Penegakan Undang-Undang Pertambangan Diminta Konsisten
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta konsisten menegakkan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Rencana revisi keenam peraturan pemerintah, yang menjadi turunan undan-undang tersebut, dianggap sebagian isinya bertentangan. Persoalan tata kelola tambang masih menyisakan jalan terjal berliku.
Manajer Advokasi dan Pengembangan Program pada Publish What You Pay Indonesia Aryanto Nugroho mengatakan, ketidakkonsistenan pelaksanaan amanat UU No 4/2009 tecermin dalam draf revisi keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Beberapa hal yang mendapat sorotan adalah perpanjangan operasi tanpa mekanisme lelang serta luasan wilayah operasi produksi.
”Dalam draf revisi, luas wilayah operasi produksi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) batubara bisa lebih dari 15.000 hektar. Ini berpotensi bertentangan dengan undang-undang yang menyebutkan bahwa luas maksimal operasi pertambangan batubara adalah 15.000 hektar saja,” ujar Aryanto, Jumat (12/4/2019), di Jakarta.
Hal lain yang mendapat sorotan, lanjut Aryanto, adalah soal perpanjangan operasi. Dalam draf revisi, pemegang kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) dapat diperpanjang operasinya tanpa lelang. Syaratnya, status KK dan PKP2B diubah menjadi IUPK.
”Penerbitan IUPK harus melalui mekanisme lelang yang mana BUMN mendapat prioritas pertama, kemudian BUMD. Hal itu diatur dengan jelas dalam undang-undang,” ujar Aryanto.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar enggan berkomentar jauh terkait isi draf revisi keenam PP No 23/2010 tersebut. Menurut dia, revisi masih sebatas draf. ”Barangnya (hasil revisi resmi), kan, belum ada,” ucapnya.
Tata kelola tambang di Indonesia mendapat sorotan berdasarkan hasil penelitian Transparency International Indonesia. Dari hasil penelitian, ada 35 risiko korupsi yang teridentifikasi mulai dari proses pemberian izin tambang di Indonesia.
Namun, ada lima risiko utama yang mendesak diperhatikan, yaitu transparansi, kelengkapan data wilayah pertambangan, lemahnya pengawasan lapangan, ketidakpastian aturan, dan lemahnya penegakan hukum.
”Transparansi kepada publik adalah salah satu syarat tata kelola pertambangan yang baik. Publik berhak tahu dan berhak untuk mengawasi,” kata Ermy.
Data dari Kementerian ESDM 2018 menyebutkan, dari 5.670 IUP di Indonesia, masih ada 539 IUP yang belum berstatus bersih tanpa masalah (clear and clean/CNC). Begitu pula masalah produksi batubara yang melampaui rencana pembatasan produksi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019. Selain itu, ratusan lubang bekas tambang batubara yang terbengkalai menelan belasan korban jiwa akibat jatuh tenggelam.
Sementara itu, menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi per Maret 2019, dari seluruh pemegang IUP yang beroperasi, sebanyak 53 persen belum menyerahkan dana jaminan reklamasi. Kewajiban itu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.