Mereka yang Baru Pertama ke Bilik Suara
Pemilu serentak 2019 menjadi ruang berdemokrasi bagi generasi muda Indonesia. Sebagian dari mereka baru pertama kali hadir ke bilik suara. Bagaimana cara mereka menyeleksi kandidat yang berlaga di pesta politik lima tahunan itu?
Bagi Leticya Sinta (18), pemilu serentak yang digelar 17 April 2019 merupakan pengalaman pertamanya masuk bilik suara. Leticya akan datang ke tempat pemungutan suara dengan pilihan kandidat calon presiden dan calon wakil presiden yang sudah final.
Mahasiswi semester dua Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Tangerang Selatan, Banten, ini mengutarakan kisi-kisi capres dan cawapres idolanya saat mengerjakan tugas kuliah di kantin UMN, Kamis (4/4/2019).
”Aku memilih kandidat yang omong pakai data, tidak asal ceplas-ceplos,” katanya memberikan gambaran.
Kandidat idolanya itu termasuk yang sering berkampanye di wilayah pinggiran Indonesia. Papua, misalnya. Ini sejalan dengan imajinasi Leticya yang menaruh perhatian pada daerah terluar.
Bagaimana tidak, selama 18 tahun, ia selalu hidup di kota besar. Leticya tumbuh besar di Jakarta. Lalu, kedua orangtuanya pindah ke Medan, Sumatera Utara, selama tiga tahun. Sekarang, dia dan keluarga bermastautin di salah satu kompleks perumahan Serpong. Sawah, ladang, dan segala yang berbau pedesaan tidak pernah ia temui.
”Makanya, aku suka kandidat yang mau bangun desa. Aku sering lihat postingan mereka di Instagram,” katanya.
Untuk capres dan cawapres, pilihan Leticya sudah tidak bisa berubah. Beda cerita dalam memilih calon anggota legislatif. Selain memilih presiden dan wakil presiden, Pemilu 2019 juga memilih caleg tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pengetahuan Leticya sama sekali gelap soal caleg ini. Wajah-wajah caleg yang bertebaran di pinggir jalan tidak menarik perhatiannya. ”Untuk caleg, aku nanya sama mama saja,” katanya.
Cindy Saraz Xenna (20) tipikal pemilih yang main aman. Dalam memilih capres dan cawapres, mahasiswi UMN semester empat ini menjatuhkan pilihan kepada kandidat yang sudah berpengalaman. Dengan demikian, ia bisa menilai kinerja kandidat itu. Apa yang sudah dan belum kandidat itu lakukan, mengukur kinerja dalam berbagai bidang.
”Aku lebih menekankan pada pengalaman. Yang belum berpengalaman kita enggak tahu kinerjanya kayak apa. Jadi, lebih aman pilih yang berpengalaman,” katanya.
Cindy berada dalam posisi rumit memandang pemilu mendatang. Di satu sisi ia merasa politik itu jahat. Apa yang dibicarakan politisi sering tidak sesuai dengan kenyataan. Lain di mulut, lain di hati.
Kendati demikian, ia merasa harus menggunakan hak pilihnya. Kalau tidak memilih, ia khawatir hak suaranya disalahgunakan. ”Meski enggak suka, pemilu, kan berkaitan dengan siapa yang akan memimpin Indonesia ke depan. Jadi harus teliti betul,” ujarnya.
Di media sosial, Cindy menyaksikan perdebatan tim kampanye kedua kandidat. Tim kampanye yang satu membeberkan kekurangan kandidat pesaingnya. Menurut Cindy, ini masih diskusi yang wajar.
”Mereka, kan, sedang memengaruhi rakyat. Biar saja rakyat memilih mana di antara mereka yang paling benar. Asal tidak menyinggung SARA, aku pikir masih wajar, ” katanya.
Melalui surat suara yang dicoblos pada 17 April mendatang, Cindy berharap wajah perpolitikan Indonesia lebih baik. Menurut dia, politik harus membangun negara dan menyejahterakan rakyat.
”Sekarang (anak muda) malas ikut campur karena merasa politik itu basi. Pasti isinya gitu-gitu saja. Harusnya politisi itu mengajak masyarakat untuk sama-sama membangun Indonesia,” ujarnya.
Cara Cindy memilih kandidat Pemilu 2019 termasuk serius jika dibandingkan dengan Feren Agatha (21). Mahasiswi UMN asal Bekasi, Jawa Barat, ini memilih kandidat atas dasar suka dan tidak suka.
Metode ini ternyata tidak gampang. Feren menyukai kedua kandidat. Pada kandidat yang satu ia menyukai capres, tetapi tidak menyukai cawapres. Sebaliknya, pada kandidat yang satunya lagi, Feren menyukai cawapres, tetapi tidak dengan capresnya. Akhirnya pilihan dijatuhkan pada kandidat yang capresnya ia sukai.
”Selain like and dislike, aku juga mempertimbangkan penampilan mereka pada acara debat,” kata Feren.
Dalam cara berkomunikasi, lanjut Feren, kandidat capres dan cawapres yang ia pilih tidak begitu bagus ketimbang pesaingnya. Kendati demikian, apa materi pembicaraan kandidat pilihannya itu dianggap lebih bernilai. Intinya lebih konkret, tidak mengawang-awang.
”Kalau caleg, jangan tanya deh. Pusing aku karena jumlah mereka banyak banget. Nanti aku pilih wajahnya yang paling familiar saja kali, ya. Eh, tapi adil enggak sih kayak gitu?” katanya sambil mengunyah gado-gado.
Wajib
Mahasiswa Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang, Banten, Bryan Arwam (21), berpendapat, generasi milenial harus datang ke tempat pemungutan suara. Menggunakan hak suara dalam pemilu tidak hanya dinilai sebagai hak warga negara. Mahasiswa asal Papua ini menilai, generasi muda berkewajiban memilih pemimpin terbaik.
Hal itu diamini Clara Novia Krusita (19), mahasiswi di universitas yang sama dengan Bryan. ”Satu suara kita penting untuk mewujudkan Indonesia yang lebih maju,” kata perempuan asal Lampung ini.
Pendiri Yayasan Sains, Estetika, Teknologi (SET) Garin Nugroho dalam rubrik Opini Kompas (7/1/2019) menulis bahwa Pemilu 2019 adalah pemilu generasi milenial. Garin hendak membandingkan Pemilu 1955 yang dinilai pemilu paling demokratis dengan Pemilu 2019 yang ditandai kemunculan pemilih milenial. Tercatat dari 193 juta pemilih, pemilih milenial mencapai 70 juta-80 juta jiwa.
Garin menilai, generasi milenial terbuka dalam berpikir, kreatif, percaya diri, berani berbagi dan berdebat di media sosial, hingga mencari pemikiran baru di luar pola umum dan lama.
”Ketika sejarah mencatat tahun 1955 sebagai kemenangan demokrasi generasi buta huruf, maka Pemilu 2019 menjadi kemenangan demokrasi generasi milenial”, tulis Garin.