Mencegah Eksploitasi Seks Komersial dari Tingkat Desa
Pariwisata merupakan salah satu sektor kekuatan ekonomi masyarakat di daerah-daerah yang menjadi destinasi wisata. Pariwisata juga membuka interaksi masyarakat lokal dengan masyarakat luar, baik wisatawan dalam negeri maupun luar negeri.
Namun jika tidak waspada, pariwisata bisa menjadi pintu masuk terjadinya kekerasan terhadap anak-anak, terutama eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Jika masyarakat dan pemerintah setempat tidak diberi pemahaman yang cukup tentang ancaman tersebut, masa depan anak-anak di kawasan wisata bisa menjadi korban.
Di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, ancaman terhadap anak-anak sudah terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, di pulau yang terkenal sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia, sejumlah anak menjadi korban eksploitasi seksual komersial anak. Modusnya beragam, mulai dari pelibatan anak di atraksi-atraksi pariwisata yang berujung pada pelecehan seksual, kekerasan seksual, prostitusi terselubung, hingga TPPO.
Akhir 2017, seorang anak perempuan berusia 17 tahun di Desa Waja Gesang, Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah hampir menjadi korban TPPO. Korban awalnya tinggal bersama ayahnya karena sang ibunya menjadi pekerja migran di Malaysia. Namun ayahnya meninggal, lalu ibunya datang dari Malaysia. Dari situlah calo beraksi, menawarkan pekerjaan untuk anaknya di luar negeri.
Akhir 2017, seorang anak perempuan berusia 17 tahun di Desa Waja Gesang, Kecamatan Kopang, Kabupaten Lombok Tengah hampir menjadi korban TPPO.
Korban lalu dibawa calo keluar dari desanya. Kondisi tersebut di ketahui Lembaga Perlindungan Anak Desa (LPAD) setempat, bersama lembaga swadaya masyarakat Galang Anak Semesta (Gagas). Melalui ibu korban, mereka mendapatkan kontak calo dan meminta anak itu dikembalikan.
“Setelah diancam akan dilaporkan ke kepolisian, calo bersedia mengembalikan anak itu dengan meminta ganti rugi. Anak itu akhirnya dikembalikan ke desa, lewat perantara yang langsung menghilang,” ujar Abdan Syakur, anggota Divisi Pendampingan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yayasan Galang Anak Semesta (Gagas) Lombok, Rabu (23/1/2019), di Kota Mataram, NTB.
Upaya melindungi dan mencegah anak menjadi korban eksploitasi seksual komersial yang dilakukan Yayasan Gagas dan LPAD tersebut merupakan bagian dari program Yayasan Plan Internasional Indonesia (YPII) melalui Program Down to Zero (DtZ), yang dilaksanakan di NTB sejak 2016.
Selama proyek DtZ dilaksanakan pada 2016 -2018 setidaknya dari 1.345 anak-anak yang didampingi ada 16 anak yang menjadi korban eksploitasi seksual komersial dan 1.329 anak rentan mengalami eksploitasi seksual komersial. Sebanyak 16 kasus tersebut terjadi di Kabupaten Lombok Barat.
Proyek DtZ akan berlangsung hingga 2020 di Kabupaten Lombok Tengah (Desa Kuta dan Rembitan, Kecamatan Pujut dan Desa Waja Gesang, Kecamatan Kopang) dan Kabupaten Lombok Barat (Desa Batu Layar Barat, Sengigi, dan Senteluk, Kecamatan Batu Layar). Awalnya proyek DtZ masuk di tiga desa, yakni di Kuta, Waja Gesang, dan Batu Layar Barat.
“Sangat sulit masuk ke masyarakat, terutama di Lombok Tengah karena yang kami bawa isu ESKA. Di NTB tidak ada yang akan mengakui satu wilayah pun ada ESKA karena ini wilayah religius dengan kearifan lokal yang sangat tinggi. Eksploitasi seks komersial adalah isu yang sangat sensitif pada waktu kami mulai program DtZ. Di Senggigi agak bisa menerima karena mereka di daerah perkotaan,” ujar Abdan yang juga Koordinator Proyek DtZ di NTB.
Membentuk LPAD
Belakangan ketika ada kasus-kasus yang terungkap, masyarakat dan pemerintah setempat pun mulai peduli. Dalam program DtZ, Gagas mendekati pemerintah desa dan tokoh kunci, melakukan penguatan kapasitas, dan mendorong lahirnya Lembaga Perlindungan Anak Desa (LPAD). Alhasil, di desa-desa tempat proyek Dtz terbentuk LPAD yang anggotanya dari perwakilan masyarakat, seperti guru, tokoh agama, tokoh adat, pemimpin di desa, ibu rumah tangga, bidan, petugas kesehatan, pemimpin pemuda, serta perwakilan dari forum/sanggar anak.
Lembaga Perlindungan Anak Desa memiliki kekuatan di masyarakat karena dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Desa, dan operasionalnya mendapat alokasi anggaran dari Dana Desa. Kehadiran LPAD membawa pengaruh besar di masyarakat. Salah satu contoh adalah LPAD Kuta. Semenjak terbentuk, lembaga yang berada di kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika ini menangani berbagai kasus yang terkait dengan anak, terutama pencegahan perkawinan anak.
Ketua LPAD Kuta TGH Lalu Abussulkhi Khairi, mengatakan, hingga kini tidak mudah mencegah perkawinan anak karena budaya kawin lari (merariq kodeq) masih langgeng di desanya. Beberapa kali terjadi kawin lari yang perempuannya masih berusia di bawah umur. Sehari setelah kawin lari, sebelum proses adat dilakukan, LPAD masuk dan meminta tidak diteruskan perkawinan itu. Namun, kenyataannya tidak semudah itu.
Hingga kini tidak mudah mencegah perkawinan anak karena budaya kawin lari (merariq kodeq) masih langgeng.
Dalam beberapa kasus yang ditangani, keluarga bersikeras mengawinkan anak mereka. Tapi ada juga, ketika orangtuanya ingin membatalkan perkawinan itu, si anak perempuan justru ngotot ingin tetap menikah.
“Seminggu setelah LPAD terbentuk, kami sudah tangani anak perempuan kelas II SMA kawin lari dengan pasangan yang jauh lebih tua umurnya. Sampai saat ini, kami sudah mencegah 17 kasus perkawinan anak,” ujar Abussulkhi Khairi.
Meski belum semua berhasil, setidaknya pencegahan perkawinan anak bisa dilakukan melalui LPAD. “Kami ingin bersama-sama masyarakat mencegah ESKA, agar jangan sampai industri pariwisata yang baru tumbuh ada dampak negatifnya,” ujar Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif YPII.
Menurut Fitri Noviana, Manager Proyek Down to Zero dari YPII, fokus program DtZ di empat sektor, yakni anak-anak dan korban ESKA, komunitas masyarakat (keluarga), pemerintah dan aparat penegak hukum, dan kalangan swasta (pemilik hotel/homestay/kafe). Advokasi ESKA juga didukung Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) yang mengelola kawasan wisata Mandalika.
Istilah ESKA hingga kini belum terlalu dikenal masyarakat. Menurut Konvensi ILO Nomor 182/1999 ada tiga bentuk ESKA, yakni prostitusi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, dan pornografi anak.
Keberadaan ESKA sangat beragam, mulai dari tempat prostitusi, panti pijat, penginapan, bar/pub, di jalanan, hingga di lokasi-lokasi wisata dan tempat lain. ESKA juga memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan media sosial.
Faktor tradisi
Mengapa terjadi ESKA? Penyebabnya ada banyak faktor. Hasil Analisa Situasi Hak Anak (ASHA) YPII dan Gagas pada Oktober 2016 menunjukkan bahwa di Lombok, praktik perkawinan anak merupakan salah satu pintu masuk ESKA.
Di Lombok, praktik perkawinan anak merupakan salah satu pintu masuk eksploitasi seksual komersial anak.
Tradisi kawin lari yang hingga kini hidup di tengah masyarakat, membuat banyak anak menikah, tetapi kemudian mudah bercerai karena belum siap membina rumah tangga. Beberapa anak perempuan sudah memiliki anak meskipun dia sendiri masih anak-anak, atau menjadi janda di usia anak-anak.
Kondisi tersebut diakui oleh Sekretaris Desa Kuta Mardan dan Ketua BPD Kuta M Saparudin. “Budaya kawin lari masih sangat kental. Di masyarakat, berapa pun umurnya kalau sudah kawin lari, ya kawin sudah. Inilah yang mau kita ubah, dan perlahan-lahan mulai ada titik terang. Kalau ada yang mau kawin, kami coba pisahkan, meskipun orangtuanya sering tidak mau karena alasan malu,” ujar Mardan.
ESKA sulit terungkap karena dianggap wilayah tersembunyi, bahkan tidak ada data pasti berapa anak-anak yang menjadi korban ESKA. Sementara, pemerintah dan masyarakat sendiri tidak menyadari ESKA adalah ancaman bagi anak-anak.