Ketika Pelunasan Tagihan Air Lebih Penting Dibanding Makan
Bermukim di Cilincing, Jakarta Utara, dan hidup dalam keterbatasan ekonomi, memaksa Wastiah (62) mengutamakan membayar tagihan air PAM Jaya dibandingkan memenuhi kebutuhan makan. Cedera di pangkal paha kiri telah melemahkannya selama hampir setahun ini. Wastiah tak bisa lagi bekerja sebagai juru masak.
“Enggak, enggak pernah nunggak. Selalu dibayar. Tagihannya Rp 70.000 per bulan. Kan satu kubiknya, saya kena sekitar Rp 7.000. Kalau nunggak, bisa dicabut (jaringan air PAM Jaya). Nanti susah lagi dapat air (bersih),” kata Wastiah, sambil menunjukkan lembar tagihan air yang diterbitkan PT Aetra, mitra swasta PAM Jaya, saat pertengahan Desember lalu.
Kekhawatiran akan kesulitan memperoleh air bersih ini sudah lama menjadi isu utama bagi warga pesisir Jakarta Utara, seperti yang dialami Wastiah. Sudah puluhan tahun lamanya air tanah di kawasan Jakarta Utara tak layak dikonsumsi karena terasa payau akibat intrusi air laut ke daratan.
Selama bertahun-tahun, sebagian besar warga di kawasan itu hanya dapat memenuhi kebutuhan air bersih yang dijual dalam jeriken yang diangkut dengan gerobak dan dijajakan pedagang dengan berkeliling dari kampung ke kampung.
Baru belakangan, setahun terakhir ini, jaringan air perpipaan Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya), yang didukung dua mitra swastanya PT Aetra dan PT Palyja, mulai menjangkau permukiman di pesisir Jakarta Utara.
Bahkan jaringan perpipaan telah menjangkau rumah petak berukuran 2,5 meter kali 6 meter persegi yang ditempati Wastiah, di salah satu gang sempit di sekitar pantai Cilincing. Tempat tinggal Wastiah berada di balik areal pembelahan kapal, hanya 300 meter dari bibir pantai, yang selama ini tak terjangkau oleh perpipaan.
Wastiah pun mengenang saat dia masih menggunakan air bersih yang dijajakan dalam jeriken. Dia harus mengeluarkan biaya lumayan besar, setidaknya Rp 300.000 per bulan untuk membeli air. Setiap kali membeli, dia harus mengeluarkan biaya Rp 20.000 untuk memperoleh 6 jeriken air dengan total volume sekitar 200 liter .
Kekhawatiran akan kesulitan memperoleh air bersih ini sudah lama menjadi isu utama bagi warga pesisir Jakarta Utara.
Air itu digunakan Wastiah untuk memenuhi kebutuhan air bersih keluarganya sehari-hari, baik untuk untuk mandi, mencuci, memasak, hingga minum. Di rumahnya, air bersih itu digunakan Wastiah bersama suaminya dan seorang cucu. “Dulu, beli air gerobak Rp 20.000. Enggak sampai 2 hari sudah habis,” katanya.
Saking beratnya beban memenuhi kebutuhan air bersih, apalagi saat itu Wastiah menjadi tulang punggung keluarga dengan penghasilan Rp 1,5 juta per bulan sebagai juru masak, Wastiah pun hanya bisa berharap satu waktu bisa memasang jaringan PAM Jaya di rumahnya.
“Ya Allah, kapan yah bisa pasang (jaringan air PAM Jaya),” ucapnya mengenang kesulitannya memperoleh air bersih dengan harga terjangka saat itu.
Beruntung ada kerabatnya yang memberikan bantuan dana Rp 2 juta untuk memasang jaringan air perpipaan. Tanpa banyak pertimbangan, Wastiah menerima bantuan itu. Dengan dana bantuan dari kerabatnya itu, hampir setahun lalu dia memasang jaringan PAM, dan sejak itu rumahnya teraliri air bersih dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan air gerobak.
Sejak menggunakan air perpipaan, Wastiah cukup mengeluarkan biaya sekitar Rp 70.000 untuk 11 kubik air atau setara dengan 11.000 liter air. Sementara saat masih membeli air jeriken, dia harus mengeluarkan biaya hingga Rp 300.000 per bulan, dan volume air yang diperoleh pun sekitar 3.000 liter.
Saat malang tak dapat ditolak, ketika 7 bulan lalu terpeleset dan mengakibatkan pangkal paha kirinya cedera, Wastiah pun masih bersyukur karena kebutuhan air bersih sudah bisa dipenuhi dari jaringan perpipaan dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan air jeriken.
Sejak mengalami cedera, Wastiah tak lagi mampu bekerja. Jika berjalan kaki, dia harus dipapah atau menyanggah tubuhnya dengan tongkat. Sementara sang suami, Noin Ependi (68), juga sudah tak mampu lagi bekerja karena kemampuan penglihatannya sudah berkurang.
“Sebelumnya, suami saya kerjanya sopir. Tapi penglihatannya semakin berkurang. Berbahaya kalau memaksakan tetap bekerja sebagai sopir,” ucap Wastiah.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Wastiah hanya bisa mengandalkan sumbangan dari 4 anaknya. Itu pun tak besar. Jika ditotal, jumlahnya kurang dari Rp 300.000 per bulan. Meskipun sudah mandiri, anak-anaknya hanya bekerja sebagai buruh dengan pendapatan terbatas.
Baca juga : Kali Malang Terjerat Limbah Domestik
Uang sumbangan anak-anaknya itu selalu diprioritaskan oleh Wastiah untuk membayar tagihan air PAM Jaya setiap bulannya sebesar Rp 70.000. Menurutnya, pelunasan tagihan air itu lebih penting karena di Cilincing tak tersedia alternatif lain untuk memperoleh air bersih dengan harga lebih murah dibandingkan air perpipaan.
“Sisanya (uang sumbangan dari anak-anak) yah nggak cukup buat makan sebulan. Tapi kan kadang ada tetangga yang kasihan, ikut bantu kasih makanan ke kami,” ucapnya.
Pelunasan tagihan air itu lebih penting karena di Cilincing tak tersedia alternatif lain untuk memperoleh air bersih dengan harga lebih murah dibandingkan air perpipaan.
Di ujung barat Jakarta Utara, persisnya di Rumah Susun Sederhana Sewa Penjaringan atau Rusunawa Tana Merah, Awan (51) sudah 2 tahun ini dapat mengurangi anggaran untuk memenuhi tagihan air.
Selama bermukim di area permukiman kumuh yang menempati tanah garapan di Muara Baru, Penjaringan, Awan harus mengeluarkan dana Rp 700.000 untuk memenuhi kebutuhan air. Selama bermukim di sana, kebutuhan air hanya dapat dipenuhi dari air jeriken atau drum yang dijajakan keliling dengan gerobak. Satu drum isi sekitar 200 liter dia beli seharga Rp 20.000.
Namun sejak bermukim di rusunawa, Awan menggunakan air perpipaan yang menjadi satu kesatuan dengan layanan rusunawa. Tagihan air itu dibayar bersama biaya sewa unit rusunawa. Awan mengaku, biaya tagihan sewa unit ditambah tagihan air yang dibayar setiap bulan, itu tak lebih dari Rp 500.000. “Semuanya jauh lebih murah di rusunawa ini,” ucap Awan.
Awan mengaku cukup banyak menggunakan air karena sehari-hari dia harus memasak dan membuat minuman untuk dijajakan di warungnya. Dia juga menyediakan jasa katering sehingga membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk memasak. “Lumayan sih pakai PAM, jauh lebih murah dibandingkan air jeriken,” ucapnya.
Hanya, kata Awan, jika kemarau biasanya air perpipaan di unitnya kerap kali tersendat. Suplai air perpipaan jadi berkurang, sehingga dia harus membeli air jeriken untuk menambah cadangan air untuk memasak. “Tapi bagi saya tidak masalah, yang penting tetap bisa menjalankan usaha,” tuturnya.
Saking terbatasnya alternatif untuk memperoleh air bersih di Jakarta Utara, sebagian warga memang cenderung bersikap memaklumi segala kekurangan yang ada pada layanan maupun kualitas air perpipaan, termasuk Awan. “Sejauh ini tidak masalah juga dengan air PAM,” kata Awan.
Lain halnya dengan Sumiharja (60), warga Koja, Jakarta Utara. Pensiunan imigrasi ini mempertanyakan kualitas air baku yang diolah untuk dijadikan air bersih dan didistribusikan sebagai air perpipaan. Pasalnya dia mengetahui, air baku yang digunakan PAM Jaya berasal dari saluran terbuka seperti Kalimalang dan juga Kali Ciliwung.
“Kebayang tidak, bangkai tikus, sampah, ada di saluran air itu. Kemudian airnya dipakai untuk dijadikan air bersih,” tutur Sumiharja.
Sumiharja mengaku selama ini dia memang tak pernah mengalami gangguan kesehatan dengan mengonsumsi air perpipaan. Hanya dia meragukan kualitas air baku yang digunakan untuk air perpipaan tersebut. “Kalau bisa jangan pakai air kotor deh,” ucapnya.
Baca juga : Air Baku Tarum Barat Kian Tercemar
Tak hanya menimbulkan kekhawatiran, air baku yang berkualitas buruk juga dapat menurunkan kapasitas produksi. Seperti diungkapkan Manajer Instalasi Pengolahan Air PT Aetra, Destriaji Herjun Permadi, pihaknya pernah harus mengurangi kapasitas produksi air hingga 20 persen sebelum tahun 2015 lalu lantaran kualitas air baku dari Kalimalang sangat buruk dan keruh. Hal itu menyebabkan suplai air bersih ke pelanggan air perpipaan pun berkurang.
Ahli teknik lingkungan Institut Teknologi Bandung, Rofiq Iqbal pun mengungkapkan, konsekuensi air baku yang kualitasnya buruk sudah pasti proses produksinya memakan waktu lebih lama dan biaya lebih banyak.
Sebaliknya jika kualitasnya baik, biaya produksi akan lebih murah, dan produksi air bersih pun tak terhambat. Bahkan, jika air bakunya bersih, itu bisa membuat kapasitas produksi terus ditingkatkan, sehingga suplai air bersih ke warga bisa lancar.
“Jika air bakunya berkualitas baik, proses pengolahan pun tidak perlu waktu lama. Kapasitas produksi bisa ditingkatkan,” jelasnya.
Pada akhirnya air baku yang berkualitas baik tak hanya dapat memenuhi standar air baku yang layak diproses menjadi air bersih. Namun air baku yang bersih juga dapat meningkatkan kapasitas produksi, yang pada akhirnya dapat memenuhi kebutuhan air bersih warga Ibu Kota, seperti halnya Wastiah yang sudah taat memenuhi kewajibannya membayar tagihan air perpipaan. (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/HELENA NABABAN)