Menaikkan Kelas Sampah Melalui Butik
Sampah plastik kemasan yang selama ini tersingkir dalam proses daur ulang sampah, oleh sekelompok anak muda "disulap" menjadi barang- barang bernilai. Usaha berkonsep kewirausahaan sosial ini melibatkan 350 kelompok masyarakat.
Sejumlah tas, kotak pensil, map, dompet, gantungan kunci, hingga bunga imitasi tertata rapi di etalase dan rak yang ada di butik di Jalan Sukoharjo, Condong Catur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Harga barang-barang dalam balutan warna-warni itu berkisar Rp 6.000-Rp 200.000, tergantung detailnya.
Sekilas, pengunjung tidak akan mengira barang-barang yang dipajang di ruangan seluas 4x10 meter tersebut hasil daur ulang sampah plastik kemasan. Baru, jika diperhatikan secara cermat, terlihat di balik balutan warna-warni indah produk kerajinan tangan itu adalah potongan-potongan kecil berbagai bungkus kemasan makanan.
Adalah Hijrah Purnama Putra (36) dan sejumlah temannya yang menginisiasi pembuatan barang-barang kerajinan dari sampah plastik kemasan tersebut. “Kami memulainya pada 2008. Waktu itu, kami sering nongkrong di warung burjo (bubur kacang hijau) atau warung makan mie instan, sering lihat sampah-sampah (kemasan) plastik dibuang begitu saja,” kata Hijrah di butiknya yang dinamai Butik Daur Ulang itu, Minggu (17/2/2019).
Hijrah, yang saat itu kuliah di Fakultas Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia, merasa ilmu tentang pengolahan sampah yang dipelajarinya bisa digunakan untuk menjawab masalah itu. Sampah-sampah tersebut jika dibiarkan saja pasti hanya akan berakhir di sungai, ditimbun di tanah, atau dibakar karena tak banyak masyarakat yang tahu cara pengolahanannya. Dijual pun tak laku, beda dengan botol plastik.
“Kalau begitu kan nanti akan berpengaruh dengan kualitas lingkungan juga. Jadi, kami coba mengedukasi para pemilik warung makan agar mereka mau mengumpulkan sampah-sampah plastiknya,” kata Hijrah.
Sampah plastik tersebut berupa bungkus makanan dan minuman kemasan. Setiap Sabtu dan Minggu, Hijrah dan teman-temannya mengambil sampah tersebut ke warung-warung makan. Setelah dicuci dan dijemur, lalu disimpan di gudang.
“Dalam satu tahun, gudang kami penuh. Kami mencari lewat google, sampah plastik ini bisa dijadikan produk apa saja. Dari situ, kami membuat kerajinan tangan seperti tas atau map yang kemudian kami pasarkan lewat media sosial. Kebetulan mendapat respons bagus,” kata Hijrah.
Dalam perjalanan waktu, pesanan selalu datang. Bahkan, pada 2010, Hijrah bisa menjual produknya hingga ke Filipina. Kenalannya dalam sebuah pameran, seorang pengunjung asal Filipina, memesan sekitar 50 unit produk daur ulang, paling banyak berupa totebag dan map. Harganya mulai dari Rp 20.000 hingga Rp 150.000.
Kewirausahaan sosial
Usaha itu pun digarap secara lebih serius dengan mengedepankan prinsip kewirausahaan sosial. Masyarakat pun dilibatkan dengan membentuk bank sampah. Saat ini, ada 350 kelompok yang menjadi nasabah bank sampah itu, dengan 60-80 orang per kelompok.
Anggota kelompok juga digandeng untuk membuat produk daur ulang, dan dijual di Butik Daur Ulang. Hasil kreasi masyarakat itu dibayar di awal agar minat mereka untuk mengelola sampah semakin tinggi. Model seperti itu membuat masyarakat termotivasi terus berkreasi dengan mendaur ulang sampah plastik.
“Sebanyak 30 persen keuntungan kami berikan kepada masyarakat. Setiap bulan, ada 4-5 lokasi yang kami datangi untuk mengedukasi masyarakat terkait pengelolaan sampah,” kata Hijrah.
Materi yang diberikan berupa pemilahan sampah plastik. Masyarakat diberitahu bahwa sampah plastik memiliki nilai jual. Dengan pemilahan yang benar, masyarakat bisa menjual sampah plastik yang mereka kumpulkan, dalam kondisi rapi dan bersih, ke Butik Daur Ulang dengan harga Rp 10 - Rp 70 per lembar.
Dengan pelibatan masyarakat, kini produknya semakin bervariasi, mencapai 145 jenis, dengan jumlah produksi 500-600 unit per bulan. Produk yang paling laku di pasaran adalah map dan goodie bag. Biasanya pemesannya instansi-instansi yang mengadakan seminar. Jika banyak pasangan menikah, Butik Daur Ulang juga kebanjiran pesanan berupa coin purse (dompet koin), pernah mendapat pesanan hingga 1.000 unit.
Usaha daur ulang sampah juga mulai ditumbuhkan di Kota Bandung, Jawa Barat. Selain diajak mengelola sampah melalui bank sampah, sejak tahun lalu para ibu rumah tangga juga dibina membuat kerajinan daur ulang bungkus minuman plastik menjadi taplak meja, tempat tisu, juga keranjang. Sampah yang semula berakhir di tempat sampah karena tidak bernilai itu, kini menjadi barang-barang yang bernilai Rp 30.000 hingga 60.000 per biji.
"Hasil kerajinan dari daur ulang sampah kemasan plastik ini sebagian ditampung atau dibeli oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung, juga ada sekolah-sekolah yang memesan," kata Dewi Kusmianti yang mendapat tugas dari Dinas Lingkungan Hidup dan kebersihan Kota bandung untuk membina dan mendampingi masyarakat mengelola bank sampah.
Kegiatan ini merupakan bagian dari dari gerakan bertajuk Kang Pisman, yaitu gerakan masyarakat untuk mengurangi, memisahkan atau memilah, serta mendaur ulang sampah.
Tiga mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Gadjag mada Yogyakarta, yaitu Yusroni (19), Junita Solin (19), dan Novia Adisti Putri (20) mempunyai cara sendiri untuk mengurangi sampah plastik yang mencemari lingkungan. Mereka mengembangkan aplikasi bernama “Plastic” untuk jual-beli produk berbasis daur ulang sampah plastik. Ada beberapa jenis limbah daur ulang yang bisa dipasarkan lewat aplikasi yang masih terus dikembangkan ini, yaitu kaca, plastik, dan kayu.
Di Denpasar, Bali, masyarakat juga bisa memanfaatkan aplikasi Gringgo di telepon genggam untuk mendapatkan informasi lokasi pembuangan sampah dan pengolahan sampah. Aplikasi yang dikembangkan Oliver Pouillon, Co-Founder dan CEO Gringgo Tras Tech dan rekannya, Febriadi Pratama, ini dimanfatkan Pemerintah Kota Denpasar dalam upaya pengelolaan sampah secara swakelola.
(SAMUEL OCTORA / COKORDA YUDISTIRA)