Belajar saling memaafkan walaupun telah berbuat kesalahan yang menyakitkan merupakan pesan yang tersirat di dalam adaptasi I La Galigo oleh para siswa Sekolah Cikal Setu. Penyesalan dan kebesaran jiwa menjadi perekat kembali sebuah keluarga yang pernah tercerai-berai.
I La Galigo (diperankan Zahran Ghanezia Partakusuma) memaafkan ibunya, We Cudai (Nayla Aisha), yang membuangnya ketika baru dilahirkan akibat dendam We Cudai karena dinikahkan secara paksa kepada Sawerigading (Devaditya Rajender Khemlani) yang telah membunuh kekasihnya. We Cudai menyesal telah melampiaskan kemarahannya kepada bayi yang baru lahir dan terus mencarinya untuk memohon agar mereka bisa menjadi satu keluarga kembali.
"Saling memaafkan itu sifat manusia yang sangat penting, makanya kami putuskan untuk jadi tema inti sandiwaranya," kata Radinka Victo (16), siswa kelas XI Sekolah Cikal Setu. Ia merupakan salah satu penulis naskah drama "I La Galigo" yang dipentaskan para siswa kelas VI hingga XI Sekolah Cikal Setu, Jumat (8/3/2019) di Teater Wayang Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Saling memaafkan itu sifat manusia yang sangat penting, makanya kami putuskan untuk jadi tema inti sandiwaranya.
Victo menjelaskan proses pemilihan tema adaptasi "I La Galigo" yang merupakan naskah terpanjang di dunia karena terdiri dari 6.000 halaman. Para siswa membaca buku ringkasan naskah. Mereka menangkap ada tiga aspek penting yang ditonjolkan di epos masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan itu, yakni kekeluargaan, kekuasaan, dan kemanusiaan. Elemen kemanusiaan dipilih oleh tim penulis naskah yang terdiri dari lima orang siswa.
"Salah satu ciri sifat yang manusiawi itu adalah saling memaafkan. Apalagi, zaman sekarang banyak orang yang baper dan suka bertengkar karena mudah tersinggung. Kami ingin penonton melihat bahwa semua hal yang diputuskan ketika emosi enggak akan berujung baik. Tapi, di satu sisi, jiwa besar akan bisa mengakhiri konflik berkepanjangan," ungkap Victo.
Budaya Nusantara
Manajer Program Akademik Sekolah Cikal Setu Pia Adiprima menjelaskan, produksi teater tahunan sekolah itu merupakan bagian dari pendidikan karakter. Setiap tahun, sekolah memilih tema dari salah satu kekayaan budaya Nusantara. Sulawesi Selatan adalah tema tahun ini, menyusul Sumatera Barat dan Bali dari tahun-tahun sebelumnya.
"Adaptasi naskah, pemilihan aktor, rancangan kostum dan tata rias, mencari sponsor, sampai ke bagian pemasaran semua dilakukan oleh siswa. Guru bertindak sebagai pengawas dan penasehat," katanya.
Dalam melaksanakan proses produksi, siswa mendapat pendidikan karakter secara langsung. Mereka belajar bekerja sama, menuangkan kreativitas, bersifat ulet, dan berwirausaha. Mereka menyatukan visi dari berbagai kepala untuk menghasilkan sebuah produksi yang tidak hanya menghibur, tetapi juga memiliki pesan positif untuk disampaikan.
"Tentu ada nilai tambah di rapor setiap siswa. Namun, tujuan utamanya adalah seusai produksi teater ini mereka tumbuh jadi orang yang lebih baik," ujar Pia.
Siswa juga memutuskan pendapatan dari hasil penjualan tiket dan pernak-pernik akan disumbangkan untuk amal. Akan tetapi, Pia mengatakan, sumbangan sebaiknya tidak berbentuk uang tunai karena akan habis dipakai dan tidak mendidik.
"Oleh karena itu, hasil penjualan akan digunakan siswa untuk membuat papan permainan pendidikan dan modul pelatihan guru yang disalurkan lewat Komunitas Guru Belajar. Rencananya ke Kabupaten Jeneponto di Sulawesi Selatan," ucapnya.