Berusia Seabad Lebih, Hukum Perdata Internasional Indonesia Perlu Diperbarui
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sangat memerlukan peraturan hukum perdata internasional atau HPI yang memadai dan sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam menangani perkara perdata lintas negara, pengadilan di Indonesia masih menggunakan aturan yang dibuat pada masa penjajahan Belanda yang berusia hampir dua abad.
Penyusunan Rancangan Undang-Undang HPI dimulai pada 1997, tetapi belum juga berhasil maju menjadi undang-undang hingga sekarang. Pada saat itu, interaksi antara warga negara Indonesia dan asing belum banyak sehingga kebutuhan memperbarui peraturan HPI belum terlalu mendesak.
Kini, dengan teknologi informasi dan transportasi yang terus berkembang pesat, interaksi antarwarga dari sejumlah negara semakin meningkat dan kompleks.
Kepala Seksi Hukum Perdata Internasional Kementerian Hukum dan HAM Dina Julian di Jakarta, Rabu (20/2/2019), mencontohkan berbagai isu HPI sehari-hari yang dihadapi WNI ataupun WNA dari dalam juga luar negeri. Isu itu tentang penanaman modal asing dalam pendirian perseroan terbatas, permasalahan pengurus yayasan yang melibatkan WNA, perkawinan, peralihan hak subyek WNA kepada WNI, penelantaran anak dalam perkawinan campuran, kepailitan, dan banyak hal lagi.
Menurut hasil diskusi di sejumlah wilayah pada Mei hingga Desember 2018, lebih dari 70 persen peserta menghadapi masalah kekosongan hukum dan kebingungan saat menghadapi masalah perdata yang mengandung unsur asing. Masalah itu di antaranya adalah pertimbangan hukum yang tidak valid atau tidak jelas, lamanya waktu negosiasi dan proses sidang, serta kesulitan mengambil keputusan karena tidak ada dasar hukum.
Selain itu, ada juga Kementerian Luar Negeri yang semakin banyak menerima permintaan bantuan teknis hukum perdata. Pada 2017, ada 1.757 total surat yang diterima Kemlu terkait isu itu. Jumlah itu dianggap cukup signifikan.
”Fakta ini harus menjadi alarm bagi kita. Isu hukum perdata yang melibatkan WNI dan WNA terus bermunculan. Tanpa ketentuan HPI yang memadai, Indonesia akan gagap menghadapi berbagai persoalan itu,” tutur Direktur Hukum dan Perjanjian Sosial Kementerian Luar Negeri Lefianna H Ferdinandus dalam kegiatan sarasehan tentang Pengembangan hukum perdata internasional Indonesia di Gedung Kemlu, Jakarta, Rabu.
Acara itu dibuka Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu Damos Dumoli Agusman dan dihadiri oleh dua guru besar hukum perdata internasional, yaitu Sunaryati Hartono dan Zulfa Djoko Basuki, serta akademisi dari sejumlah universitas di Indonesia, wakil-wakil instansi pemerintah, Mahkamah Agung dan pengadilan, para praktisi hukum, serta mahasiswa.
Peraturan Belanda
Hingga sekarang, penanganan kasus perdata lintas negara mengacu pada peraturan AB (Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonésie) oleh Belanda yang diresmikan pada 1847 dan terdiri dari 37 pasal.
”HPI Indonesia belum berkembang. Belanda, yang peraturannya kita pertahankan, telah memperbarui HPI dan kini terdiri dari 15 bab dan 165 pasal. Dari jumlah pasalnya, bisa dibayangkan betapa kompleksnya HPI,” kata Lefianna.
Ia melanjutkan, ”Indonesia perlu peraturan HPI yang mutakhir dan mampu merespons komoleksitas dari isu tersebut. Hal itu demi menciptakan kepastian hukum dan keadilan untuk WNI dan WNA terkait. Kita dapat merancang peraturan sendiri atau mengadopsi hukum internasional yang telah tersedia.”
Penanganan kasus pidana lintas negara sementara itu lebih maju dan sudah memiliki dasar hukum berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.
Kemlu dan MA
Pada 20 Februari 2018, Kemlu dan Mahkamah Agung menandatangani nota kesepahaman terkait masalah perdata lintas negara. Tepat setahun kemudian, keduanya menandatangani tiga perjanjian kerja sama (PKS) dalam menangani rogatori atau permintaan bantuan teknis hukum dalam masalah perdata. Ketiga PKS itu terkait prosedur operasional standar penanganan rogatori, format bukti penerimaan surat rogatori, dan penanganan permintaan rogatori dari pengadilan asing.
”Keberadaan nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama ini sangat penting bagi penyelenggaraan peradilan perdata di Indonesia. Pengadilan juga harus aktif mencari keadilan dan mengatasi hambatannya,” ujar panitera Mahkamah Agung, Made Rawa Aryawan.