Mengenang Nh Dini, ”Pemberontak” Ramah Anak
Sastrawan Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau Nh Dini telah meninggal pada 4 Desember 2018. Akan tetapi, sosok dan karyanya masih terus dikenang para pembaca setianya, termasuk saat melihat pendidikan anak-anak dan remaja dewasa ini.
Andaikan Dini masih hidup, dia dinilai sangat cocok menjadi mentor anak-anak dan remaja yang banyak memberontak saat ini. Pasalnya, dalam karyanya, ia blak-blakan membahas seksualitas, narkoba, dan tema lain, tetapi dengan bahasa yang sopan atau tidak vulgar sehingga hal yang dianggap tabu itu dapat tersampaikan dengan baik.
Pengandaian ini menjadi salah satu pembahasan dalam diskusi untuk mengenang Dini yang dilaksanakan di Institut Francais d’Indonésie (IFI), Jakarta Pusat, Rabu (20/2/2019). Dini banyak melahirkan karya sastra yang menyuarakan kesetaraan jender. Namun, tak banyak yang tahu bahwa penulis puluhan buku ini juga menciptakan karya sastra anak.
Beberapa karya sastra anak yang ditulis Dini berjudul Cerita Rakyat dari Prancis, Geneive dari Paris, dan Cervius Dewa Menjangan. Ketiga karya ini merupakan dongeng yang dikarang Dini dengan latar belakang kehidupan di Perancis, tempat ia pernah tinggal, bahkan pernah menjadi warga negara.
”Karya Dini untuk anak-anak ini hampir dilupakan, padahal saya sudah menyimpannya di perpustakaan saya selama puluhan tahun,” ucap dosen Universitas Negeri Jakarta yang juga penulis sastra anak, Murti Bunanta, sahabat Dini.
Murti yang juga peneliti sastra anak ini menceritakan bagaimana kekagumannya terhadap Dini yang tak pernah ia sampaikan langsung kepada sahabatnya selama 58 tahun itu. Ia mengagumi gaya penulisan Dini dalam memberikan makna yang bisa dipetik anak tanpa terasa diperintah.
Murti mengatakan, umumnya buku cerita anak berisi kisah layaknya perintah bagi anak-anak. Dengan memberi judul Aku Rajin Membantu Ibu, misalnya. Isinya seperti memerintahkan anak untuk membantu ibu agar menjadi baik.
Berbeda dengan Dini yang menyajikan makna dari moral itu. Dini menyajikan kisah penuh makna tanpa ada kesan memerintah, tetapi dari keputusan anak itu sendiri. Misalnya saja bagaimana banyak yang tidak menghargai kebaikan orang lain. Namun, masih ada beberapa yang tetap saling menghargai dan membantu dan tokoh itu menjadi istimewa karena sifat saling menghargai itu.
Dalam karya sastra anak yang ditulisnya, Dini juga tetap menyajikannya dengan gaya penulisan pada buku-bukunya yang lain. Pujian ini disampaikan Murti dan juga penulis yang hadir.
”Dalam karyanya, dia selalu meneliti terlebih dahulu untuk dijadikan latar belakang cerita yang sesungguhnya. Jadi, kita sebagai pembaca merasa cerita itu keseluruhannya nyata. Apalagi saat mengunjungi daerah yang menjadi latar belakang cerita, kita akan langsung mengingat karangannya,” kata Murti yang telah menerbitkan 50 buku cerita anak ini.
Murti juga menjelaskan bahwa Dini sangat menghindari kata perintah dalam karyanya untuk anak-anak. Dia tidak ingin membentuk perilaku dan pemikiran anak yang seragam, layaknya mesin cetak. Baginya, anak-anak harus tumbuh sesuai dengan pilihannya. Ia cukup memberikan penanaman makna dan moral yang baik. Hal ini juga dirasakan Dini sehingga ia bisa tetap berkarya dari kelas III sekolah dasar hingga akhir hayatnya.
Dini juga mengaplikasikannya pada kedua anaknya, yakni Pieree Coffin dan Marie-Claire Lintang, yang bebas memilih kehidupannya sendiri. Pieree kini telah menjadi animator dan sutradara terkenal Hollywood yang menciptakan tokoh Minions. Sementara Marie yang telah menyandang gelar doctor of philosophy (PhD) memilih beberapa profesi dalam hidupnya, seperti wartawan, pegawai di kantor hubungan masyarakat, dosen, guru sekolah menengah, hingga instruktur yoga.
Jika masih hidup, Dini dibayangkan sebagai sosok yang seharusnya bisa menjadi mentor anak-anak saat ini. Begitu pula pada remaja yang butuh pemahaman lebih terbuka.
Memperjuangkan kesetaraan
Selain memperhatikan pendidikan anak dan remaja, dalam diskusi, peran Dini sebagai pejuang kesetaraan perempuan menjadi pembahasan yang panjang. Seperti yang dipaparkan Sekretaris Umum Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Kanti W Janis, yang membawakan presentasi bertema ”Membaca Nh Dini dari Sudut Pandang Milenial”.
”Karya Dini penuh dengan kritik sosial, termasuk ia menuntut kesetaraan terhadap perempuan, termasuk soal pandangan virginitas. Banyak yang mengatakannya feminis walau ia menolaknya karena baginya ia hanya menuntut kesetaraan, bukan keistimewaan,” tutur Kanti yang sering kali membaca karya Dini, termasuk di perpustakaan yang berada di luar negeri.
Dalam karyanya, Dini memerangi anggapan masyarakat bahwa perempuan yang tidak bersuami dan tidak perawan merupakan perempuan tidak suci, termasuk janda. ”Aku kawin dengan dia karena aku suka kepadanya dan karena aku takut. Pemuda-pemuda di negeriku menganggap seorang wanita yang telah kehilangan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah”, tulis Dini dalam buku Pada Sebuah Kapal (1972).
Begitu pula anggapan perempuan tabu jika bekerja, hal itu sesuai dengan pengalaman Dini di zamannya. Tuntutan ini ditampakkan Dini juga dalam kehidupannya, seperti terus bekerja sebagai penulis hingga akhir hayatnya. Perempuan juga punya kebebasan. Selain itu, ia mengaplikasikan kebebasannya itu dengan memilih tinggal di panti jompo di umur 52 saat ia masih produktif.
Keputusannya ini diceritakan Dini dalam bukunya yang berjudul Gunung Ungaran (2018). Keputusan ini juga sebagai wujud dia tidak ingin menuntut sesuatu dari anaknya, terutama materi. Dini dinilai berani melawan norma-norma sosial bagi perempuan Jawa pada karya dan kehidupannya.
Keberaniannya ini membawa berbagai prestasi, termasuk saat pertama kali novelnya terbit tahun 1973. Novel legendaris karya Nh Dini, Pada Sebuah Kapal, langsung dicetak 5.000 eksemplar. Tiga tahun kemudian, novel ini dicetak ulang, begitu terus-menerus selama beberapa kali dan geger (Kompas, 20 Desember 2018).
Karya Dini lainnya adalah La Barka (1975), Namaku Hiroku (1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Sekayu (1991), Kuncup Berseri (1982), Jalan Bandungan (1989), Jepun Negerinya Hiroko (2001), Dari Fontenay ke Magallianes (2005), dan La Grande Borne (2007).
”Hampir semua karya Nh Dini selalu dicetak sembilan hingga sepuluh kali. Di zaman itu, kita punya penulis hebat, Pramoedya Ananta Toer dan Nh Dini,” kata Ketua Umum Satupena Nasir Tamara, yang juga hadir dalam diskusi mengenang salah satu penulis yang ia kagumi itu.
Hingga akhir hayatnya, Dini yang tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi ini kerap membantu mahasiswa strata satu hingga pascasarjana dalam meneliti karya sastra. Karyanya pun kerap kali digunakan sebagai bahan penelitian.
Selain itu, berbagai penghargaan dilekatkan pada Dini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, misalnya penghargaan penulis Asia Tenggara, SEA Write Award, di bidang sastra dari Pemerintah Thailand. Ada pula penghargaan sastra terbaik dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Tuntut nasib penulis
Di balik prestasi yang telah ditorehkan, Dini beberapa kali mengambil sikap untuk menuntut kesejahteraan terhadap penulis di Indonesia. Saat diwawancarai di Pusat Kesenian Jakarta pada 2014, misalnya, Dini mengatakan, dukungan pemerintah terhadap penulis masih nol atau hampa. Kalau di Malaysia ada namanya Sastrawan Negara yang setiap empat atau enam bulan sekali disantuni, diberi biaya operasional kesehatan.
Dalam diskusi yang juga dihadiri Guru Besar Universitas Indonesia Toeti Heraty Roosseno ini dibahas pula mengenai Dini yang pernah mengajukan permohonan jaminan kesehatan bagi penulis kepada pemerintah. Sayangnya, permohonan itu ditolak tanpa mempertimbangkan prestasi yang ditorehkan para penulis dalam mengharumkan nama bangsa Indonesia.
Selain tidak ada pemberian santunan, Dini juga menyoroti potongan royalti yang diambil pemerintah dari penulis. ”Royalti 10 persen dari hasil penjualan buku-buku karanganku dan masih dikurangi pajak 15 persen merupakan jumlah pas-pasan guna membiayai hidup”. Itulah yang ditulis Dini dalam bukunya, Gunung Ungaran.
Akibat kepahitan yang dialami Dini ini, pada 2011 ia pernah menyarankan kepada semua penulis untuk memiliki profesi lain. Ini tentu agar penulis dapat menyokong hidupnya. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)