JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai, pada debat calon presiden yang berlangsung pada Sabtu (30/3/2019) kedua kandidat hanya berkutat pada strategi penguatan pertahanan ketimbang keamanan negara. Padahal, isu keamanan dalam negeri merupakan isu strategis yang juga berkaitan dengan relasi militer dan sipil.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kembali merilis catatan kritis mereka tentang debat yang mempertemukan antara calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto di Jakarta pada Senin (1/4/2019) siang. Adapun debat dua hari lalu itu mengangkat tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menilai, kedua kandidat tidak banyak mengungkap gagasan tentang isu keamanan dalam negeri. Padahal, isu keamanan tersebut amat dekat dengan masyarakat yang akan menjadi pemegang hak pilih pemilu.
”Tidak hanya menyangkut kepolisian, keamanan juga menyangkut TNI yang punya tugas menjalankan operasi militer selain perang,” kata Taufan.
Pasal 7 Ayat 2b Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjelaskan, tugas TNI dalam operasi militer selain perang antara lain berkaitan dengan pengamanan wilayah perbatasan dan membantu tugas Polri dalam keamanan dan ketertiban masyarakat.
Menurut Taufan, seharusnya ada penekanan dari kedua capres agar prinsip-prinsip HAM bisa dikedepankan dalam mewujudkan keamanan tersebut. Misalnya, berkaitan dengan standar operasional dan kualifikasi dari TNI yang bertugas di ruang sipil.
”Kami pernah mendorong agar TNI yang akan menjalankan tugas operasi militer selain perang untuk diverifikasi kemampuannya,” ungkapnya.
Komisioner Komnas HAM Amiruddin menambahkan, isu keamanan juga berkaitan dengan hubungan antar-kelompok masyarakat. Praktis, perhatian kedua capres dalam penegakan keamanan yang memperhatikan HAM selama lima tahun ke depan tidak terjawab.
”Dalam undang-undang sebenarnya sudah dijelaskan bahwa yang bertugas melindungi keamanan tersebut adalah pemerintah,” katanya.
Menurut Amiruddin, penegakan keamanan yang tersebut juga berkaitan dengan kinerja kepolisian dalam penegakan hukum. Sebab, selama ini masih banyak laporan yang masuk ke Komnas HAM berkaitan dengan terlambatnya proses aduan masyarakat oleh kepolisian, proses penegakan hukumnya tidak memuaskan, serta adanya tindak kekerasan.
Hubungan internasional
Dalam tema hubungan internasional, Komnas HAM juga mencatat ada dua hal yang seharusnya bisa dieksplorasi lebih mendalam oleh kedua kandidat. Pertama adalah soal strategi dalam membantu penyelesaian konflik Rohingya Myanmar dan Palestina. Indonesia mestinya bisa berperan besar.
”Peran dalam penyelesaian HAM internasional sangat ditunggu, terlebih Indonesia tengah mengajukan kembali menjadi anggota dewan HAM PBB periode 2020-2022,” ungkap Taufan.
Persoalan lainnya adalah tentang perlindungan terhadap TKI melalui diplomasi luar negeri. Hal itu utamanya yang tengah terlibat dengan proses hukum. Menurut Ketua Tim Pemantau Pemilu Komnas HAM Hairansyah, gagasan tentang hal tersebut seharusnya bisa disampaikan kedua capres.
”Soal perlindungan WNI, terutama TKI yang bermasalah secara hukum di luar negeri, luput dibahas,” ujarnya.