Ma’ruf Tak Ingin Ulama Bernasib seperti Daun Salam
Oleh
HARYO DAMARDONO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Calon wakil presiden nomor urut 01, Ma’ruf Amin, menyatakan, sudah saatnya ulama duduk di kursi kepemimpinan negara. Jika dulu ulama lebih sering berdiri di belakang layar, kini waktunya berdiri tegak di panggung utama.
”Ulama itu dulu seperti daun salam yang merupakan bahan utama untuk dicari waktu akan memasak. Namun, juga menjadi barang pertama yang dibuang ketika masakan sudah matang,” kata Ma’ruf di Jakarta Pusat, Sabtu (2/2/2019), dalam istigasah bersama nahdliyin dan warga Jakarta Pusat, di Gelanggang Remaja Senen, Jakarta Pusat.
Menurut Ma’ruf, terakhir kali ulama duduk di pucuk tertinggi pimpinan negara adalah pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Kala itu, Gus Dur, yang juga merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), berhasil terpilih pasca-Reformasi 1998.
Ma’ruf menyebutkan, dirinya menerima ajakan Jokowi untuk mencalonkan diri dalam capres-cawapres sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepada seluruh ulama Indonesia.
Ma’ruf menilai, Jokowi memiliki semangat yang sejalan dengan NU untuk menjaga keutuhan bangsa. Toleransi menjadi jalan yang dipilih untuk mempersatukan rakyat Indonesia yang majemuk.
”Semangat keberagaman itu sesuai dengan prinsip ukhuwah Islamiyah (persaudaraan umat Islam) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa),” ucap Ma’ruf.
Ia mengajak warga NU memandang Pancasila sebagai titik temu kesepakatan dasar terbentuknya Indonesia.
Sikap toleransi harus tetap dijaga agar keutuhan bangsa dapat dipertahankan. Ma’ruf mengingatkan supaya jangan ada lagi caci maki yang ditiupkan untuk memecah belah bangsa dengan memojokkan suatu golongan. ”NKRI itu harga mati bagi NU,” ujarnya.
Hal itu sesuai dengan gaung Peringatan Hari Lahir Ke-73 Muslimat NU yang jatuh pada Minggu (27/1/2019). Sikap toleran dan Islam yang moderat itu terus diserukan sebagai jalan membangun dialog untuk menjembatani perbedaan demi menjaga persatuan bangsa.
Ma’ruf mengingatkan supaya jangan ada lagi caci maki yang ditiupkan untuk memecah belah bangsa dengan memojokkan suatu golongan.
Ketua Pengurus Besar NU Marsudi Syuhud menilai, perbedaan pilihan bukan hal baru dalam kehidupan bernegara. Ia berharap, perbedaan dalam pilihan politik bisa disikapi secara bijak sehingga tidak sampai mengganggu persatuan bangsa.
”Setiap hari, manusia berhadapan dengan persoalan menentukan pilihan,” kata Marsudi. Ia berharap, masyarakat mau berusaha memahami opsi yang tersedia secara mendalam terlebih dahulu sebelum menjatuhkan pilihan.
Marsudi mengimbau anggota NU tidak larut dalam kampanye politik yang menyerang unsur SARA dan bersifat menebar fitnah. Anggota NU diharapkan mampu menjadi duta Islam yang moderat dan toleran di masyarakat.
”Pilihan dibuat bukan untuk sekadar mengejar perubahan, tetapi lebih untuk mencapai kemajuan yang lebih baik,” ujar Marsudi.
Secara tegas, ia meminta para pasangan calon yang bersaing pada pemilu presiden nanti untuk mengutamakan kebaikan bersama daripada kemenangan pribadi. (PANDU WIYOGA)