Migrasi Ideologis Pemilih Jawa Tengah (I)
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190111RWN2_1547198500.jpg)
Posko Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi di Solo, Jawa Tengah, Jumat (11/1/2019.) Letak posko ini nyaris berhadapan dengan posko relawan TKN Jokowi -Ma\'ruf Amin, dan hanya beberapa ratus meter dari rumah kediaman pribadi Jokowi.
Keputusan Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo – Sandiaga Uno, Djoko Santoso untuk memindahkan pos pemenangan capres nomor urut 02 ke Jawa Tengah merupakan langkah taktis yang masih spekulatif. Bukan faktor sosok Jokowi saja yang bisa mematahkan kalkulasi BPN untuk merebut Jateng, tetapi karakter pemilih Jateng yang loyal kepada PDIP juga bisa menyulitkan BPN untuk memenangkan Prabowo – Sandi.
Motif pemindahan posko pemenangan Prabowo – Sandi dilandasi oleh semangat balas dendam atas kekalahan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2014 lalu. Kala itu, dukungan untuk Prabowo hanya separuh dari kekuatan Jokowi. Kali ini, tim pemenangan Prabowo – Sandi ingin merebut Jateng dengan mengadopsi strategi perang gerilya Jenderal Sudirman. Target utamanya adalah untuk memecah belah soliditas pemilih Jateng yang mayoritasnya adalah pendukung capres nomor urut 01 Jokowi – Ma’ruf Amin.
Konon, BPN berencana untuk mendirikan markas-markas pemenangan di 35 kabupaten /kota yang ada di seluruh Jateng. Namun, untuk tahap pertama baru 6 daerah yang akan direalisasikan. Hingga saat ini, sudah berdiri markas pemenangan Prabowo – Sandi di Kota Solo yang selama ini dikenal sebagai basis PDIP di Jateng, sekaligus kota kelahiran Jokowi dan kota yang menjadi debut politik Jokowi sebagai wali kota.
BPN berencana untuk mendirikan markas-markas pemenangan di 35 kabupaten /kota yang ada di seluruh Jateng.
Pendirian markas ini menunjukkan, BPN sudah berhitung dengan matang untuk bertarung secara frontal dengan sang petahana, langsung di daerah kelahirannya yang juga menjadi basis partai pengusungnya yaitu PDIP. Simbolisasi perlawanan terhadap Jokowi – dan PDIP – ini juga didorong oleh rasa percaya diri Partai Gerindra – dan koalisinya – atas peningkatan dukungan terhadap Sudirman Said – Ida Fauziyah dalam Pilgub Jateng 2018.
Pasangan Sudirman Said – Ida Fauziyah merupakan calon Gubernur Jateng yang menjadi penantang calon petahana, Ganjar Pranowo. Sudirman Said yang diusung oleh PKB, Gerindra, PAN, dan PKS ini sudah diprediksi kalah sejak awal. Selain minim popularitas, sosok Sudirman Said yang elitis dan birokratis tidak cocok dengan karakter masyarakat Jateng yang egaliter. Dukungan politik yang pas-pasan juga memperkuat prediksi kekalahan Sudirman – Ida.
Pasangan cagub nomor urut 2 ini memang kalah dalam pilgub. Namun, kekalahan tersebut membawa kejutan karena di luar dugaan pasangan ini berhasil mengatrol dukungan mereka hampir 4 kali lipat dibanding elektabilitas yang disigi oleh lembaga survei menjelang pelaksanaan pilgub. Hampir semua lembaga survei menempatkan elektabilitas Sudirman – Ida di bawah 15 persen. Litbang Kompas pun menempatkan elektabilitas pasangan ini hanya di angka 11 persen.
Hasil akhir KPU mencatat perolehan suara Sudirman Said – Ida Fauziyah sebanyak 7.267.993 suara atau 41,22 persen. Artinya, dalam waktu yang relatif singkat pasangan ini mampu menggerus suara pendukung petahana dengan proporsi yang signifikan, sehingga meningkat drastis ketika pemilihan berlangsung. Fakta ini menunjukkan adanya militansi kerja mesin politik parpol pengusung dalam menggerus suara lawan.
Keberhasilan ini menjadi salah satu motivasi BPN menempatkan pos pemenangan secara langsung ke jantung lawan, sebagai langkah utama untuk merebut kemenangan di Jateng. Pekerjaan besar berikutnya adalah menggeser preferensi pemilih Jateng yang sebagian besar hidup mereka sudah mendarahdaging dengan ideologi PDIP. Pertanyaannya, seberapa efektif pendirian markas pemenangan BPN Prabowo – Sandi mencabut loyalitas pemilih Jateng yang sudah mengakar kepada PDIP?
Pekerjaan berikutnya adalah menggeser preferensi pemilih Jateng yang sudah mendarahdaging dengan PDIP

Peta Ideologi
Pemetaan ideologi politik dan dinamikanya sejak Pemilu 1955 harus dilakukan untuk bisa memahami karakter politik masyarakat Jawa Tengah. Pemetaan tersebut bisa mengidentifikasi tingkat militansi dan loyalitas pemilih kepada ideologi tertentu dari tren pilihan partai yang dilakukan dari pemilu ke pemilu. Pilihan partai sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2014 menjadi basis ideologi tiap-tiap parpol yang bertarung di Jateng.
Pemilu 1955 akan menjadi peta dasar untuk membaca tren ideologi yang memengaruhi pilihan politik warga Jateng pada pemilu pertama tersebut. Ada 3 parpol yang menjadi pengumpul suara dan kursi di parlemen, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Nahdaltul Ulama (NU). Ketiga partai ini merupakan perwujudan dari ideologi nasionalisme, komunisme, dan Islam.
PNI merupakan partai pemenang terbesar di Jateng, disusul oleh PKI, lalu NU. PNI berhasil meraup kemenangan 56,3 persen atau menang di 18 daerah dari 32 kabupaten/kota. PKI unggul di 10 kabupaten/kota, sementara NU menang di Demak, Kudus, Jepara, dan Magelang dengan proporsi 12,5 persen. Peta kemenangan parpol ini menunjukkan, Pemilu 1955 merupakan momentum bagi (ideologi) nasionalisme untuk menanamkan pengaruhnya lebih dalam melalui kemenangan PNI.
Peta politik pascaPemilu 1955 menunjukkan konfigurasi pertarungan yang kuat dari ketiga ideologi tersebut. PNI dan PKI saling bersaing untuk mendominasi politik Jateng melalui isu pembagian tanah. Karakter pemilih kedua partai ini relatif sama karena berakar pada kelas sosial dan kultur yang sama. Sebaliknya, NU meskipun membawa bendera Islam, tampaknya miskin dengan isu-isu agama yang bisa menandingi perang program PNI dan PKI. Dalam pertarungan tersebut, NU memilih sikap defensif dan cenderung mempertahankan daerah yang menjadi basis politiknya.

Dari tahun 1955 hingga 1965 dan jelang Pemilu 1971, dinamika politik Jateng didominasi oleh pertarungan politik antara PNI dan PKI dalam menyebarkan pengaruh ideologi kepada rakyat melalui wacana pembagian tanah kepada rakyat. Dalam kurun waktu 16 tahun tersebut kedua partai saling serang, saling hasut, dan saling menjatuhkan. Pertarungan inilah yang membuat wilayah Jateng diidenttifikasi sebagai wilayah merah karena kedua partai ini sama-sama membawa panji politik berwarna merah.
Dinamika politik Jateng didominasi pertarungan politik PNI dan PKI dalam menyebarkan pengaruh ideologi
Ketika PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang pada 1966, peta politik Jateng juga mengalami perubahan secara perlahan. Pemilih PKI yang secara kultur dan kelas sosial beririsan dengan pemilih PNI tidak serta merta mengalihkan pilihan mereka kepada partai penguasa ini. Selain mendapat penolakan dari internal pengurus dan simpatisan PNI, jumlah simpatisan PKI sendiri tidak signifikan bagi PNI lantaran sudah berkurang karena dibantai oleh tentara.
Fakta inilah yang membuat PNI sangat percaya diri bisa memenangkan pemilu dengan basis pemilih yang diraih pada Pemilu 1955. Artinya, PNI Jateng tetap kuat untuk memenangkan pemilu meskipun tanpa tambahan dukungan dari PKI. Fakta ini menunjukkan bahwa PNI Jateng relatif bersih dari unsur atau anasir PKI ketika menghadapi Pemilu 1971. Pertanyaannya, ke manakah suara sisa-sisa simpatisan PKI pada Pemilu 1971?

Menteri Dalam Negeri Amir Machmud, selaku Ketua Lembaga Pemilu, Jumat (5/3/1971) mengadakan pertemuan dengan para wakil parpol-parpol Golkar di Gedung Departemen Dalam Negeri, membahas Daftar Calon Sementara Pemilu. Mendagri Amir Mahmud didampingi oleh Ketua Team Peneliti Kopkamtib, Majdjen Yoga Sugama.
Spektrum Ideologi
Peta politik Indonesia pasca-1965 menunjukkan penyempitan spektrum ideologi setelah PKI dibubarkan. Komunisme dinyatakan sebagai ideologi terlarang dan PKI sebagai perwujudan komunisme pun dinyatakan sebagai partai terlarang. Tersisihnya komunisme dari panggung politik Indonesia akhirnya hanya menyisakan nasionalisme dan Islam sebagai ideologi politik.
Bahkan, Islam pun yang eksis hanya kelompok tradisional, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), setelah kelompok Islam modern yang direpresentasikan oleh Partai Masjumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960.
Spektrum ideologi yang sudah menyempit tersebut kemudian diperkecil lagi oleh rezim Orde Baru dengan penyederhanaan partai politik sebelum Pemilu 1971 digelar. Jumlah peserta Pemilu 1955 yang diizinkan untuk ikut dalam pemilu yang akan diselenggarakan oleh Orde Baru hanya 9 partai. Orde Baru menambahkan Golongan Karya sebagai organisasi peserta pemilu, sehingga terdapat 10 peserta pemilu.
Peta politik di Jateng pun mengalami perubahan serupa. Pemilu 1971 memberi kemenangan yang luar biasa kepada Golkar di Jateng yang sebelumnya merupakan basis PNI. Sebagai pendatang baru, kemenangan Golkar di Jateng terbilang spektakuler karena mampu menumbangkan hegemoni PNI yang sudah menanamkan pengaruhnya sejak tahun 1946. Golkar mendominasi 88,6 persen atau menang di 31 dari 35 kabupaten/kota.
Kemenangan Golkar ini merepresentasikan pergeseran politik yang menyertai penyempitan spektrum ideologi. Sepuluh daerah yang menjadi basis kemenangan PKI pada Pemilu 1955 berhasil dikuasai oleh Golkar setelah partai berhaluan komunisme tersebut bubar. PNI sebagai pemenang Pemilu 1955 hanya mampu mempertahankan kemenangannya di 4 kabupaten, yaitu Purbalingga, Banjarnegara, Sragen, dan Karanganyar. Empat belas daerah kemenangan lainnya disapu bersih oleh Golkar.
Kemenangan mutlak Golkar pada Pemilu 1971 menandai munculnya sebuah kekuatan politik dominan yang mengerdilkan pengaruh ideologi yang sudah mapan di Jateng, yaitu nasionalisme dan Islam. Hegemoni Golkar kemudian semakin menjadi-jadi tatkala rezim Orde Baru memaksa fusi politik terhadap 9 parpol peserta Pemilu 1971.

Pada Januari 1973 lahir 2 partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI. PPP merupakan hasil fusi dari 4 partai Islam, yaitu NU, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Sedangkan PDI merupakan hasil fusi PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, dan Musyawarah Rakyat Banyak (Murba).
Hasil dari fusi ini jelas memperlemah kekuatan PNI lantaran peleburan ke dalam PDI kerap memicu terjadinya konflik internal antara PNI dengan unsur-unsur fusi yang lain. Selain faktor organisasional, melemahnya pengaruh PNI juga dipicu oleh tindakan represif pemerintah berupa intimidasi, ancaman, kekerasan, hingga diskriminasi sosial dan ekonomi kepada warga Jateng yang bersimpati kepada PNI. Tindakan serupa juga diduga kuat dilakukan oleh rezim Orde Baru kepada sisa-sisa simpatisan PKI yang bersimpati kepada PNI menjelang Pemilu 1971. (SULTANI/LITBANG KOMPAS) (BERSAMBUNG)

Pimpinan Partai Persatuan Pembangunan hari Sabtu menyampaikan maksud mencalonkan Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI kembali. Mereka diterima Kepala Negara di Bina Graha. Dari kiri: HMS Mintaredja SH, Rusli Halil, KH Maskur ( sedang salaman dengan Presiden) Moh. Gobel dan Ismail Hasan Metareum SH (belakang).