KPU Petakan Jumlah Pemilih Pindahan di Setiap Daerah
Oleh
PRADIPTA PANDU/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Komisi Pemilihan Umum saat ini masih memetakan persebaran daftar pemilih tambahan atau pemilih pindahan. Pemetaan ini bertujuan untuk mengatur tempat pemungutan suara (TPS) para pemilih tersebut.
“Kami akan lihat dulu perpindahannya, mana pemilih yang bisa diatur atau dialihkan ke TPS lainnya. Secara keseluruhan kami juga akan melihat lokasi mana saja yang jumlah pemilih pindahannya banyak dan tidak bisa didistribusikan ke TPS lain,” ujar Ketua KPU Arief Budiman di Kantor KPU, Jakarta, Senin (25/2/2019).
Berdasarkan hasil rapat rekapitulasi Daftar pemilih tambahan (DPTb), Kamis (21/2) lalu, tercatat sebanyak 275.923 pemilih dari 87.483 TPS mengurus dokumen pindah memilih. Jika dirinci berdasarkan daerah, jumlah DPTb tersebut berasal dari 30.118 desa/kelurahan, 5.027 kecamatan, dan 496 kabupaten/kota.
Daftar pemilih tambahan (DPTb) atau pemilih pindahan merupakan pemilih yang telah masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT), tetapi mereka memutuskan untuk pindah memilih ke TPS di daerah lain.
Banyaknya jumlah pemilih pindahan membuat KPU terkendala terbatasnya surat suara untuk pemilih yang terkonsentrasi di tempat tertentu dengan jumlah ratusan hingga ribuan pemilih. Mereka merupakan kelompok pelajar atau mahasiswa, narapidana di lembaga permasyarakatan (lapas), dan pekerja perusahaan perkebunan atau pertambangan.
KPU juga tidak bisa mencetak surat suara kembali karena tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU Pemilu hanya mengatur pencetakan surat suara sesuai dengan DPT ditambah 2 persen untuk surat suara cadangan.
Anggota KPU Viryan Aziz mengatakan, terdapat dua alternatif solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut, yakni pembuatan Perppu Pemilu dan uji materi Pasal 344 Ayat 2 UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
“KPU butuh dasar agar pemilih DPTb bisa disiapkan surat suaranya tersendiri. Pembuatan Perppu merupakan ranah dari pemerintah, sedangkan uji materi ke MK hanya bisa dilakukan oleh pemilih DPTb karena mereka terancam kehilangan hak pilihnya,” ujar Viryan.
Terdapat dua alternatif solusi yakni pembuatan Perppu Pemilu dan uji materi Pasal 344 Ayat 2 UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Arief mengatakan, baik pembuatan perppu maupun uji materi sangat memungkinkan menjadi solusi dari permasalahan keterbatasan surat suara pemilih pindahan. Dari kedua solusi tersebut, uji materi dinilai Arief dapat menjadi solusi tercepat.
“Pada prinsipnya yang penting 30 hari sebelum pemungutan suara mudah-mudahan sudah ada putusannya. Sebab, KPU juga perlu waktu untuk produksi dan distribusi logistik,” ungkapnya.
Tidak perlu perppu
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, perppu tidak dibutuhkan karena tidak masuk dalam kategori mendesak dalam Pemilu 2019 mendatang. Menurut dia, dalam pencoblosan nanti, kemungkinan kertas suara yang paling banyak digunakan adalah kertas suara pemilihan presiden. Dengan demikian, tidak signifikan apabila penambahan surat suara diberlakukan untuk seluruhnya, termasuk kertas suara pemilihan legislatif mengingat ada perpindahan daerah pemilihan.
"Karena itu bukan merupakan hal yang genting dan memaksa, menurut saya, itu lebih baik aturannya cukup oleh Peraturan KPU. Karena, kertas suara yang akan digunakan paling kertas suara pilpresnya saja," ujar Tjahjo.
Proses pengesahan perppu pun, lanjut Tjahjo, bukanlah hal yang mudah karena harus melewati pembahasan di DPR. Dia mengkhawatirkan, jika perppu ini dibahas, maka akan ada beragam pandangan politik.
"Apakah ada jaminan kalau ada perppu akan simple (mudah)? Belum tentu, di DPR juga akan dibahas juga, pasti akan merembet ke hal-hal yang lain, ada dinamika yang muncul. Ini akan mengganggu tahapan-tahapan," tutur Tjahjo.
Terkait usulan pemerintah itu, Tjahjo mengaku telah bersurat kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno agar disampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai catatan, dalam Pasal 22 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, Presiden berhak menetapkan perppu apabila dalam keadaan genting yang memaksa. Namun di ayat selanjutnya ditegaskan bahwa perppu itu tetap harus mendapatkan persetujuan dari DPR.
"Kalau masukan Kemendagri, tidak perlu perppu. Karena, perppu itu sudah merupakan hal yang kegentingannya memaksa. Apakah ini masuk ranah itu atau tidak? Tidak. Maka, ya cukup lewat PKPU yang disempurnakan," katanya.
Namun, lanjut Tjahjo, masyarakat bisa mengajukan uji materi kepada MK apabila tidak sependapat. "Itu bukan kewenangan pemerintah. Itu hak-hak masyarakat yang punya hak politik, hak konstitusional untuk menggunakannya," ujarnya.