Masyarakat Diajak Kenali Pelanggaran Netralitas Aparatur Sipil Negara
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Aparatur Sipil Negara mengampanyekan netralitas aparatur sipil negara menjelang Pemilihan Umum 2019. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat mengenali bentuk-bentuk pelanggaran netralitas itu.
Kampanye tersebut dilakukan pada kegiatan hari bebas kendaraan di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (10/3/2019). Kegiatan dilakukan dengan jalan santai sambil bersosialisasi dan mengumpulkan tanda tangan masyarakat untuk mendukung aparatur sipil negara (ASN) yang netral dari berbagai bentuk politik praktis.
Sekitar 150 peserta yang terdiri dari pegawai Komisi ASN serta beberapa pejabat kementerian dan lembaga turut mengikuti kegiatan itu. Kampanye tersebut juga diikuti beberapa lembaga pemerhati tata kelola pemerintahan yang baik, seperti USAID CEGAH, Pattiro, Fitra, dan KPPOD.
Komisioner Komisi ASN, Waluyo, mengatakan, kampanye itu digelar untuk mengingatkan kewajiban ASN menjaga netralitas politik, khususnya menjelang dan pada saat Pemilu 2019. Kegiatan itu sekaligus mengingatkan masyarakat sebagai pengontrol penyelenggara pemerintahan.
”Kami mengajak masyarakat dalam rangka kontrol bersama. Melalui acara ini, kami juga sosialisasikan bentuk-bentuk pelanggaran ASN yang patut diawasi jelang Pemilu 2019,” ucap Waluyo saat ditemui pada acara kampanye yang berlangsung beberapa jam sejak sekitar pukul 06.00 WIB.
Menurut Waluyo, masyarakat harus mengenal berbagai bentuk pelanggaran, baik yang dilakukan di dunia maya maupun nyata. Di media sosial, pelanggaran bisa dalam bentuk menanggapi postingan dengan menyukai, memberikan komentar, menyebarkan, dan membuat postingan yang intinya mengajak atau menjelekkan pasangan calon tertentu.
”Pelanggaran netralitas juga bisa dilakukan di ruang publik, seperti langsung atau secara terselubung mengajak orang lain untuk memilih atau tidak memilih pasangan calon tertentu,” lanjutnya.
Baca juga: Pengawasan Netralitas ASN Diperkuat
Aturan ASN itu ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Berbagai bentuk pelanggaran netralitas ASN—yang juga dikenal sebagai pegawai negeri sipil (PNS)—dilarang dilakukan sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye dalam pemilu. Hal ini diatur dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
”ASN boleh memilih, tapi tidak boleh memihak, menyarankan, atau mendukung salah satu pasangan calon. Saat mereka libur, misalnya, atribut ASN tetap melekat dan mereka tidak boleh berkampanye,” ucap Waluyo.
ASN boleh memilih, tapi tidak boleh memihak, menyarankan, atau mendukung salah satu pasangan calon. Saat mereka libur, misalnya, atribut ASN tetap melekat dan mereka tidak boleh berkampanye.
Masyarakat pun mendukung perlunya pengawasan terhadap potensi pelanggaran netralitas ASN. Pasalnya, politik praktis yang dilakukan ASN dapat mengganggu pemerintahan dan membuat situasi perpolitikan negara menjadi tidak sehat.
Wijaya (49), warga yang berprofesi sebagai pegawai swasta, berpendapat, tidak netralnya ASN menjadi preseden buruk bagi pemerintah.
”Kalau, misalnya, mereka terima gaji dari pemerintah, tapi mereka menjelek-jelekkan pemerintah yang kembali bersaing di pemilu, menurut saya, mereka tidak punya keahlian untuk menjadi pemerintah yang baik,” ujar Wijaya.
Warga lain, Mai (51), berpendapat, politik praktis yang dilakukan ASN hanya akan menambah kekacauan situasi politik di Indonesia. Karena itu, ia mendukung ASN agar tetap netral.
”Keberpihakan mereka ini kecenderungannya untuk apa? Kalau untuk saling menjatuhkan, tentu tidak bagus. Kalau mereka memahami pentingnya persaingan politik yang sehat, politik Indonesia akan bagus,” ucap Mai.
Sosialisasi kepada ASN
Potensi pelanggaran yang dilakukan ASN cenderung meningkat dengan semakin banyaknya jenis pemilihan yang dilakukan. Jika tahun lalu ada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018, tahun ini ada pemilu serentak untuk pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Kemudian, pada tahun 2020 dan 2024 akan berlangsung pilkada gelombang IV dan V secara serentak.
”Baik pilkada, pileg, maupun pilpres yang akan terus berlangsung ini mencakup banyak daerah di Indonesia sehingga potensi pelanggaran akan semakin besar. Pelanggaran itu, antara lain, karena banyak ASN tidak paham dengan kode etik mereka,” kata Waluyo.
Oleh karena itu, KSAN terus berupaya menyosialisasikan atau menyegarkan kembali aturan kode etik kepada 4,3 juta ASN. ”Sosialisasi dilakukan sebagai pencegahan agar birokrat tidak berpolitik dan tidak ada yang memolitisasi birokrat,” lanjutnya.
Sosialisasi itu antara lain dilakukan setiap pendidikan latihan dasar dan kepemimpinan kenaikan jabatan, seperti untuk eselon III atau IV. Penyegaran aturan kode etik ASN juga disediakan dalam bentuk pembelajaran elektronik atau e-learning, yang dirilis Komisi ASN pada akhir 2018.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, hingga 1 Maret 2019, terdapat 165 pelanggaran netralitas ASN yang terjadi di 15 provinsi. ASN yang dilaporkan melanggar aturan netralitas mulai dari pejabat kepala dinas, sekretaris kecamatan, perangkat desa, satuan polisi pamong praja, sampai kepala daerah yang menjabat pembina kepegawaian.
Baca juga: Pelanggaran Netralitas ASN Masih Terjadi
Bentuk pelanggaran tersebut mulai dari dukungan terhadap peserta pemilu lewat unggahan di media sosial, menghadiri kampanye, menjadi tim sukses peserta pemilu, hingga mencalonkan diri sebagai anggota partai politik dan legislatif sebelum mengundurkan diri sebagai ASN.
Sementara itu, pada 2018, Komisi ASN menerima 508 laporan pengaduan pelanggaran dengan 978 ASN yang terlibat. Laporan pelanggaran netralitas ASN tersebut banyak dilakukan ASN dengan menggunakan media sosial, seperti Facebook, Whatsapp, Twitter, dan Instagram. (ERIKA KURNIA)