Migrasi Ideologis Pemilih Jawa Tengah (3): Penentu Kemenangan
Jawa Tengah merupakan satu-satunya basis PDIP di Indonesia yang belum terkalahkan dalam kontestasi politik, baik pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, maupun pemilihan presiden.
Kekuatan PDIP di Jawa Tengah menjadi barometer yang selalu diperhitungkan oleh kekuatan lawan politik baik partai politik, calon kepala daerah, bahkan calon presiden yang hendak bertarung di Jateng.
Julukan sebagai kandang banteng memang layak disematkan, lantaran cagub dan capres yang diusung oleh partai ini selalu menang dalam pemilihan. Bahkan, dalam pemilihan bupati dan wali kota, sebagian besar daerah masih dimenangkan oleh calon yang diusung PDIP.
Pilgub 2008, 2013, dan 2018 menjadi bukti bahwa kekuatan PDIP di Jateng tetap kokoh meski digempur oleh lawan-lawan politik melalui koalisi partai pendukung cagub. Pemilih PDIP tetap kompak dan loyal mendukung cagub pilihan partai banteng meski secara rasional kalah populer dengan calon dari lawan politik.
Karakter pemilih yang militan membela kepentingan partai dan loyal kepada garis perjuangan partai mampu mengalahkan popularitas figur cagub.
Tengoklah Bibit Waluyo ketika diajukan sebagai Cagub Jateng pada Pilkada 2008 merupakan sosok yang benar-benar baru bagi masyarakat Jateng.
Dalam sejumlah survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas dan lembaga survei lain, popularitas Bibit selalu berada di bawah angka 5 persen. Angka ini membuat tingkat keterpilihan Bibit juga kecil, sehingga sulit diprediksi untuk menang.
Namun, ketika Bibit Waluyo disandingkan dengan Rustriningsih, sebagai cawagub, popularitas dan elektabilitas Bibit langsung menanjak meninggalkan lawan-lawan politiknya. Kehadiran sosok Rustri sebagai tokoh PDIP Jateng sekaligus Bupati Kebumen dianggap sebagai faktor yang paling menentukan peningkatan dukungan untuk pasangan yang diusung oleh PDIP ini.
Sosok Rustriningsih ternyata mampu memberikan efek yang luar biasa bagi PDIP yang sempat diremehkan, lantaran sosok cagubnya tidak laku dijual kepada pemilih Jateng.
Di sinilah militansi dan loyalitas pemilih PDIP teruji ketika Bibit Waluyo, cagub yang menjadi sosok utama pemimpin Jateng harus dimenangkan meskipun bukan sosok yang populer di Jateng. Kemenangan ini membuktikan, popularitas bisa menjadi faktor yang dikalahkan demi memenangkan kepentingan PDIP di Jateng. Militansi dan loyalitas para kader dan pemilih menjadi kekuatan yang sulit digeser dari karakter para pendukung PDIP di Jateng.
Karakter inilah yang membuat PDIP tampil penuh percaya diri ketika mencalonkan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmiko sebagai pasangan cagub dan cawagub Jateng pada Pilgub 2013. Kedua sosok ini merupakan tokoh PDIP namun eksistensi mereka kurang mengakar di Jateng. Ganjar merupakan politisi PDIP yang banyak malang melintang di DPP dengan posisi terakhir sebagai anggota DPR. Sementara wakilnya, Heru Sudjatmiko adalah Ketua DPC PDIP Kabupaten Purbalingga sekaligus Bupati Purbalingga.
Nama Ganjar boleh jadi hanya dikenal segelintir orang di Jateng ketimbang secara nasional. Sementara Heru, kiprahnya sebagai tokoh PDIP masih sebatas tingkat kabupaten. Kesulitan kedua sosok ini serupa dengan yang dihadapi Bibit Waluyo pada 2008, yaitu popularitas yang rendah. Menurut hasil survei Kompas, popularitas Ganjar Pranowo 10 persen lebih sedikit, jauh di bawah cagub petahana Bibit Waluyo.
Keputusan DPP PDIP untuk mengusung kedua kadernya ini dalam Pilgub 2013 dengan modal popularitas yang minim, seolah ingin mengulangi sejarah pilgub sebelumnya. Militansi dan loyalitas para kader dan pendukung partai moncong putih ini kembali diuji untuk memenangkan pasangan Ganjar – Heru yang kurang populer di Jateng.
Lagi-lagi kekuatan PDIP tetap kokoh membendung perlawanan lawan-lawan politik Ganjar – Heru dalam meraih takhta kekuasaan tertinggi di Provinsi Jateng. Bahkan, Bibit Waluyo cagub petahana yang digadang-pgadang sebagai calon pemenang pun terjungkal oleh militansi pemilih PDIP.
Kategori-Kategori Daerah Basis
Reputasi Jateng sebagai basis PDIP sebetulnya bersandar pada beberapa daerah yang secara konsisten tetap mendukung partai moncong putih ini baik dalam pemilu, pilkada atau pilpres. Daerah-daerah ini sudah sejak lama memiliki afiliasi politik yang dekat dengan kultur mereka, yaitu nasionalisme sekuler.
PDIP mampu mengintegrasikan garis perjuangan partai ke dalam kultur dan karakter masyarakat di daerah-daerah yang kebanyakan masyarakatnya masih hidup dalam keterbatasan atau yang populer disebut dengan wong cilik.
PDIP berhasil merepresentasikan ideologinya sebagai partai yang berpihak kepada orang-orang kecil yang termarjinalkan dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi.
Di titik yang sama, PDIP juga mampu menunjukkan komitmennya untuk melindungi dan membela aspirasi wong cilik dalam bidang politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Sebaliknya, para pendukung PDIP di Jateng merasa bahwa partai ini memiliki ideologi yang lentur terhadap karakter dan kultur mereka yang spontan, egaliter dan informal.
Karena kelenturannya inilah PDIP bisa diterima secara luas di daerah Banyumasan, Solo Raya, Semarang, dan Tegal yang dikenal memiliki budaya dan karakter yang egaliter. Di daerah-daerah ini kekuatan PDIP sangat dominan dan sulit tergantikan oleh kekuatan politik yang lain. Memori tentang PDIP sudah merasuk ke dalam pola pikir masyarakat melalui keluarga lalu turun ke individu-individu. Kehadiran partai lain bisa diterima namun tidak diberi kesempatan sama sekali untuk berkembang melebihi PDIP.
Kompas edisi 20 Mei 2013, menurunkan artikel dengan judul “Tarung di Kandang Sendiri” yang memetakan daerah-daerah yang menjadi basis kekuatan PDIP untuk menghadapi Pilgub Jateng 2013. Data yang digunakan untuk mengategorikan karakter basis kekuatan tersebut adalah hasil pemilu 1999-2009 dan pilkada 2005-2013 di 35 kabupaten/kota.
Konsistensi kemenangan PDIP dalam pemilu dan pilkada menjadi dasar kriteria untuk menentukan tingkat kekuatan basis PDIP. Semakin konsisten PDIP menang dalam pemilu dan pilkada, dianggap disitulah basis kekuatan PDIP. Konsistensi kemenangan ini lalu melahirkan variasi kekuatan basis massa PDIP di Jateng.
Pertama, daerah-daerah yang secara konsisten memenangkan PDI-P saat pemilu dan pilkada. Daerah-daerah ini merupakan basis PDIP yang paling kuat di Jateng, yaitu Kabupaten Purbalingga, Sukoharjo, Kota Surakarta, dan Kota Tegal. Karakter pemilih di daerah ini adalah loyal dan militan kepada partai. Semua keputusan partai dipatuhi secara total, termasuk penentuan calon legislatif dan kepala daerah.
Surakarta misalnya. Kota yang identik dengan militansi massa ini dapat menjaga reputasi sebagai basis massa terkuat PDI-P Jateng dengan menempatkan partai ini sebagai pemenang pemilu pada 1999-2014 serta pilkada pada 2005, 2010, dan 2015. Dalam pilgub dan pilpres pun calon yang diusung oleh PDIP selalu unggul di kota ini. Fenomena serupa juga terjadi di Sukoharjo dan Purbalingga.
Kedua, daerah-daerah basis PDI-P yang kalah saat pilkada. Meskipun menjadi pemenang pemilu, dalam pilkada para pemilih PDI-P memiliki pilihan yang berbeda dengan calon yang diusung partai. Daerah ini merupakan arena pertempuran PDIP dengan sesama partai nasionalis-sekuler dalam pilkada. Artinya, meskipun pemilih PDIP berbeda pilihan kandidat, warna ideologi yang dipilih masih bercorak sama, yaitu nasionalis.
Kabupaten Grobogan, Batang, dan Sragen menjadi contoh daerah pertarungan PDIP dan Golkar ketika Pilkada 2011. Para pemilih PDIP banyak yang memilih calon yang diusung oleh Golkar ketimbang PDIP yang membuat partai ini kalah di basisnya sendiri. Fenomena yang sama juga terjadi di Blora dan Klaten pada Pilkada 2005, dan Kebumen dalam Pilkada 2010.
Ketiga, daerah-daerah yang menjadi pertarungan partai-partai nasionalis, terutama PDI-P, Golkar, dan Demokrat dalam pemilu atau pilkada. Karakteristik utama dari daerah ini adalah bergesernya basis-basis PDI-P kepada Golkar dan Demokrat pasca-Pemilu 1999. Di daerah-daerah ini, loyalitas pemilih PDI-P lebih cair sehingga soliditasnya lemah.
Sebut saja Kabupaten Temanggung yang menjadi daerah pertarungan Golkar dan Demokrat pasca-Pemilu 1999. Golkar menguasai Temanggung pada Pemilu 2004. Lima tahun kemudian, Demokrat menggantikan posisi Golkar. Namun, ketika Pilkada 2008, calon yang diusung Golkar mengungguli calon-calon partai lain. Fenomena serupa terjadi di Rembang, di mana Golkar berhasil menggeser dominasi PDIP pada Pemilu 2004. Pemilu 2009 Demokrat mejadi pemenang. Sementara Pemilu 2014 PPP yang jadi pemenang.
Peluang
Berbagai karakter basis kekuatan suara PDIP tersebut memberikan petunjuk bahwa tidak semua daerah di Jateng didominasi oleh PDIP. Pergeseran orientasi sebagian pemilih PDIP pasca Pemilu 1999 menggambarkan migrasi ideologi yang linier di mana perubahan pilihan politik masih berorientasi pada motif ideologi yang serupa dengan PDIP yaitu nasionalisme-sekuler.
Peta pertarungan politik yang terjadi menggambarkan tarik menarik pengaruh PDIP dengan sesama partai nasionalis-sekuler, terutama Golkar dan Demokrat.
Selain itu, ada pertarungan politik yang lebih dinamis di luar pertarungan sesama partai nasionalisme-sekuler. Pertarungan ini melibatkan tarik-menarik kekuatan di antara kekuatan-kekuatan politik dengan ideologi mainstream, yaitu nasionalisme-sekuler dengan Islam.
Ciri utama pertarungan ideologi ini adalah tarik-menarik kekuatan antara kekuatan nasionalis dan Islam yang terjadi dalam pemilu dan pilkada.
Loyalitas para pemilih yang sangat cair membuat konstelasi politik di daerah berubah begitu cepat. Akibatnya, struktur politik di kawasan ini begitu dinamis karena pilihan politik warga berubah-ubah. Daerah-daerah yang menjadi basis pertarungan ideologi ini banyak berada di kawasan pantai utara.
Beberapa daerah yang menjadi basis partai Islam selama ini pun tidak luput dari nuansa pertarungan ideologis ini. Penguasaan ideologi Islam yang mapan tidak mampu membuat partai-partai Islam di Jateng mengikat loyalitas pemilih. Perubahan politik yang begitu cepat mampu memengaruhi orientasi dan perilaku pemilih Islam yang berdampak pada perubahan struktur politik di kawasan ini.
Di Pekalongan, Magelang, Tegal, dan Kudus terjadi tarik-menarik kekuatan partai Islam, terutama PKB yang cukup kuat saat pemilu, dengan partai-partai nasionalis. Di Pekalongan, PKB memiliki pengaruh cukup kuat sehingga bisa unggul pada Pemilu 2004 dan 2009. Namun, ketika Pilkada 2006, calon dari Golkar unggul sementara Pilkada 2011 calon Demokrat tampil sebagai pemenang.
Jepara, yang menjadi basis PPP masih relatif kuat mempertahankan dominasi. Pada Pemilu 1999-2009, dominasi PPP di Jepara sulit dipatahkan, baik oleh sesama kekuatan Islam maupun nasionalis. Reputasi ini membuat PPP menjadi kekuatan yang sangat diperhitungkan. Dalam dua kali Pilkada Jepara, PPP menjadi salah satu penentu kemenangan.
Dinamika pemilih yang berubah-ubah di kawasan pantura Jateng ini selalu menjadi peluang bagi kekuatan politik pesaing PDIP untuk memperkecil kemenangan partai moncong putih ini. Golkar, Demokrat, PPP, dan PKB memiliki basis yang cukup kuat sehingga bisa mengimbangi kekuatan PDIP.
Dengan kata lain, para pemilih di kawasan ini relatif lebih bebas dari sikap fanatisme terhadap parpol dalam menentukan pilihan politik. Karakter inilah yang membuat pengaruh PDIP tidak bisa mendominasi pemilih di sini.
Daerah-daerah yang masuk kategori daerah perlawanan bisa jadi merupakan titik lemah yang kerap dimanfaatkan oleh lawan-lawan politik untuk mengekang dominasi PDIP. Daerah yang potensial untuk menaklukkan dominasi PDIP antara lain Rembang, Jepara, Kudus, Demak, Pekalongan, Tegal, dan Kota Pekalongan.
Di daerah-daerah yang menjadi basis NU kekuatan PDIP relatif mudah dipatahkan oleh kekuatan partai Islam tradisional yaitu PKB dan PPP. Sementara di daerah yang relatif “netral” PDIP kalah dari sesama partai nasionalis terutama Golkar dan Demokrat.
“Tes Ombak”
Jawa Tengah masih menjadi primadona bagi tim pemenangan capres Joko Widodo maupun Prabowo Subianto. Bagi pendukung capres 01, Jateng merupakan kantong suara terbesar pemilih PDIP yang menjadi pengusung utama Jokowi. Jateng masih menjadi barometer kekuatan PDIP di Jawa untuk mengukur kekuatan dukungan konstituen dan soliditas mesin partai kepada calon petahana ini.
Bagi tim Prabowo Jateng merupakan medan pertempuran sebenarnya untuk menguji kekuatan mesin partai dalam rangka menjebol loyalitas masyarakat Jateng kepada PDIP. Mengalahkan Jokowi di kandangnya sendiri sudah menjadi harga mati tim pemenangan Prabowo.
Karena itulah penempatan posko pemenangan capres 02 di seluruh kabupaten/kota di Jateng menjadi tumpuan untuk merealisasikan kemenangan Prabowo di Jateng.
Lepas dari target kemenangan dari Tim Kampanye Nasional Jokowi – Ma’ruf Amin dan Badan Pemenangan Nasional Prabowo – Sandiaga Uno, strategi yang diterapkan oleh kedua tim di Jateng kali ini bisa dikatakan semacam “tes ombak” untuk menguji militansi dan loyalitas pemilih.
Bagi TKN, tes ombak ini untuk melihat reaksi para pengurus dan pemilih PDIP –dan pendukung Jokowi- terhadap langkah-langkah agresif yang dilakukan secara masif oleh BPN Prabowo – Sandi menjelang pemilu.
Menanggapi strategi BPN yang kian masif menyerang Jateng, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, mengingatkan dengan keras kepada seluruh anak buahnya yang ada di Jateng, agar selalu mawas dalam menjaga keamanan rumah dari incaran para pencuri. Ungkapan ini merupakan alarm bagi pengurus PDIP di Jateng untuk konsolidasi demi menguatkan suara dukungan untuk Jokowi.
Alarm ini sekaligus mengisyaratkan, para kader yang menguasai wilayah yang selama ini menjadi daerah basis yang paling loyal kepada partai, agar mulai bergerak untuk mengamankan daerah mereka dari ancaman pencuri, sembari memperluas dukungan kepada Jokowi ke daerah lain.
Di luar basis PDIP, terutama di pantura bagian barat dan timur, Megawati berharap para pemimpin partai koalisi yang memiliki basis di kawasan ini segera mengonsolidasi kekuatan untuk menghadapi serangan lawan. PKB, PPP, dan Golkar merupakan partai yang dikenal sebagai pemenang pemilu di kawasan ini.
Bagi BPN, tes ombak di Jateng ini merupakan langkah untuk menguji reaksi pemilih Jateng terhadap sosok Prabowo – Sandi yang belum banyak menguasai preferensi mereka. Meningkatkan intensitas kampanye sembari menawarkan program-program populis diyakini sebagai langkah yang efektif untuk memperkenalkan sosok pasangan ini. Meniru gaya PDIP dalam memobilisasi massa juga kerap digunakan oleh BPN untuk “mencuri” suara pemilih PDIP dari kandangnya sendiri.
Segala upaya akan terus dilakukan sebagai bagian dari cara tes ombak untuk meruntuhkan militansi dan loyalitas pemilih PDIP kepada Megawati dan Jokowi. Tampaknya BPN akan mengadopsi gaya kampanye PDIP secara intens dan masif untuk menggiring preferensi pemilih PDIP kepada Prabowo – Sandi. Optimisme tersebut disokong oleh keberhasilan mesin politik Sudirman Said – Ida Fauziah dalam menggerus pemilih PDIP dalam Pilgub Jateng 2018.
Menjelang Pemilu 2019 asumsi BPN bahwa kekuatan Sudirman Said ketika Pilgub akan berimbas kepada Prabowo – Sandi akan diuji tatkala PKB keluar dari koalisi setelah pilgub berakhir. Untuk diketahui, sokongan suara terbesar kekuatan Sudirman Said saat itu berasal dari pemilih PKB terutama di Pekalongan, Tegal, dan Brebes. Selain di kawasan yang menjadi daerah asal Sudirman Said, dukungan PKB kepada mantan cagub Jateng ini juga berasal dari Kabupaten Magelang, Wonosobo, dan Kebumen.
Di Jateng, PKB merupakan partai pesaing PDIP dalam Pilkada karena pengaruhnya relatif kuat di daerah yang menjadi jantung Islam tradisional. Sejak Pilgub 2008, PKB selalu menjadi lawan politik PDIP, meskipun para kader sadar bahwa posisi tersebut sudah jelas pasti kalah. Meski demikian, sebagai partai Islam tradisional, kultur pemilih partai ini memiliki irisan dengan pemilih PDIP. Khusus Jateng, loyalitas kepada pemimpin yang dihormati menjadi ciri utama pada pemilih kedua partai ini.
Para pemilih Jateng umumnya menghormati semua capres yang datang mempromosikan diri dan program di daerah mereka. Pemilih PDIP dan partai koalisi pengusung Jokowi – Ma’ruf tidak akan mengintimidasi warga lain yang berbeda pilihan dengan mereka. Di atas iklim kebebasan politik inilah BPN mendapat tempat yang luas untuk mengampanyekan Prabowo - Sandi kepada seluruh warga Jateng.
Sementara itu, loyalitas pemilih PDIP sudah teruji sejak Pemilu 1999, Pilpres 2004, Pilgub 2008, dan Pilkada di mana kekuatan partai ini masih sulit digeser hingga saat ini. Dalam momentum kontestasi politik tersebut, migrasi ideologis pemilih di Jateng terjadi secara linier dengan motif ideologis dan kultur.
Motif ideologis ditandai dengan migrasi pemilih PDIP kepada sesama partai nasionalis, terutama Golkar dan Demokrat. Migrasi yang sama bisa juga terjadi dari kedua partai ini kepada PDIP. Sementara motif kultur ditandai dengan migrasi pemilih nasionalis (terutama PDIP, Golkar, dan Demokrat) kepada partai Islam yang memiliki basis kultur yang sama, yaitu PKB dan PPP.
Sebaliknya, migrasi pemilih partai Islam tradisional ini juga cenderung akan bermuara kepada tiga partai nasionalis tersebut.
Dengan pola migrasi tersebut, para pemilih di Jateng sudah berpengalaman dalam memberikan isyarat politik untuk memilih calon pemimpin yang paling cocok dengan keinginan mereka. Isyarat inilah yang harus dibaca dan diterjemahkan dengan tepat sehingga upaya untuk menggiring preferensi pemilih untuk memenangkan capres bisa dilakukan dengan efektif. (LITBANG KOMPAS)