Kekurangan 68.760 Pengawas TPS, Bawaslu Minta Kelonggaran Syarat Usia
Oleh
Satrio Wisanggeni/Pradipta Pandu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Badan Pengawas Pemilu di 16 provinsi masih kekurangan 68.760 pengawas tempat pemungutan suara karena kendala syarat usia. Bawaslu berharap ada toleransi dari pemerintah dan legislatif untuk mengurangi usia sebagai syarat perekrutan agar kuota terpenuhi.
Ketua Bawaslu Abhan saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/3/2019), mengatakan, perekrutan pengawas TPS terkendala syarat usia minimal 25 tahun dan pendidikan paling rendah sekolah menengah atas (SMA).
Abhan pun meminta agar usia minimal pengawas TPS dapat dikurangi sebagai syarat perekrutan. Namun, hal tersebut dinilai sulit diwujudkan karena aturan tersebut merupakan amanat Pasal 117 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam memenuhi kuota, kata Abhan, Bawaslu menggiatkan ”jemput bola” untuk mengajak masyarakat menjadi pengawas TPS. Tidak hanya itu, Bawaslu bekerja sama dengan pemerintah daerah hingga jajaran di pemerintah kecamatan guna mengajak warga yang memenuhi syarat untuk menjadi pengawas TPS (PTPS).
“Kami juga akan melakukan skenario lainnya yakni mengambil orang di desa terdekat dari TPS. Ini bisa dilakukan karena tidak ada syarat domisili untuk menjadi pengawas TPS. Namun, ini juga masih menjadi perhitungan karena kami berharap PTPS harus tahu tentang geografis daerah tersebut,” ujarnya.
Pada Pemilu 2019, Bawaslu harus merekrut 809.500 orang untuk mengawasi seluruh tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 83.370 desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Satu pengawas di setiap TPS tersebut diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Berdasarkan data Bawaslu pada 8 Maret lalu, Bawaslu di 16 provinsi masih kekurangan 68.760 pengawas TPS. DKI Jakarta termasuk salah satu provinsi yang kekurangan jumlah pengawas. Dari total kebutuhan 29.010 pengawas TPS, masih ada kekurangan sebanyak 7.457 orang.
Selain DKI Jakarta, provinsi lain yang kekurangannya masih banyak adalah Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, Papua Barat, Papua, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Maluku, dan Banten.
Padahal, sesuai Pasal 90 UU Pemilu, pengawas TPS di setiap TPS harus sudah tersedia 23 hari sebelum hari pemungutan suara Pemilu 2019 pada 17 April, tepatnya jatuh pada 26 Maret 2019.
Saksi dan pengawas TPS menjadi komponen yang krusial dalam proses pungut hitung Pemilu 2019. Untuk itu, keberadaan pengawas TPS menjadi hal yang mutlak. Anggota fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo sependapat dengan Bawaslu bahwa penyesuaian regulasi menjadi hal yang sebaiknya dilakukan untuk memastikan keberadaan PTPS.
Firman menilai, ijasah setingkat SMA menjadi persyaratan yang tidak boleh diubah. Namun, ia berpendapat bahwa batasan usia 25 tahun dapat diturunkan menjadi 17 tahun. “Saya kira kalau diturunkan jadi 17 tahun, banyak anak-anak muda yang mau (menjadi PTPS). Kalau 25 tahun itu sudah berkeluarga dan lebih susah (untuk direkrut),” kata Firman.
Pendapat senada juga disampaikan oleh anggota fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto. Ia mengungkapkan bahwa melalui kunjungannya ke konstituennya di Serang, Banten, ia mendapat laporan bahwa Bawaslu Kota Serang kesulitan merekrut PTPS. Untuk itu berharap ada kelenturan regulasi demi tersedianya pengawas TPS.
Yandri mengatakan, sebaiknya persyaratan PTPS tidak perlu ketat. “Misalnya bisa diambil mereka yang sudah masuk DPT. Yang penting ada orangnya,” kata Yandri.
Wakil Ketua Komisi II Nihayatul Wafiroh mengatakan, ia memahami masalah yang dihadapi oleh Bawaslu dan harapan para anggota dewan untuk menyesuaikan regulasi guna mempermudah rekrutmen PTPS. Namun, ia mengingatkan proses perubahan regulasi ini hanya dapat melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi.