Penting, Integrasi LRT Jabodebek dan Angkutan Lain
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembangunan Light Rail Transit (LRT) di DKI Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi dinilai akan mengurangi kemacetan dan kerugian ekonomi akibat kepadatan lalu lintas. Namun, pembangunan LRT perlu memperhatikan sistem integrasi antarmoda agar masyarakat beralih dari kendaraan pribadi menggunakan transportasi publik.
Direktur Operasi II PT Adhi Karya Pundjung Setya Brata di Jakarta, Rabu (13/2/2019), mengatakan, total kerugian akibat kemacetan di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) sebesar Rp 65 triliun. Pembangunan LRT DKI Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodebek) bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi kemacetan sekaligus menekan potensi kerugian ekonomi yang terjadi.
“Pertimbangan pembangunan LRT Jabodebek karena pergerakan warga seperti di Bogor, Depok dan Bekasi yang masuk Jakarta sangat tinggi,” Kata Pundjung dalam diskusi dengan tema "LRT Jabodebek dan Sumsel untuk Siapa?" di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan survey Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek (BPTJ) 2015, sebanyak 425.000 warga Bogor dan Depok melaju ke DKI Jakarta setiap hari (31 persen). Adapun warga Bekasi yang masuk ke Jakarta setiap hari mencapai 571.000 orang (38 persen).
Sementara total kendaraan yang masuk ke Jakarta berjumlah 996.000 unit per hari. Hal ini yang membuat arus lalu lintas dari luar kota menuju Jakarta pada pagi hari dan sebaliknya pada sore hari sangat padat sehingga memicu kemacetan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Zulfikri mengatakan, pembangunan LRT dalam proses penyelesaian diperkirakan akan selesai April 2021. Semoga LRT akan cepat selesai dan memperpendek waktu tempuh.
“Saat ini progres dari proyek total jarak 81,6 kilometer, sudah mencapai 58 persen yang terdiri dari rute Cawang-Cibubur 78 persen dan Cawang-Bekasi Timur sudah 52 persen,” lanjut Zulfikri.
Pengamat tata kota, Nirwono Yoga, mengatakan, untuk menciptakan kesadaran menggunakan transportasi umum harus ada rencana induk yang dapat mengatur integritas dan interkoneksi antarmoda. Konsep ini harus disiapkan dari sekarang sehingga siap dijalankan saat infrastruktur baru selesai dibangun.
Menurutnya, sudah ada rencana pengembangan kota. Namun, belum ada keterpaduan pengembangan moda transportasi yang saling terintegrasi. Seharusnya transportasi mengikuti rencana pengembangan kota se-Jabodetabek, jika tidak pembangunan transportasi LRT atau MRT akan sia-sia
“Integrasi moda transportasi harus ditata ulang mulai dari sekarang, jangan tunggu saat LRT atau MRT selesai. Kita tidak bisa langsung tiba-tiba membangun LRT atau MRT begitu saja tanpa memperhatikan perputaran kegiatan di daerah,” katanya.
Pengelolaan keseluruhan
Saat ini, transportasi masal di Jabodetabek masih 19 persen. Sedangkan target tahun 2030 harus mencapai 60 persen. Nirwono mengatakan, dalam waktu sepuluh tahun harus mengejar 40 persen.
Menurut Nirwono, saat ini moda transportasi seperti bus kota, angkot, Transjakarta dan KRL belum terintegrasi dengan baik karena tidak ada pengelolaan satu pintu. PT Trans Jabodetabek harus mengelola secara keseluruhan sehingga tarif juga bisa terintegrasi.
“Tarif LRT Rp 12.000 harus dipikirkan karena, sistem transportasi tidak terintegrasi dengan moda transportasi lainnya. Tarif tersebut belum termasuk biaya bayar transportasi lainnya menuju stasiun LRT. Jika ditotal pengeluaran akan besar. Seharusnya pembayaran satu pintu dengan model satu integrasi moda transportasi,” ujarnya.
Menanggapi integrasi antar moda transportasi, Zulfikri mengatakan, LRT akan terintegrasi dengan beberapa daerah seperti di Dukuh Atas ada integrasi MRT, KCI, KA Bandara, dan Transjakarta. Sementara di Kampung Rambutan ada bus Intercity dan angkutan dalam kota. Dan daerah Cikoko, Pancoran, Kuningan, Rasuna Said, Setiabudi akan terintegrasi dengan Transjakarta. (AGUIDO ADRI)