Pengembangan Akademi Komunitas Terkendala Masalah Kewenangan
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menyatakan, pengembangan akademi komunitas di berbagai daerah di Indonesia terkendala masalah kewenangan dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan pendidikan tinggi ada di pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak berani mengembangkan akademi komunitas yang merupakan bagian dari pendidikan tinggi.
Oleh
Haris Firdaus
·4 menit baca
BANTUL, KOMPAS – Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menyatakan, pengembangan akademi komunitas di berbagai daerah di Indonesia terkendala masalah kewenangan dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan pendidikan tinggi ada di pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak berani mengembangkan akademi komunitas yang merupakan bagian dari pendidikan tinggi.
“Akademi komunitas yang ada di daerah banyak yang tidak jalan,” kata Nasir seusai penandatanganan nota kesepahaman dan peresmian gedung Akademi Komunitas Seni dan Budaya Yogyakarta di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (2/1/2019) sore.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, akademi komunitas merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan diploma dua dalam satu atau beberapa cabang ilmu pengetahuan dan teknologi tertentu yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.
Nasir menuturkan, karena UU Pemerintahan Daerah menyatakan pengelolaan pendidikan tinggi merupakan kewenangan pemerintah pusat, maka seluruh aspek terkait pendidikan tinggi, termasuk akademi komunitas, dianggap jadi tanggung jawab pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah daerah tidak berani melakukan pengembangan akademi komunitas dan mengalokasikan anggaran untuk lembaga tersebut.
“UU Nomor 23 Tahun 2014 itu mengatur pendidikan tinggi menjadi kewenangan pusat. Dengan adanya UU ini, semua dianggap kewenangan pusat sehingga akademi komunitas yang ada di daerah jadi macet. Ada sekitar 73 akademi komunitas yang ada, yang jalan hanya delapan atau tujuh,” ujar Nasir.
Padahal, menurut Nasir, pemerintah daerah tetap bisa ikut mengelola pendidikan tinggi, termasuk akademi komunitas. Dia menambahkan, dalam pengelolaan pendidikan tinggi, pemerintah pusat memang mengurus beberapa aspek, misalnya terkait regulasi, kurikulum, dan perekrutan dosen. Adapun pengelolaan teknis lembaga pendidikan tinggi, termasuk akademi komunitas, bisa dilakukan oleh pemerintah daerah.
“Pengelolaannya, bisa di daerah,” katanya.
Oleh karena itu, Nasir menyatakan, pemerintah daerah tidak perlu khawatir untuk mengembangkan dan mengelola akademi komunitas. Apalagi, akademi komunitas bisa dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing daerah.
“Saya rasa enggak ada masalah, sepanjang pengelolaannya benar,” tuturnya.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, Akademi Komunitas Seni dan Budaya Yogyakarta diharapkan bisa menjadi lembaga pendidikan dan pengembangan seni berbasis budaya lokal. Sultan menambahkan, seluruh lulusan akademi itu akan mendapat sertifikat kompetensi sesuai bidang keahliannya sehingga mereka diharapkan bisa lebih mudah untuk mendapat pekerjaan, baik di level nasional maupun internasional.
Sultan juga berharap agar Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi bisa mempermudah dan mempercepat proses pengembangan Akademi Komunitas Seni dan Budaya Yogyakarta. “Kehadiran akademi ini adalah untuk menghasilkan lulusan bersertifikat agar berpeluang untuk bisa tampil bahkan di arena internasional. Di situlah diharapkan peran Kemristekdikti agar mempermudah dan mempercepat prosesnya,” ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY Kadarmanta Baskara Aji mengatakan, Akademi Komunitas Seni dan Budaya Yogyakarta telah mulai menyelenggarakan aktivitas pendidikan sejak tahun ajaran 2014/2015. Sampai saat ini, akademi itu telah meluluskan 274 orang lulusan yang berasal dari tiga jurusan, yakni seni tari, seni karawitan, dan seni kriya kulit.
“Kebanyakan lulusan akademi ini bekerja sebagai pendamping budaya di desa-desa dan ada yang mendirikan sanggar seni,” kata Kadarmanta.
Adapun pendanaan lembaga itu berasal dari APBD DIY dan Dana Keistimewaan DIY. Sampai saat ini, seluruh peserta didik di akademi tersebut mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Daerah DIY sehingga mereka tak perlu mengeluarkan biaya sama sekali. Pemda DIY juga telah membangun gedung Akademi Komunitas Seni dan Budaya Yogyakarta dengan anggaran Rp 37 miliar.
Kadarmanta menuturkan, hingga sekarang, Akademi Komunitas Seni dan Budaya Yogyakarta masih berada di bawah pembinaan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ke depan, akademi tersebut diharapkan bisa berdiri sendiri. Namun, agar bisa berdiri sendiri, dibutuhkan surat keputusan dari Kemristekdikti tentang pembentukan satuan kerja akademi komunitas negeri.