JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat sipil melalui sejumlah organisasi nonpemerintah menyuarakan pentingnya aturan hukum terkait perlindungan terhadap aktivis. Menurut sejumlah laporan, tingkat kriminalisasi aktivis yang memperjuangkan kebenaran atau hak-hak tertentu masih cukup tinggi di Indonesia.
Harapan ini terungkap dalam diskusi berjudul "Urgensi Penyelesaian Kasus Kriminalisasi dan Penyerangan Terhadap Pegiat Antikorupsi" di Sekretariat Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, Rabu (10/4/2019). Berbicara dalam diskusi itu, peneliti ICW, Wana Alamsyah; Deputi Koordinator Advokasi KontraS Putri Kanesia; dan aktivis LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora.
Putri mengatakan, selama ini Indonesia belum memiliki peraturan yang konkret terkait pembelaan aktivis, utamanya pembela hak asasi manusia (HAM). Adapun masukan untuk memperbaiki Undang-Undang HAM terkait perlindungan aktivis belum bisa dipastikan, meskipun revisi sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Sampai saat ini, belum ada progres dalam revisi UU atau peluang untuk menambahkan usulan terkait proteksi atau perlindungan terhadap pembela HAM. Saya tekankan, selama Indonesia tidak memiliki peraturan yang konkret terkait pembelaan HAM, sehingga saya pikir kasus kriminalisasi terhadap aktivis akan sulit mendapat perlindungan," ujar Puteri.
Aktivis yang rentan terhadap ancaman bukan hanya mereka yang getol menyuarakan HAM. Menurut Puteri, aktivis lingkungan juga kerap terancam. Hal itu juga terkonfirmasi dari data lembaga swadaya masyarakat asal Irlandia, Front Line Defender, yang mengatakan bahwa aktivis lingkungan menjadi aktivis paling terancam di dunia.
Antikorupsi
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mendata kasus kriminalisasi terhadap pegiat antikorupsi sejak 1996 hingga 2019, juga menunjukkan tingkat kerentanan kriminalisasi yang tinggi pada aktivis.
Data mereka menunjukkan, 115 korban dalam 91 kasus memiliki latar belakang yang berbeda. Ada dari mereka yang berlatar belakang sebagai komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), aparatur sipil negara, dosen/guru, karyawan BUMN, organisasi, pengacara, serikat pekerja, wakil menteri, sampai pengguna media sosial.
"Dari data itu, pihak yang paling banyak menjadi korban adalah aktivis, dengan jumlah 49 orang. Mereka dikriminalisasi dengan diancam, diteror dibunuh, sampai dikeroyok,” kata Wana.
Setelah aktivis, masyarakat yang berperan sebagai whistleblower atau pelapor menjadi korban terbanyak kedua, yaitu sejumlah 16 orang. Menempati urutan ketiga adalah ASN dengan jumlah 10 orang.
“Fakta ini merupakan fenomena ironis. Masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat justru menjadi korban perlawanan balik oleh pelaku korupsi,” ucapnya.
Salah satu bukti ironisnya perlindungan terhadap pegiat antikorupsi, menurut pembicara lain, Nelson, adalah kasus penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Novel, yang diserang dengan air keras dua tahun lalu oleh orang tidak dikenal, itu, sampai saat ini belum menemukan titik terang. Menurut Wana, kunci penyelesaian kasus itu ada pada komitmen pemerintah.