Konfigurasi Ruang Persaingan Pemilih
Daerah pemilihan pada pemilu legislatif memiliki karakteristik beragam. Namun, dapil-dapil ini bisa dikelompokkan dalam empat kategori jika dianalisis dari pola hubungan antara jumlah pemilih dan tingkat partisipasinya.
Sebanyak 80 daerah pemilihan (dapil) pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI pada Pemilu 2019 memiliki karakteristik masing-masing. Mulai hari ini, harian ”Kompas” akan menurunkan tulisan analisis dapil-dapil tersebut dalam 15 tema tulisan.
Setiap daerah pemilihan memiliki jumlah pemilih yang tidak sama besar. Begitu pula partisipasi pemilihnya. Dengan menautkan jumlah pemilih dan tingkat partisipasinya, konfigurasi semacam apa yang terbentuk?
Data Komisi Pemilihan Umum menunjukkan, jumlah pemilih pada Pemilu 2019 berjumlah 192.838.520 orang. Pemilih itu tersebar di 80 daerah pemilihan (dapil), termasuk para pemilih yang bermukim di luar negeri. Setiap dapil memiliki jumlah pemilih dan porsi kursi legislatif yang berbeda-beda besarannya.
Terdapat wilayah dengan jumlah pemilih yang tergolong paling besar, seperti di Dapil Jawa Barat (Jabar) 7 yang meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, dan Purwakarta. Sekitar 4,4 juta pemilih bermukim di wilayah ini. Jika dikaitkan dengan 10 kursi DPR yang diperebutkan, derajat representasi di wilayah ini 1:441.060. Artinya, satu kursi merepresentasikan lebih dari 400.000 pemilih.
Derajat representasi pemilih di Jabar 7 itu hampir sebanding dengan jumlah seluruh pemilih di dapil terkecil. Provinsi Kalimantan Utara memiliki 450.108 pemilih. Dengan alokasi tiga kursi DPR di dapil ini, dapat disimpulkan satu kursi DPR merepresentasikan sekitar 150.000 pemilih yang bermukim di Kalimantan Utara (Grafik 1).
Dari sisi beban penguasaan pemilih, kondisi itu membuat setiap calon anggota legislatif dihadapkan pada kondisi yang tidak sama. Pada dapil yang jumlah pemilihnya tergolong besar—sebagian besar terkonsentrasi di Pulau Jawa—penguasaan sebanyak mungkin pemilih jadi tujuan pemenangan. Sementara di dapil yang relatif kecil—umumnya di luar Pulau Jawa—sekalipun beban penguasaan pemilih tak besar, tapi memiliki persoalan lain yang juga tidak kalah sulit dihadapi.
Derajat partisipasi
Jumlah pemilih ataupun besaran derajat representasi pemilih belum cukup kuat untuk memetakan medan persaingan politik yang sesungguhnya. Besaran jumlah pemilih jadi semakin kuat jika ditautkan dengan derajat partisipasi pemilih di tiap-tiap dapil. Seperti juga jumlah pemilih, tingkat partisipasi pemilih beragam di tiap dapil. Hasil Pemilu 2014 menunjukkan, ada wilayah dengan partisipasi sangat tinggi, jauh di atas rata-rata nasional. Papua, misalnya, dengan sistem perwakilan (noken), wilayah ini partisipasi pemilihnya mencapai 95,14 persen. Dapil JawaTimur 11, terdiri dari seluruh kabupaten di Pulau Madura, tingkat partisipasi pemilihnya mencapai 87,70 persen. Begitu pula wilayah-wilayah di kawasan timur Indonesia, seperti Dapil Nusa Tenggara Timur 1, Gorontalo, Maluku Utara, dan Maluku, yang tergolong tinggi antusiasme para pemilihnya untuk menggunakan hak konstitusional mereka.
Kondisi sebaliknya terjadi di beberapa dapil, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Dapil Sumatera Utara 1 yang meliputi pemilih di Kota Medan, Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang, dan Serdang Bedagai menjadi wilayah yang pemilihnya paling kurang antusias. Hanya 58,4 persen pemilih menggunakan hak pilih mereka pada Pemilu 2014. Di Pulau Jawa, wilayah Jawa Barat 8 yang meliputi Kabupaten Indramayu dan Cirebon, serta Kota Cirebon juga tergolong rendah partisipasi pemilihnya.
Pertautan antara jumlah pemilih dan tingkat partisipasi pemilih mampu menempatkan keragaman kondisi di setiap kategori dapil. Pola hubungan antara jumlah pemilih dan tingkat partisipasinya dapat dipilah menjadi empat kategori wilayah dapil (Grafik 2).
Pertama, kelompok dapil yang jumlah pemilihnya di atas rata-rata dan di sisi lain juga memiliki tingkat partisipasi pemilih di atas rata-rata nasional. Daerah semacam ini menjadi wilayah politik paling berprospek. Dengan jumlah pemilih besar dan tergolong sangat antusias memilih, aktor politik relatif tidak kesulitan berkontestasi di wilayah ini.
Jika diinventarisasi, 17 dari 77 dapil (pada Pemilu 2014) yang dikaji masuk kelompok ini. Sebanyak 27,8 persen dari total pemilih di seluruh Indonesia bermukim di kelompok wilayah ini. Beberapa wilayah padat penduduk, seperti di Dapil Jawa Timur 11, Jawa Timur 8, Sumatera Utara 2, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat (sebelum dimekarkan menjadi dua dapil) masuk di dalamnya. Dari sisi partisipasi pemilih, wilayah-wilayah itu ada di atas rata-rata nasional. Wilayah ini menjadi model demokrasi partisipatif.
Kedua, kelompok dapil yang juga besar jumlah pemilihnya, tetapi diikuti partisipasi politik yang relatif rendah. Medan pertarungan penguasaan politik di wilayah demikian relatif berat sehingga bisa jadi hambatan bagi aktor politik ataupun kekuatan politik partai. Di satu sisi, jumlah pemilih yang banyak membuka peluang penguasaan suara yang besar. Namun, tingkat partisipasi yang rendah jadi penghambat dalam efisiensi penguasaan suara. Dalam kondisi itu diperlukan energi yang besar dari aktor politik ataupun parpol untuk membangkitkan antusiasme pemilih.
Di kelompok wilayah ini ada 21 dapil. Sebanyak 35,56 persen dari total pemilih nasional tinggal di wilayah ini. Sebagian besar berasal dari daerah pemilihan yang tersebar di Pulau Jawa, seperti Jawa Barat 2, Jawa Tengah 3, Jawa Timur 7, hingga DKI Jakarta 3.
Ketiga, merupakan kelompok dapil yang relatif rendah jumlah pemilihnya, tetapi pemilihnya memiliki tingkat antusiasme tinggi. Dengan kondisi ini, aktor politik atau parpol yang berkontestasi relatif diuntungkan oleh tingginya antusiasme memilih. Dari total pemilih nasional, 16,04 persen pemilih bermukim di 19 dapil yang menjadi bagian dari kelompok ini. Dapil Gorontalo, NTT I, Papua Barat, Maluku Utara, dan beberapa dapil di Sulawesi termasuk dalam wilayah yang partisipasi pemilihnya tinggi kendati jumlah pemilihnya rendah.
Keempat, merupakan dapil yang serba di bawah rata-rata. Dengan jumlah pemilih relatif lebih rendah dan diikuti antusiasme memilih yang juga rendah, kualitas demokrasi prosedural di wilayah ini jadi persoalan. Dalam strategi politik praktis, aktor politik ataupun parpol cenderung menjadikan wilayah ini sebagai medan pertarungan paling problematik.
Kelompok wilayah demikian terdiri dari 20 dapil dengan proporsi pemilih 20,1 persen dari jumlah pemilih nasional. Dapil yang masuk kategori ini, misalnya, Dapil Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, dan Banten I.
Pemilahan dapil dalam empat kelompok itu membentuk tipologi konfigurasi ruang persaingan aktor dan parpol dalam menguasai pemilih secara lebih efektif.