JAKARTA, KOMPAS — Data calon anggota legislatif eks napi kasus korupsi bertambah setelah sejumlah laporan dari daerah dan masyarakat sipil yang diterima Komisi Pemilihan Umum mengonfirmasi mengenai hal itu. KPU memperkirakan tambahan jumlah caleg yang merupakan bekas napi korupsi lebih dari 15 orang.
Penambahan jumlah caleg eks napi korupsi itu sedang divalidasi KPU sebelum diumumkan kembali pekan depan. Tambahan caleg bekas napi korupsi itu terus bergulir setelah KPU di kabupaten/kota menyisir kembali data diri para caleg yang didaftarkan berdasarkan dokumen yang diterima KPU daerah.
”Ada informasi yang kami terima dari kabupaten/kota, yang sebelumnya tidak kami terima saat pengumuman 49 nama caleg tersebut. Ternyata ada yang tertinggal. Terus terang saja kami belum punya data di kabupaten/kota dan provinsi sehingga yang dikumpulkan oleh teman-teman hanya dari biro teknis yang kami miliki saja. Karena sekarang ada beberapa tambahan, akan kami umumkan secepatnya,” kata anggota KPU, Ilham Saputra, Kamis (7/2/2019) di Jakarta.
Ilham menepis anggapan data tambahan itu muncul karena ketidaktelitian KPU dalam menyisir caleg-caleg bekas napi korupsi. Sejumlah persoalan teknis dihadapi KPU daerah dalam menyisir data para caleg, antara lain karena dokumen yang tidak lengkap atau belum dilaporkan, dan belum ada kepastian informasi putusan yang berkekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung (MA).
”Data tambahan ini wajar saja karena memang baru ada masukan-masukan dari daerah sehingga baru ketahuan. Harus diketahui pula seperti daerah-daerah di Papua, datanya tidak bisa kami dapatkan saat itu. Di pemberitaan ada yang menyebut sejumlah orang sebagai eks koruptor, tetapi belum diperoleh datanya apakah perkaranya telah inkracht. Di direktori putusan MA belum ada, begitu pula saat dicek di tahanan dan lembaga pemasyarakatan,” kata Ilham.
Merujuk data yang dirilis Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ada 14 caleg yang terlewat dari daftar caleg bekas napi korupsi yang diumumkan KPU pekan lalu. Keempat belas caleg itu terdiri dari 1 caleg DPRD provinsi, 10 caleg DPRD kabupaten, dan 3 caleg DPRD kota.
Dengan penambahan data berdasarkan kajian Perludem ini, total ada 63 caleg bekas napi korupsi. Rinciannya, 9 caleg Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 17 caleg DPRD provinsi, 29 caleg DPRD kabupaten, dan 8 caleg DPRD kota. Dari total 63 caleg bekas napi korupsi yang dirilis Perludem, lima orang adalah perempuan.
Menanggapi data Perludem, Ilham mengatakan, kemungkinan jumlah riil di lapangan setelah divalidasi KPU daerah akan lebih dari 14 orang. Pencocokan sedang dilakukan oleh KPU di daerah untuk memastikan data tambahan tersebut. ”Jumlah 14 orang itu dari Perludem, kemungkinan jumlah pastinya setelah kami cek bisa lebih besar dari itu,” katanya.
Ilham menuturkan, pihaknya tidak akan langsung mengumumkan nama-nama tambahan caleg bekas napi korupsi itu. KPU harus berhati-hati dalam mengumumkan nama caleg bekas napi korupsi. Sebab, jika seseorang ternyata tidak terbukti sebagai bekas napi dalam pengumuman KPU, lembaga penyelenggara pemilu itu bisa dikenai tuduhan pencemaran nama baik.
”Ini harus hati-hati sekali. Sekali lagi akan kami umumkan caleg bekas napi korupsi. Dari DPR RI tidak ada. Yang akan kami umumkan berasal dari DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten/kota. Saat ini masih dilakukan pencocokan data di daerah. Pada saatnya akan kami umumkan,” ujarnya.
Akses keterbukaan
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, masukan atau data baru tentang jumlah caleg bekas napi korupsi itu merupakan imbas positif dari keterbukaan yang dilakukan KPU sebelumnya dalam mengumumkan status caleg sebagai bekas napi korupsi.
Dengan adanya masukan dari publik itu, seharusnya KPU tidak lagi setengah-setengah atau ragu dalam membuka semua proses dan tahapan secara transparan, termasuk dengan membuka data caleg yang tidak bersedia membuka data diri atau curriculum vitae.
”Ketika masyarakat diberikan akses pada keterbukaan, mereka akan ikut andil dalam menjaga proses pemilu ini. Andil itu sudah dimulai ketika KPU mengumumkan caleg-caleg bekas napi korupsi. Masyarakat akhirnya ikut mencermati apakah ada data yang tercecer, dan apakah ada bekas terpidana yang tidak mengumumkan statusnya di depan publik, sehingga tidak memenui syarat sebagai caleg,” ujar Titi.
Upaya KPU untuk terbuka itu bukan berarti tanpa kritik. KPU diharapkan mampu menjamin data-datanya kredibel dan dikelola dengan profesional. Dengan demikian, masyarakat percaya bahwa pemilu dikelola dengan profesional oleh penyelenggara pemilu.
”Data itu harus terus dimutakhirkan secara berkala, dan dokumen-dokumen harus dicek validitasnya. Oleh karena itu, pada hari-H (pemungutan suara) sebaiknya nama-nama itu diumumkan di TPS agar publik yang tidak terpapar informasi tentang data tambahan caleg bekas napi korupsi bisa mendapatkan informasi tersebut,” kata Titi.
Sementara itu, dalam diskusi di Kantor KPU, kemarin, Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat RI Hendra J Kede mengatakan, ketertutupan merusak demokrasi dan membenihkan prasangka pada rezim penguasa. KPU sebagai badan publik punya kewajiban untuk membuka informasi yang menjadi hak publik.