Pengacara Sofyan Basir Pertanyakan Penetapan Kliennya sebagai Tersangka
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Soesilo Aribowo, Pengacara Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir, mempertanyakan landasan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan kliennya sebagai tersangka. Sejak mendampingi Sofyan sebagai saksi dalam kasus suap proyek PLTU Riau-1 empat bulan terakhir, ia mengaku tidak menemukan fakta di persidangan terkait penerimaan uang oleh kliennya.
Saat dihubungi Kompas, Selasa (23/4/2019) malam, Soesilo pun mengaku belum bisa berkomentar banyak terkait penetapan status tersangka terhadap Sofyan. Selain karena belum sempat bertemu dengan Sofyan hari ini, ia mengaku belum tahu adanya bukti baru yang ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meningkatkan status penyelidikan ke penyidikan.
"Yang saya tahu, di dalam persidangan, tidak ada hal yang luar biasa. Memang ada pertemuan-pertemuan dengan pihak lain, tetapi itu biasa untuk bisnis, dan tidak harus dalam bentuk formal. Itu yang terungkap di dalam persidangan. Tetapi soal pemberian fee dan sebagainya, saya kok tidak melihat itu dalam persidangan," kata Soesilo.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Selasa (23/4) sore di Jakarta, mengumumkan penetapan Sofyan Basir sebagai tersangka dalam perkara baru kasus suap terkait kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 berkapasitas 2 x 300 mega watt di Provinsi Riau. Nilai proyek pembangunannya ialah 900 juta dollar AS atau setara Rp 12,8 triliun.
Terkait kasus tersebut, KPK telah memproses empat orang, yakni mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih; pemegang saham perusahaan Blackgold Natural Resources Limited (BNR Ltd), Johannes Budisutrisno Kotjo; Pelaksa Tugas Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham; pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal, Samin Tan.
"Dalam perkembangan proses penyidikan dan setelah mencermati fakta-fakta yang muncul di persidangan hingga pertimbangan hakim, KPK menemukan bukti permulaan yang cukup tentang dugaan keterlibatan pihak lain dalam dugaan tindak pidana korupsi suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1," kata Saut.
Sofyan diduga bersama-sama atau membantu Eni M Saragih dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Kotjo terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. "Tersangka kami duga menerima janji dengan jumlah yang sama besar dengan Eni dan Idrus," imbuh Juru Bicara KPK Febri Diansyah yang turut hadir dalam konferensi pers.
Dalam fakta persidangan terhadap terdakwa Kotjo, yang kini telah dibui, Kotjo mengaku berencana membagikan fee 2,5 persen dari nilai proyek 900 ribu dolar AS, kepada sejumlah pengusaha, termasuk mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto. Dalam perjalanannya, Kotjo terbukti memberikan hadiah kepada Eni M Saragih bersama Idrus Marham sejumlah Rp 2,25 miliar.
Dalam surat tuntutan untuk Eni M Saragih disebutkan, pertemuan antara Sofyan dengan pihak lain yang tersangkut kasus pembangunan proyek PLTU Riau-1 dilakukan sejak 2016. Pada pertemuan pertama, Sofyan yang didampingi oleh Supangkat Iwan Santoso selaku Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN, bertemu dengan Setya Novanto selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di rumahnya.
Dalam pertemuan itu, Setya Novanto meminta proyek PLTGU Jawa III kepada Sofyan selaku Dirut PT PLN, namun Sofyan menjawab jika PLTGU Jawa III sudah ada kandidat dan agar mencari proyek pembangkit listrik lainnya. Selanjutnya, Eni berkoordinasi dengan Supangkat Iwan Santoso terkait proyek PLTU RIAU-1.
Pada awal tahun 2017, untuk pertama kalinya, Eni memperkenalkan Kotjo kepada Sofyan di Kantor Pusat PT PLN, sebagai pengusaha tambang yang tertarik menjadi investor dalam proyek PLTU RIAU-1.
Dalam pertemuan-pertemuan tersebut, KPK menyimpulkan bahwa ada sejumlah hal terkait proyek PLTU Riau-1 yang dibahas oleh pihak PLN yang dikepalai Sofyan dan pihak Kotjo, seperti penunjukan perusahaan milik Kotjo untuk mengerjakan proyek PLTU Riau-1. Lalu, adanya perintah dari Sofyan untuk menyuruh salah satu Direktur PT PLN untuk berhubungan dengan Eni dan Kotjo.
Sofyan juga disebut menyuruh salah satu direktur PT PLN untuk memonitor karena ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek PLTU Riau-1.
Sejak Eni dan Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pada Pada 15 Juli 2018, penyidik KPK menggeledah rumah Sofyan Basir. Menyusul kemudian, penggeledahan di Kantor Pusat PT PLN untuk menyita sejumlah barang bukti yang berkaitan dengan proyek pembangunan PLTU Riau-1.