Resiliensi Pasar Modal di Tahun Politik Cukup Kuat
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resiliensi pasar saham Indonesia dinilai cukup kuat pada tahun politik ini. Sebab, pasar modal memiliki rekam jejak positif pada tahun-tahun politik sebelumnya.
Kendati begitu, ada tren penurunan indeks harga saham gabungan sebelum dan sesudah tahun politik. Hal tersebut terutama disebabkan oleh faktor eksternal, baik kebijakan atau kondisi perekonomian sebuah negara maupun sentimen pelaku pasar global.
Hal itu mengemuka dalam bincang eksekutif bertema ”How To Encounter Industrial Revolution 4.0 Era and How The Result of The Presidential Election for Business Influence”, di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (31/1/2019). Dalam acara tersebut hadir Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gede Nyoman Yetna, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dan Founder Mahaka Grup Erick Tohir.
Nyoman Yetna mengatakan, ada beberapa indikator yang menunjukkan kondisi pasar saham Indonesia cukup kuat menghadapi pemilihan umum (pemilu) tahun ini. Indikator tersebut antara lain penguatan dan pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), peningkatan jumlah perusahaan yang melantai di pasar modal, dan peningkatan jumlah investor.
Kondisi pasar saham Indonesia cukup kuat. Indikatornya adalah penguatan dan pertumbuhan IHSG, peningkatan jumlah perusahaan yang melantai di pasar modal, dan peningkatan jumlah investor.
Pada 2018, IHSG menguat dan mencatatkan pertumbuhan tertinggi di Asia. Adapun untuk jumlah perusahaan yang menawarkan saham perdananya pada 2018 sebanyak 57 perusahaan. Jumlah itu merupakan tertinggi sejak 1992. Jumlah investor sepanjang 2018 juga meningkat sebanyak 36 persen dari tahun sebelumnya. Hingga saat ini, BEI memiliki sebanyak 1,6 juta investor.
”Kondisi ini mencerminkan bahwa pada tahun-tahun yang akan datang kondisi pasar saham cukup kuat,” ucapnya.
Menurut Nyoman, penurunan IHSG memang terjadi pada tahun-tahun sebelum dan sesudah elektoral, yakni 2004, 2009, 2014, dan 2019. Namun, penurunan indeks tersebut lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal.
Nyoman merinci, pada 2008 penurunan IHSG sebesar 51 persen terjadi karena krisis finansial Amerika Serikat (AS). Sementara itu, penurunan IHSG pada 2013 disebabkan oleh keputusan bank sentral AS mengurangi pembelian obligasi pemerintah oleh investor.
Hal itu membuat nilai tukar rupiah terkoreksi sebesar 26 persen. Kemudian, pada 2015 terjadi penurunan IHSG sebesar 12 persen karena ada kekhawatiran pelambatan pertumbuhan ekonomi China. Sebab, China merupakan salah satu tujuan ekspor yang cukup besar bagi Indonesia.
”Berdasarkan indikator dan catatan sejarah tersebut, BEI optimistis di sepanjang tahun politik ini akan berada pada kondisi yang baik. Dengan demikian, pelaku pasar modal tidak perlu khawatir,” kata Nyoman.
BEI optimistis di sepanjang tahun politik ini akan berada pada kondisi yang baik. Dengan demikian, pelaku pasar modal tidak perlu khawatir.
Sementara Burhanuddin mengemukakan, siapa pun presiden yang terpilih tidak akan mengubah kebijakan perekonomian Indonesia secara drastis. Sebab, kondisi yang akan dihadapi relatif sama.
”Siapa pun presidennya, kita tetap akan menghadapi tantangan global dan tantangan domestik yang sama. Kita akan tetap menghadapi dampak dari perang dagang AS-China dan pelambatan perekonomian China. Tidak akan ada perubahan yang begitu besar,” kata Burhanuddin.
Dalam kondisi seperti itu, para pelaku pasar modal biasanya lebih khawatir dan memilih menunggu hasil pemilu. Hal itu bisa dilihat sebagai peluang oleh pelaku ekonomi yang ingin mengembangkan usahanya.
”Saat yang lain masih wait and see, mengapa tidak mencoba maju? Sebab, pesaingnya menjadi tidak begitu banyak,” kata Burhanuddin.
Saat yang lain masih wait and see, mengapa tidak mencoba maju? Sebab, pesaingnya menjadi tidak begitu banyak.
Revolusi industri
Erick mengatakan, tahun ini Indonesia tidak hanya akan menghadapi tahun politik, tetapi juga Revolusi Industri 4.0. Indonesia juga akan mampu bertahan menghadapi dua kondisi tersebut.
”Agar kita bisa lebih optimistis menghadapi tahun politik dan Revolusi Industri 4.0 ini, perlu beberapa strategi. Saya percaya tidak semua mesin bisa menggantikan peran manusia sehingga masih ada kesempatan untuk kita semua,” ucap Erick.
Menurut Erick, ada beberapa strategi yang perlu dipersiapkan agar Indonesia siap menghadapi Revolusi Industri 4.0. Strategi tersebut antara lain pembangunan manusia, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan, dan ketahanan serta tata kelola pemerintahan yang baik. (KRISTI DWI UTAMI)