Kurungan 6 Tahun Penjara untuk Mantan Politikus Golkar
JAKARTA, KOMPAS— Mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar (nonaktif), Eni Maulani Saragih, divonis pidana 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan. Eni juga diperintahkan membayar uang pengganti Rp 5,087 miliar dan 40.000 dollar Singapura, serta dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun.
Hal itu disampaikan majelis hakim yang diketuai Yanto pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (1/3/2019). Hukuman yang disampaikan hakim itu lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebelumnya, Eni dituntut pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan. Eni juga dituntut membayar uang pengganti Rp 10,35 miliar dan 40.000 dollar Singapura, serta dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun.
“Mengadili, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan melakukan gabungan beberapa kejahatan,” kata Yanto.
Menerima suap
Hakim menyatakan, Eni terbukti menerima uang Rp 4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR, Ltd), Johanes Budisutrisno Kotjo. Uang tersebut untuk menggerakkan Eni agar Kotjo bisa memperoleh proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU Riau-1).
Pada tahun 2015, Kotjo melakukan kesepakatan dengan pihak investor China Huadian Engineering Company Limited (CHEC, Ltd) mengenai rencana pemberian fee sebagai agen dalam proyek pembangunan PLTU MT Riau-1 yang diperkirakan nilai proyeknya sebesar 900 juta dollar AS dengan fee sebesar 2,5 persen yaitu, sejumlah 25 juta dollar AS.
Kotjo meminta Rudy Herlambang selaku direktur PT Samantaka Batubara (anak perusahaan BNR, Ltd) untuk mengirimkan surat pengajuan proyek IPP PLTU MT Riau-1 kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Surat itu memohon agar PLN memasukkan proyek tersebut ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN.
Namun, PLN tak kunjung memberikan tanggapan terkait surat itu. Pada tahun 2016, Kotjo pun menemui Ketua DPR Setya Novanto untuk meminta bantuan agar diberikan jalan untuk berkoordinasi dengan PLN.
Menindak lanjuti permintaan Kotjo, Novanto memperkenalkan Kotjo dengan Eni selaku anggota Komisi VII DPR-RI yang membidangi energi, riset dan teknologi, dan lingkungan hidup. Novanto meminta Eni agar mengawal Kotjo dalam proyek tersebut. Atas kesepakatan itu, Eni dijanjikan komisi 2,5 persen dari total nilai proyek PLTU MT Riau-1 oleh Kotjo. Eni pun menyanggupi kesepakatan tersebut.
Awal tahun 2017, Eni memperkenalkan Kotjo kepada Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir. Eni menyebutkan, Kotjo adalah pengusaha tambang yang tertarik menjadi investor dalam proyek PLTU MT Riau-1.
Selanjutnya, Sofyan menyampaikan agar penawaran itu diserahkan kepada Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) Supangkat Iwan Santoso.
Pada Maret 2017, IPP PLTU Riau-1 masuk dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2017 sampai 2026 dan telah disetujui masuk dalam RKAP PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan, PT PLN (Persero) menunjuk anak perusahaannya, PT PJB, untuk melaksanakan 9 proyek IPP termasuk di antaranya proyek PLTU MT RIAU-1.
Berperan aktif
Selanjutnya, hakim juga menilai, Eni terbukti berperan aktif dalam memfasilitasi pertemuan antara Kotjo dan pimpinan PLN terkait pembahasan lanjutan proyek tersebut. Eni juga melaporkan perkembangan proyek ini kepada Novanto.
Namun, setelah Novanto ditahan dalam kasus KTP-elektronik, selanjutnya poyek itu dilaporkan Eni kepada Idrus Marham selaku pelaksana tugas Ketua Umum Golkar pada saat itu. Hal itu bertujuan agar nantinya Eni tetap diperhatikan oleh Kotjo.
Selain itu, Eni diarahkan oleh Idrus untuk meminta uang kepada Kotjo sebesar 2,5 juta dollar AS untuk keperluan musyawarah nasional luar biasa (munalsub) Partai Golkar. Eni menghubungi Kotjo dan meminta uang sejumlah 3 juta dollar AS dan 400.000 dollar Singapura kepada Kotjo.
Atas permintaan tersebut, Kotjo memerintahkan sekretaris pribadinya, Audrey Ratna J, untuk memberikan uang Rp 4 miliar kepada Eni melalui staf Eni yakni, Tahta Maharaya. Uang tersebut diberikan melalui 2 tahap.
Tak hanya itu, Eni kembali meminta uang kepada Kotjo sebanyak Rp 10 miliar. Uang tersebut guna membiayai keperluan pemilihan kepala daerah suami Eni, M Al Khadziq. Seperti diketahui pada saat itu, Khadziq mencalonkan diri menjadi bupati Temanggung. Melalui Audrey, Kotjo hanya memberikan Rp 250 juta kepada Eni.
Hakim juga menilai, Eni terbukti beberapa kali meminta uang kepada Kotjo. Pada Juli 2018, Eni meminta Rp 500 juta kepada Kotjo. Pemberian uang itu dilakukan secara langsung di Graha BIP antara Kotjo, Eni, Audrey, dan Tahta. Sesaat setelah pemberian uang tersebut, KPK menangkap Eni beserta barang bukti.
Hakim menyebutkan, Eni terbukti menerima gratifikasi senilai Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura dari sejumlah direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas.
Hakim dalam menentukan hukuman Eni telah melakukan pertimbangan. Hal yang memberatkan yaitu, bahwa Eni tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi akibatnya merugikan masyarakat pengguna infrastruktur. Sedangkan hal yang meringankan yaitu, Eni berterus terang dan jujur selama sidang, serta ia bersikap kooperatif dan telah menyerahkan kembali sebagian uang yang diterimanya.
Hakim menyatakan, Eni bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Perbuatan Eni juga merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Atas putusan tersebut, Eni menerima semua putusan yang diberikan hakim. Sementara itu, jaksa Ronald F Worotikan memberikan respon untuk ‘pikir-pikir’ dahulu. Hakim pun memberikan waktu kepada jaksa untuk berpikir maksimal tujuh hari sejak sidang putusan itu berlangsung. (MELATI MEWANGI)