Sampai Senin (22/4/2019), realisasi pengadaan beras oleh Perum Bulog baru mencapai 226.000 ton. Faktor regulasi, harga, dan kualitas gabah dinilai menjadi penghambat.
JAKARTA, KOMPAS — Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah atau Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, regulasi yang menjadi dasar penyerapan, dinilai mengimpit Perum Bulog. Harga pembelian pemerintah yang diatur melalui regulasi itu dinilai semakin tidak relevan dengan harga di lapangan.
Kepala Bagian Humas dan Kelembagaan Perum Bulog Teguh Firmansyah mengatakan, realisasi penyerapan gabah untuk cadangan beras pemerintah (CBP) sejak awal Januari 2019 hingga Senin (22/4/2019) pagi mencapai 226.000 ton. Jumlah ini setara dengan 13,9 persen target pengadaan pada Januari-April 2019.
Sebelumnya, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyebutkan, target penyerapan beras oleh Bulog sepanjang 2019 mencapai 1,82 juta ton. Sebagian besar di antaranya diharapkan berasal dari panen musim tanam rendeng atau panen Januari-Juni 2019.
”Faktor cuaca yang berdampak pada kualitas dan harga menjadi tantangan yang dihadapi Bulog dalam penyerapan,” kata Teguh.
Pada Maret 2019, pemerintah menugaskan Bulog menyerap gabah dan beras untuk menambah CBP. Berdasarkan rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian, Bulog diminta menyerap gabah kering panen di tingkat petani sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) yang mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) No 5/2015, yaitu Rp 3.700 per kilogram (kg) dan ditambah dengan fleksibilitas sebesar 10 persen. Artinya, Bulog dapat menyerap gabah kering panen (GKP) dengan harga hingga Rp 4.070 per kg di tingkat petani.
Di sisi lain, Inpres No 5/2015 mengatur, kadar air gabah yang diserap pemerintah melalui Bulog maksimal 25 persen dan kadar hampa (kotoran) maksimal 10 persen. Menurut Teguh, gabah/beras dengan kualitas sesuai aturan tersebut sering tidak memenuhi kriteria harga. Akibatnya, penyerapan terhambat.
Badan Pusat Statistik mencatat, rata-rata harga GKP nasional pada Maret 2019 di tingkat petani mencapai Rp 4.604 per kg. Padahal, harga GKP yang bisa dibeli Bulog maksimal Rp 4.070 per kg.
Gabah berkualitas rendah pun, menurut data BPS, harga rata-ratanya secara nasional Rp 4.296 per kg. Selain tidak memenuhi kriteria mutu, harga gabah kualitas rendah pun masih lebih tinggi daripada HPP. Definisi gabah kualitas rendah yaitu gabah dengan kadar air lebih dari 25 persen dan kadar hampa di atas 10 persen.
Menurut Teguh, saat ini total stok CBP di gudang Bulog mencapai 2 juta ton. Adapun kapasitas total penyimpanan beras di gudang sekitar 3,6 juta ton.
Revisi inpres
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah telah mengingatkan Bulog untuk tidak menunda-nunda penyerapan. ”Walau stoknya banyak, (Bulog) harus tetap serap,” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa menilai, Bulog kehilangan fungsinya sebagai stabilisator harga pangan. Hal itu diindikasikan dari penyerapan gabah dalam negeri yang seret.
Selain itu, Bulog kini dinilai lebih berorientasi pada bisnis korporasi. Tidak mengherankan jika Bulog menghindari rugi akibat penyerapan. ”Salah satu cara mendongkrak penyerapan adalah dengan merevisi Inpres No 5/2015. HPP untuk GKP mestinya Rp 4.400-Rp 4.500 per kg karena ongkos produksi meningkat dan ada faktor inflasi,” ujarnya.
Selain itu, fungsi Bulog sebagai operator stabilisasi harga pangan mesti ditegakkan lagi. ”Seharusnya, Bulog berada di bawah badan otoritas pangan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Dengan demikian, kerugian karena stabilisasi ditanggung pemerintah,” kata Dwi.