Lebih dari tiga dekade, banjir luapan Sungai Citarum terus “menampar” sebagian warga Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Mereka lelah. Namun, derita banjir sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Oleh
Machradin Wahyudi Ritonga/Tatang Mulyana Sinaga
·5 menit baca
Lebih dari tiga dekade, banjir luapan Sungai Citarum terus ”menampar” sebagian warga Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Mereka lelah. Namun, derita banjir sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Jarum jam sudah menunjukan pukul 05.45 di Jalan Anggadireja, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Rabu (10/4/2019). Namun, tak banyak aktivitas warga terlihat di sana. Sepi. Banjir setinggi 1-2 meter yang belum surut sejak sepekan terakhir memicunya.
Akan tetapi, bagi Aep Sodikin (72), keadaan itu belum cukup ampuh menghentikan semangat paginya. Setelah menggulung baju dan mengangkat tas berisi pakaian ganti, ia masuk ke genangan air setinggi 1,5 meter. Byur, lebih setengah tubuh rentanya dimakan air.
Aep lantas berjalan menyeret kakinya menerobos banjir. Dia harus meraba-raba di dalam air agar tidak terperosok ke lubang. Aep butuh 10 menit untuk melewati genangan banjir sepanjang 150 meter itu.
Di ujung tempat yang kering, ia cepat mengganti baju basah kuyupnya. Bergegas mencari angkutan umum, ia pergi menuju Terminal Kebon Kalapa, Kota Bandung. Di sana, dia bekerja serabutan. Terkadang mengemudi becak atau membantu mengangkut barang penumpang. Penghasilannya sehari tak menentu, kadang lebih dari Rp 50.000, tapi kerap tanpa penghasilan.
”Supaya tidak basah, sebenarnya bisa naik perahu. Tapi, saya harus keluar Rp 10.000 per hari. Sayang uangnya,” katanya.
Warga Kampung Jambatan, Baleendah, juga minim pilihan. Dewi (27), misalnya, bergantung pada ember untuk membawa anaknya yang berumur 5 bulan keluar dari rumah. Dewi tinggal di kawasan padat penduduk yang berjarak hanya 20 meter dari Citarum.
Ember itu mengambang di depan wajahnya. Tangan kiri memegangnya. Sementara tangan kanan menggenggam tali tambang yang sengaja dipasang jadi pemandu jalan. Hanya insting yang membuatnya yakin semuanya bakal baik-baik saja.
Sulastri (45), warga Jambatan lainnya, kini tak pernah lepas dari pelampung hampir di semua kegiatannya. Hari itu, pelampung digunakan untuk memudahkannya berenang menerobos banjir untuk beli air minum. Namun, dia tetap saja terlihat kerepotan membawa dua galon kosong seorang diri.
”Saya tidak mengungsi. Berdasarkan pengalaman banjir sebelumnya, saya bisa bertahan di lantai dua rumah. Jadi, kebutuhan sehari-hari harus disiapkan mandiri,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bandung, Rabu, 10 April, lebih dari 37.000 jiwa terdampak banjir. Sekitar 2.000 warga mengungsi ke sejumlah lokasi. Namun, seperti Sulastri, banyak juga warga yang ngotot bertahan di rumah. Alasannya beragam, mulai dari tak nyaman tinggal di pengungsian hingga khawatir rumahnya kemalingan.
Mereka lantas mencoba beradaptasi. Membangun rumah bertingkat, tinggal di para-para, hingga membeli perahu dan pelampung mereka lakukan. Namun, terlalu kerap dihajar banjir, jenuh dan kecewa lama-lama muncul juga.
Minimalkan banjir
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil jadi sasaran kekecewaan itu saat datang ke Dayeuhkolot, Sabtu (6/4/2019). Di hadapan warga yang putus asa, dia mengatakan, pemerintah tengah meminimalkan banjir. Solusi jangka pendek seperti penyediaan logistik dan tempat pengungsian sudah dilakukan.
Selain itu, pembangunan infrastruktur penahan banjir juga menunggu rampung. Salah satunya, kolam retensi seluas 8,7 hektar di Cienteung. Lokasinya di pinggir Sungai Citarum, Baleendah. Kolam itu diklaim berfungsi mengurangi luasan banjir. Namun, ia mengakui, hanya satu kolam retensi tidak cukup menampung banjir. Tahun ini, bakal dibangun satu kolam retensi lainnya.
”Terowongan air di Curug Jompong sedang dibangun. Mudah-mudahan akhir tahun ini bisa selesai,” ujarnya.
Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air Balai Besar Wilayah Sungai Citarum Suwarno mengatakan, pemerintah tengah membangun dua terowongan air di Curug Jompong. Kedua terowongan itu masing-masing berdiameter sekitar 8 meter dengan panjang 230 meter.
”Proses pembangunannya sudah 30 persen. Targetnya selesai akhir 2019. Dengan terowongan ini, diharapkan mengurangi banjir karena dapat dialirkan dengan cepat,” ujarnya.
Saat harus menunggu semua janji terealisasi, beruntung cinta di Citarum tidak pernah ikut tenggelam. Sejumlah penyintas tetap setia meringankan beban sesama. Salah satunya Elih (47), warga Bojongsoang. Dia bertanggung jawab memasak nasi dan membersihkan telur di dapur umum darurat Kantor Desa Bojongsoang. Dapur dibangun swadaya sesama warga terdampak banjir.
Sehari, dapur itu bisa memasak 700-1.000 bungkus nasi. Dia bekerja bergantian bersama belasan ibu-ibu lain. Masakan dibuat untuk konsumsi pagi, siang, dan malam. Tidak hanya untuk pengungsi, tapi juga penyintas yang tinggal di rumah.
Setelah masakan rampung dibuat, giliran Sandi (36), warga Dayeuhkolot, beraksi. Di atas perahu berkelir kuning, puluhan bungkus makanan diantar kepada warga yang tinggal di rumah. Pengalaman Sandi mengemudikan perahu sangat dibutuhkan. Ia piawai mengendalikan perahu kayunya keluar masuk gang sempit. Semua ia lakukan dengan sukarela tanpa harapkan imbalan.
Selain disebarkan melalui transportasi air, makanan siap santap juga disalurkan lewat jalan darat. Iyep (44), warga Bojongsoang, melakukannya dengan bahagia.
”Aslinya saya penanggung jawab logistik. Tugasnya memastikan makanan sampai ke tujuan. Tapi, karena orangnya terbatas, banyak hal lain harus ikut dilakukan,” ucapnya.
Tangan Iyep tak hanya lihai membungkus makanan, tetapi juga membetot gas sepeda motor butut untuk mengantarkan makanan ke kantong-kantong pengungsian. Sehari, ia bisa mengirimkan 700 bungkus ke enam lokasi pengungsian. Prioritasnya adalah warga lansia dan anak-anak.
”Memang terasa lelah, tapi kalau semua dikerjakan dengan hati, saya tetap bahagia. Mereka membutuhkan bantuan. Kalau bukan kami, siapa lagi,” ujarnya sembari berlalu membetot gas sepeda motor, mengantarkan makanan untuk para penyintas.
Episode dera banjir Citarum di Kabupaten Bandung mungkin belum akan berakhir dalam waktu dekat. Namun, di sana juga cinta itu tidak akan mati jika sekadar direndam air.