Penuhi Hak Pemilih, KPU Perlu Buka Nama Caleg Tersangka Korupsi
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Hak pemilih untuk mendapatkan informasi rekam jejak calon legislatif harus dipenuhi. Salah satunya dengan mengumumkan nama mereka yang sedang menjalani proses pengadilan atau menjadi menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Para caleg tersebut berpotensi tidak dapat melakukan tugas dan kewajibannya apabila kelak terpilih.
Di samping 49 nama-nama mantan narapidana tindak pidana korupsi, sejumlah tersangka korupsi juga masuk dalam daftar calon legislatif tetap (DCT) Pemilu 2019. Beberapa dari mereka bahkan kini berada dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Contohnya, Wakil Ketua DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) Taufik Kurniawan yang akan maju sebagai caleg PAN dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Tengah VII (Banjarnegara, Purbalingga, dan Kebumen), sudah ditetapkan menjadi tersangka korupsi oleh KPK pada akhir Oktober 2018.
Selain itu, sebanyak 12 anggota DPRD Kota Malang yang terkena kasus korupsi dana pembahasan APBD-P 2015 juga telah ditetapkan sebagai caleg DPRD Kota Malang.
Caleg-caleg ini antara lain, Een Ambarsari dari Partai Gerindra yang maju dari dapil Malang IV dan Harun Prasojo dari Partai Amanat Nasional yang juga maju di dapil yang sama. Selain itu, juga ada Afdhal Fauza dari Hanura, caleg dapil Malang I.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini pada Sabtu (2/2/2019) mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat didorong untuk mengumumkan nama-nama para caleg yang berstatus tersangka korupsi kepada publik.
Terlebih lagi, Titi mengungkapkan, berdasarkan data hasil penelitian Perludem, ada sekitar 2.100 caleg DPR-RI yang tidak membuka profilnya.
“Itulah pentingnya menurunkan secara lebih konkret asas penyelenggaraan pemilu yang terbuka dengan membuka masalah hukum para calon. Karena hak publik atas rekam jejak itu adalah keniscayaan,” kata Titi.
Titi menilai, partai politik juga harus didorong untuk beritikad baik memberitahu konstituen mereka mengenai rekam jejak para calegnya. Bukannya membiarkan para caleg untuk tidak membuka profil mereka.
Pengumuman ini menjadi penting, sebab pemilih dihadapkan pada risiko bahwa aspirasi dan suara mereka tidak dapat diwujudkan oleh sang caleg tersangka. Terlebih lagi, setiap tersangka kasus korupsi yang ditangani KPK, sudah hampir pasti statusnya akan ditingkatkan menjadi terdakwa mengingat KPK tidak berwenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Partai politik harus didorong untuk beritikad baik memberitahu konstituen mereka mengenai rekam jejak para calegnya
Apabila caleg terpilih ini ditetapkan sebagai terdakwa setelah ia terpilih dan dilantik, tugasnya untuk mewakili aspirasi rakyat tidak dapat dijalankan. Kerja-kerja legislatif dan penyaluran aspirasi ini juga dapat terganggu dengan adanya proses pemanggilan antarwaktu (PAW) yang harus dilakukan oleh partai politik terhadap wakilnya yang menjadi terdakwa kasus korupsi.
"Kalau ada pilihan yang tidak bermasalah secara hukum mengapa harus memilih yang bermasalah dan membawa risiko suara kita sia-sia? Pemilih harus cermat, peduli, dan meluangkan waktu dalam mencermati caleg yang akan mereka pilih nanti," kata Titi.
Kalau ada pilihan yang tidak bermasalah secara hukum, mengapa harus memilih yang bermasalah dan membawa risiko suara kita sia-sia?
Pelantikan anggota legislatif yang kelak menjadi terdakwa pun menimbulkan kerugian keuangan negara. “Dana negara yang sudah dikeluarkan untuk menyelenggarakan kontestasi mencari wakil rakyat ini menjadi sia-sia,” kata Titi.
Titi mengusulkan, KPU dapat bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengumumkan status hukum para caleg tersangka dengan dasar Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti mengatakan, pada dasarnya, status hukum seseorang merupakan sebuah fakta yang dapat diungkapkan ke publik. Hal ini tidak melanggar asas praduga tak bersalah yang dimiliki oleh yang bersangkutan.
“Kalau KPU mau mengumumkan nama mereka seperti pada persoalan caleg napi korupsi, saya kira bisa saja,” kata Bivitri.
Sehingga dapat dipahami, terbukanya informasi ini bergantung pada upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan media. “Kalau hanya mengumumkan fakta, itu terlindungi dari tindakan perlawanan dari caleg tersebut. Mestinya tidak menjadi masalah kalau hanya mengungkapkan fakta bahwa (caleg) itu sedang ditahan karena sebuah kasus,” kata Bivitri.
Terkait caleg yang tersangkut kasus korupsi, Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno mengatakan, pihaknya baru akan mengambil sanksi yang tegas apabila kasus korupsi tersebut sudah diputus bersalah oleh pengadilan.
“Tidak ada toleransi untuk korupsi, apabila itu sudah terbukti dan diputus oleh pengadilan, tentu kami akan berikan sanksi yang tegas dan dapat berujung pada pemecatan,” kata Eddy.
Pandangan yang serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Menurut dia, proses hukum, asas sama di mata hukum, dan asas praduga tidak bersalah harus dihargai.
“Proses hukum harus dihargai hingga putusan pengadilan itu jelas dan inkracht (berkekuatan hukum tetap). Kalau sudah (inkracht), ya saya kira harus ada tindakan. Kalau masih tersangka ya bagaimana. Lagipula, tidak ada di (partai) kami (tersangka korupsi),” kata Fadli.