Konsistensi Jadi Tantangan Pemilahan Sampah di Depok
DEPOK, KOMPAS -- Menciptakan ekosistem masyarakat yang konsisten memilah dan mengolah sampah masih menjadi kendala pengolahan sampah di Kota Depok, Jawa Barat. Peran keluarga, masyarakat, dan pemerintah diperlukan agar kebiasaan memilah sampah dapat terinternalisasi dengan sempurna.
Meski belum begitu konsisten, sebagian masyarakat Depok sudah mulai memilah sampah. Mereka sudah tahu betul bahwa sampah organik harus diserahkan pada Unit Pengolahan Sampah (UPS), sampah anorganik harus mereka tabung di Bank Sampah, dan sampah residu mereka buang ke tempat pembungan sampah sementara (TPS) dan ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Di Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, mekanisme pemilahan sampah dari sumber sudah dilakukan lebih kurang empat tahun terakhir oleh warga di sekitar UPS Merdeka II. Meski awalnya petugas UPS sempat kesulitan mengedukasi masyarakat, pelan-pelan usaha mereka membuahkan hasil.
Ditemui, Senin (18/2/2019) di UPS Merdeka II, Koordinator UPS Merdeka II, Heriyanto mengatakan, dirinya rutin mengadakan sosialisasi dan pelatihan pemilahan sampah kepada masyarakat di lingkungan Kelurahan Abadijaya. Setidaknya dua kali dalam seminggu, Heriyanto melakukan kegiatan tersebut di lingkungan RT/RW di kelurahan Abadijaya, di sekolah-sekolah, hingga kantor-kantor instansi.
"Meski masyarakat mungkin sudah tahu kalau sampah itu harus dipilah, kami tetap memiliki tugas untuk mengingatkan kembali. Barangkali masyarakat perlu motivasi lebih untuk mau memilah sampahnya," ujar Heriyanto.
Hariyanto menuturkan, selain pemerintah dan pihak swasta, keluarga memegang peranan penting untuk menciptakan ekosistem pemilahan sampah sejak dari sumber. Untuk itu, dirinya tak pernah bosan melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Tidak hanya itu, Heriyanto juga selalu memberikan \'hadiah\' kepada masyarakat yang mau memilah sampah organik rumah tangga yang mereka dan mereka serahkan ke UPS Merdeka II. Sederhana saja, hadiahnya adalah sekarung pupuk kompos.
Heriyanto memaparkan, setiap harinya ada sekitar 2 ton sampah organik yang masuk dan diolah di UPS Merdeka II. Jumlah tersebut cukup signifikan untuk menekan jumlah sampah yang dibuang ke TPA Cipayung, Depok.
Secara terpisah, Selasa siang, Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (LHK) Kota Depok Iyay Gumilar mengatakan saat ini ada sekitar 1.230 ton sampah yang dihasilkan di Kota Depok setiap harinya. Dari jumlah tersebut 500-600 tonnya adalah sampah organik.
"Saat ini Kota Depok punya 30 UPS yang bisa mengolah sampah-sampah organik. Sedangkan, untuk mengolah sampah anorganik, Kota Depok punya sekitar 420 Bank Sampah dan 2 Bank Sampah Induk," kata Iyay.
Menurut Iyay, saat ini baru sekitar 20 persen warga Kota Depok yang memilah sampah. Jumlah ini menurut Iyay perlu terus ditambah untuk mengurangi beban TPA Cipayung yang saat ini sudah melebihi kapasitas.
Cara kreatif
Sementara itu, di Kelurahan Beji, Kecamatan Beji, Kota Depok, Isnarto, pengelola Bank Sampah Mentari menerapkan cara kreatif untuk membuat masyarakat \'konsisten\' memilah sampah. Selain mendirikan Bank Sampah Mentari yang saat ini memiliki 100 nasabah aktif, pada sekitar tahun 2009, Isnarto dan istrinya berinisiatif untuk mendirikan sebuah kelompok belajar yang kini berubah menjadi lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
PAUD yang akhirnya diberi nama PAUD Maskoki ini tergolong unik. Sebab, untuk bisa bersekolah di PAUD tersebut, para murid harus membayar dengan sampah anorganik.
"Kita memang tidak serta merta menggratiskan biaya sekolah. Selain wajib membawa sampah anorganik setiap Jumat, kami tetap menarik biaya sebesar Rp 30.000 setiap bulannya bagi siswa yang kemampuan finansial orang tuanya baik," tutur Pengelola Bank Sampah Mentari, Isnarto saat ditemui di Paud Maskoki Selasa pagi.
Adapun untuk siswa yang tidak mampu membayar Rp 30.000 per bulan diwajibkan membawa sampah anorganik lebih banyak.
Kategori sampah organik yang bisa digunakan untuk membayar biaya sekolah di PAUD tersebut adalah botol plastik, botol kaca, gelas plastik, kaleng, kardus, kertas, besi, aluminium, dan tembaga.
PAUD Maskoki sudah meluluskan hampir 400 siswa. Saat ini PAUD ini memiliki 50 siswa yang berasal dari lingkungan sekitar PAUD.
Ada lima guru yang mengajar di PAUD tersebut setiap harinya. Para guru ini digaji dengan uang bulanan yang ditarik dari orang tua siswa yang mampu serta hasil penjualan sampah yang dikumpulkan dari para siswa.
Bukan materi
Isnarto mengatakan, konsep Bank Sampah ini berbeda dengan sistem bisnis lapak sampah. Jika sistem lapak hanya membeli barang-barang yang nilai jualnya tinggi, bank sampah menerima seluruh sampah anorganik yang bernilai jual rendah, seperti kantong plastik.
Sejak awal membentuk Bank Sampah Mentari maupun PAUD Maskoki, Isnarto tidak pernah memikirkan besar kecilnya keuntungan materi. Isnarto mengaku cukup senang, dirinya bisa membantu masyarakat tidak mampu untuk bersekolah dan membantu masyarakat membentuk kebiasaan memilah sebelum membuang sampah.
"Kalau hitung-hitungan keuntungan mungkin bank sampah dan PAUD ini tidak akan bertahan hingga sejauh ini. Kami semua di sini prinsipnya adalah kerja sosial. Singkatnya bisnis sosial, lah," kata Isnarto.
Isnarto percaya, jika dilakukan di banyak tempat, gerakan-gerakan kecil semacam ini akan membawa perubahan besar untuk kelestarian lingkungan. Anak-anak yang bersekolah di PAUD ini dipilih sebagai agen pemilah sampah sebab mereka adalah masa depan bangsa.
Isnarto mengakui, selama ini memang masih ada beberapa tantangan untuk menginternalisasi nilai-nilai pemilahan sampah di benak anak-anak di PAUD ini. Sebab, ketika sudah di luar lingkungan sekolah tidak semua anak berada di lingkungan yang mendukung pemilahan sampah.
"Misalnya begini, di sekolah kami ajarkan untuk memilah sampah. Tetapi ketika sampai di lingkungan rumahnya, anak tersebut melihat orang lain buang sampah sembarangan. Hal-hal semacam itu yang merusak internalisasi nilai-nilai kecintaan anak terhadap lingkungan," kata Isnarto.
(KRISTI DWI UTAMI)