Penghapusan Obat Kanker Kolorektal pada Formularium Nasional Bebani Penyintas
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Obat kanker Bevacizumab dan Cetuximab yang berguna untuk pengobatan kanker kolorektal atau kanker usus besar dan rektum akan dikeluarkan dari Formularium Nasional per 1 Maret 2019. Akibatnya, kedua obat tersebut tidak lagi dijamin dalam program Jaminan Kesehatan Nasional sehingga penyintas kanker usus besar dan rektum harus membayar kedua obat tersebut.
Koordinator Advokasi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Watch Timboel Siregar mengatakan, obat kanker Bevacizumab dikeluarkan dari Formularium Nasional (Fornas). Adapun Cetuximab masih ada di Fornas, tetapi obat ini tidak lagi dijamin untuk kanker kolorektal metastatik dan kanker nasofaring.
“Dengan pembatasan ini, maka disimpulkan obat Cetuximab untuk kanker kolorektal metastatik dan kanker Nasofaring juga dikeluarkan dari Fornas,” kata Timboel dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (20/2/2019).
Ia mengatakan, keputusan Menteri Kesehatan Nila Moeloek ini bertentangan dengan Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional juncto Pasal 46 ayat 1,2, dan 3 Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018. Aturan ini memasukkan obat sebagai salah satu yang ditanggung program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Menurut Timboel, keputusan ini menurunkan manfaat bagi peserta JKN-KIS penyintas kanker. Mereka dirugikan karena akan mempersulit pasien kanker dalam memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia (Ikabdi) Hamid Rochanan mengatakan, selain kedua obat tersebut, ada regorafenip yang dapat digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal. Namun, obat tersebut juga sudah lama tidak didukung oleh BPJS. “Selain ketiga obat ini, tidak ada obat lain yang dapat digunakan,” ujarnya.
Ia menegaskan, dokter tidak dapat menurunkan standar mutu pelayanan demi alasan apapun. Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki solusi dan tidak dapat mengabaikan permasalahan ini. Hamid mengusulkan, agar pasien dikenakan penambahan biaya jika obat ini dianggap terlalu mahal.
Salah satu penyintas kanker usus besar Husain Nurisman (45) menuturkan, ia telah menghabiskan dana sekitar Rp 1,5 miliar selama pengobatan. Ia divonis menderita kanker usus besar stadium empat pada tahun 2016 lalu.
Adapun biaya pengobatan Husain tersebut ditanggung oleh kantornya. Namun, ia khawatir apabila kedua obat tersebut dihapuskan dari Fornas dan ia sudah pensiun dari tempatnya bekerja, maka ia akan mengeluarkan biaya yang besar ketika penyakitnya tersebut kambuh.
Ketua Umum Cancer Information and Support Centre (CSIS) Aryanti Baramuli Putri menyayangkan keputusan ini. “Bagi kami, 1 menit kehidupan itu penting sekali,” kata Aryanti.
Menurut Aryanti, keputusan ini merugikan penyintas kanker karena kedua obat ini dapat membantu harapan hidup mereka. Ia berharap keputusan tersebut dicabut oleh Menteri Kesehatan.
Defisit
Timboel menganggap keputusan menteri kesehatan ini dibuat untuk mengendalikan defisit program JKN-KIS. Ia mengatakan, mengacu pada data Dana Jaminan Sosial (DJS) BPJS Kesehatan, pembiayaan penyakit kanker ini relatif kecil dari total biaya INA CBGs (Indonesia Case Base Groups).
Ia menjelaskan, jumlah kasus kanker yang dibiayai JKN-KIS dari Januari sampai Desember 2018 sebanyak 1.990.091 dengan total biaya Rp 2,9 Triliun atau sekitar 3,35% dari total biaya INA CBGs pada 2018 sebesar Rp 86,43 Triliun.
“Pemerintah belum mampu mencarikan solusi atas masalah defisit ini dengan sistemik tanpa menurunkan manfaat pelayanan kesehatan,” ujar Timboel. Ia menambahkan, beberapa regulasi yang dibuat Pemerintah saat ini cenderung diabdikan untuk mengendalikan biaya INA CBGs.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan, ketentuan ini tidak untuk mengurangi defisit karena biaya obat tersebut tidak terlalu besar. “Regulasi obat dalam program JKN-KIS ditetapkan oleh pemerintah. Jika di luar regulasi tersebut, maka tidak masuk dalam skema jaminan,” kata Iqbal.
Iqbal menuturkan, keputusan yang diambil pemerintah sesuai dengan rekomendasi dari HTA (Health Technology Assessment). Adapun HTA adalah proses evaluasi yang dilaksanakan secara sistematik mengenai efek dan dampak lain dari teknologi kesehatan.