaya menetralkan dikotomi oleh sebagian elite politik. Pemilu seharusnya menjadi ajang konsolidasi persatuan dan kesatuan nasional.
”Asas dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hilang karena dikotomi di masyarakat. Sekarang yang terpampang nyata adalah kepentingan pihak tertentu sehingga asas berubah jadi dari penguasa, oleh pengusa, dan untuk penguasa,” kata Ketua Umum PB HMI R Saddam Al Jihad.
Cipayung Plus tidak menampik ada kesalahan mekanisme kepemiluan. Namun, kesalahan-kesalahan itu tidak serta merta menjadi pembenaran bahwa KPU berbuat kecurangan. Justru kesalahan yang paling fatal adalah tidak memahami landasan hukum.
Menurut Ketua Umum IMM Najih Prasetyo, pemilu telah menghabiskan anggaran rakyat dengan sangat besar. Terlebih lagi mengorbankan nyawa petugas penghitungan ataupun pengawal terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil.
”Orang dengan gelar profesor ataupun doktor yang paham hukum dan sadar hukum justru seakan tidak memahami hukum yang berlaku di Indonesia. Mereka malah turut mendikotomi masyarakat. Hentikan deklarasi dan semacamnya. Nantikan proses yang sedang berlangsung oleh KPU,” ucapnya.
Sementara Ketua Umum PB PMII Agus M Herlambang menuturkan, pejuang pemilu yang jujur dan adil telah berhasil mengamankan jalannya pesta demokrasi serentak. Mata dunia terbuka dengan keberhasilan Indonesia menggelarnya. Selain itu, partisipasi pemilih juga meningkat capai 80,90 persen.
”Banyak petugas yang meninggal dalam mengawal proses demokrasi. Perjuangan mereka ternodai kelakuan elite politik yang mengklaim kemenangan satu sama lain dan mendikotomi masyarakat,” ujarnya.
Rekonsiliasi
Cipayung Plus juga berupaya melakukan pendekatan agar terjadinya rekonsiliasi. Pendekatan itu melalui alumni-alumni yang bergabung dengan kedua pasangan calon presiden.
Ketua Presidium PP PMKRI Juventus Prima Yoris Kago menambahkan, rekonsiliasi merupakan wujud sikap negarawan elite politik. Oleh karena itu, para elite harus duduk bersama dan merajut kembali persatuan.
”Sangat penting untuk menyudahi dikotomi. Elite harus berbesar hati mengikuti segala proses dan menerima apapun hasil dari pemilu. Jangan mengorbankan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia,” ujarnya.