JAKARTA, KOMPAS — Tingginya tingkat golongan putih atau golput pada Pemilihan Presiden 2019 dinilai berpeluang mengubah peta persaingan antara kedua belah kubu. Hingga kini, angka golput cenderung sulit diprediksi di tengah trennya yang terus meningkat sejak Pemilu 2004.
Berdasarkan survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, unggul daripada pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, di sejumlah kantong suara.
”Jika golput lebih banyak di (kantong suara) Jokowi-Amin, peta pertarungan akan semakin ketat,” ujar Peneliti LSI Denny JA, Ikrama Masloman, di Jakarta, Selasa (19/3/2019).
Elektabilitas Jokowi-Amin saat ini sebesar 58,7 persen atau unggul 27,8 persen dibandingkan Prabowo-Sandi (30,9 persen). Namun, Ikrama menilai kubu Jokowi-Amin tetap harus waspada. Pasalnya, margin keunggulan mereka masih lebih kecil ketimbang angka golput pada 2014, yaitu sebesar 30,42 persen.
Jokowi-Amin cenderung dirugikan dengan tingginya angka golput di kantong suara minoritas, wong cilik, milenial, dan emak-emak. Adapun Prabowo-Sandi akan dirugikan jika banyak kalangan terpelajar yang memilih golput.
Berdasarkan hasil survei, setiap pemilih dari kantong suara memiliki alasan golput yang berbeda-beda. Dari kalangan minoritas, salah satu alasan golput dipengaruhi oleh rasa tidak aman sehingga pemilih memutuskan tidak berada di tempat domisili.
”Margin kemenangan Jokowi-Amin sebesar 68,7 persen di pemilih minoritas,” kata Ikrama.
Kalangan wong cilik yang menjadi salah satu basis dukungan Jokowi-Amin memiliki margin keunggulan sebesar 36,3 persen. Beberapa alasan golput pada kalangan ini adalah keengganan pemilih meninggalkan upah harian pada hari pencoblosan dan kurangnya informasi mengenai pilpres.
”Akses informasi mereka jauh lebih kecil dibandingkan pemilih terpelajar, misalnya. Selain itu, masalah administrasi juga turut berpengaruh,” ujar Ikrama.
Ikrama menambahkan, pada kalangan milenial dan emak-emak, faktor yang cukup berpengaruh pada angka golput adalah apatisme politik. Kalangan milenial dinilai memiliki karakter kritis dan progresif sehingga mudah kecewa dengan fenomena politik.
”Mereka cenderung mengambil jarak dengan politik sehingga cenderung apatis, terlebih banyak gerakan yang mengajak golput,” ujarnya.
Ikrama mengatakan, di kalangan terpelajar, Prabowo-Sandi memiliki margin keunggulan sebesar 9,3 persen. Selain karena apatisme politik, alasan yang memengaruhi golput di kalangan mereka adalah adanya protes politik atau ketidakpuasan terhadap tuntutan politik.
”Mereka tidak memilih karena faktor ideologis. Mereka merasa kalau pilpres tidak berefek langsung kepada mereka,” katanya.
Sulit diprediksi
Sementara itu, tingkat golput hingga kini sulit diprediksi. LSI Denny JA hanya mampu melihat potensi golput tersebut melalui tingkat pengetahuan publik terhadap tanggal pelaksanaan pilpres. Hasilnya, sebanyak 75,8 persen mampu menjawab dengan benar, sedangkan 24,2 persen menjawab salah.
”Pertanyaan tentang kapan pelaksanaan pilpres dan apa saja yang menghalangi kedatangan menjadi rujukan kami dalam menentukan tingkat partisipasi pemilih,” kata Peneliti LSI Denny JA, Muhammad Khotib.
Secara instrumen survei, Khotib menilai presentasi golput di kalangan pemilih belum bisa ditentukan. Sebab, penentuannya tidak sekadar menanyakan pemilih akan memilih atau tidak. ”Bukan berarti kelompok yang belum memilih sebagai golput bisa jadi ada dinamika politik yang mendorong partisipasi mereka ke depan,” katanya. (FAJAR RAMADHAN)