JAKARTA, KOMPAS - Hak anak yang dalam posisi marjinal, baik oleh aspek kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik, wajib dipenuhi oleh segenap masyarakat. Tujuannya agar pendidikan menjadi inklusif kepada semua lapisan dan golongan masyarakat sehingga benar-benar bisa membangun bangsa.
"Tujuan Program Indonesia Pintar dan zonasi ialah memastikan semua anak usia sekolah bisa mengenyam pendidikan di sekolah yang paling dekat dengan tempat tinggal mereka. Terlepas kondisi fisik anak yang bersangkutan, tidak boleh ada yang menolak memberi pemenuhan hak pendidikan," kata Direktur Pembinaan Sekolah Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Khamim di Jakarta, Minggu (17/2/2019).
Ia merujuk kepada dua kasus, yaitu di Solo Jawa Tengah mengenai penolakan masyarakat, terutama orangtua siswa atas keberadaan 14 anak dengan HIV/Aids (ADHA) di SD negeri. Sebelumnya, ada 6 anak di Samosir, Sumatera Utara, yang mengalami kejadian serupa. Hal ini merupakan refleksi bahwa perlu kampanye dan advokasi lebih gencar mengenai pemenuhan standar sekolah inklusi.
"Kejadian ini tentunya membuat anak yang menjadi korban sedih dan trauma. Akan tetapi, kita harus memprioritaskan perlindungan dan pendidikan mereka," ujar Khamim.
Ia menjelaskan, untuk kedua kasus itu, sesuai dengan amanah Undang-Undang 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah kabupaten/kota wajib mencarikan solusi karena pendidikan tingkat SD dan SMP merupakan kewenangan daerah tingkat dua.
Kepala Dinas Pendidikan Solo Etty Retnowati mengatakan, 14 ADHA di Solo dipastikan bisa segera kembali bersekolah dalam waktu dekat. Saat ini tinggal menunggu proses pengurusan administrasi untuk pindah ke sekolah baru. "Masalah sudah selesai, sudah ada solusinya. Sekarang ini tinggal teknis administrasi,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Solo Etty Retnowati di Solo, Jawa Tengah, Senin (18/2/2019).
Proses administrasi yang kini sedang diselesaikan yaitu pencabutan berkas peserta didik untuk pindah sekolah. Pencabutan berkas ini dilakukan setelah ada kepastian kesediaan untuk pindah sekolah.
Etty mengatakan, ada sembilan sekolah dasar negeri dan swasta siap menerima anak-anak tersebut. Keberadaan sembilan SD itu tidak akan dipublikasikan untuk umum. Hal ini untuk menghindari berulangnya kejadian penolakan para orangtua siswa lain di sekolah yang baru.
“Sembilan sekolah itu sudah menyatakan siap, sekolah swasta juga antusias,” ujarnya.
Adapun untuk ADHA di Samosir, pemerintah setempat memutuskan memberi mereka pendidikan di rumah dengan bantuan tutor. Menurut Khamim, langkah ini diambil karena tidak mau berlarut memaksa sekolah untuk menerima anak-anak berkebutuhan khusus karena akan menimbulkan konflik. Prioritas tetap memberi anak-anak itu pendidikan, walaupun ada yang tidak bertempat di sekolah formal. Pendidikan khusus dan layanan khusus menjadi alternatif, padahal sesungguhnya anak-anak itu mampu menjalani pendidikan di sekolah formal.
"Di saat yang sama, ada pekerjaan rumah yang besar untuk mendidik masyarakat mengenai pendidikan inklusif. Kepala sekolah dan guru memahami hal ini. Namun, kenyataan di lapangan pemenuhan idealisme ini sering terkendala penolakan masyarakat yang sebenarnya belum memahami bahwa penyakit seperti HIV/Aids tidak menular melalui sentuhan ataupun makanan dan minuman," tutur Khamim.
Pendidikan inklusif berarti sekolah mampu menyediakan layanan kepada siswa dari semua golongan sosial dan ekonomi. Mereka juga bisa mendidik anak-anak dengan disabilitas ataupun kondisi kesehatan yang selama keterangan dan para dokter memang diperbolehkan bersekolah di sekolah formal.
Sekolah tidak bisa bekerja sendirian. Menurut dia, dinas pendidikan dan dinas kesehatan wajib menjalin kerja sama dengan komite sekolah dan komunitas-komunitas yang ada di masyarakat untuk menjelaskan mengenai pemenuhan pendidikan inklusif. Harus benar-benar ada advokasi yang rutin, terarah, dan terukur agar sekolah bisa dijamin menjadi tempat yang aman bagi semua anak.
Belum menyeluruh
Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta Sofia Hartati menerangkan bahwa belum semua kebijakan pendidikan di pusat dipahami sepenuhnya di daerah. Hal ini erat berkaitan dengan sosialisasi yang tidak sistematis atau pun melibatkan semua pihak.
"Pendidikan bukan sektor yang berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan segala aspek kehidupan masyarakat," ujarnya. Kepala daerah hendaknya menyadari bahwa pendidikan bukan eksklusif ditangani oleh dinas pendidikan. Seluruh sektor pemerintahan harus bisa memberi dukungan.