Rini Kustiasih, Agnes Theodora, dan Satrio Pangarso Wisanggeni
·4 menit baca
KPU mengumumkan, ada 49 caleg bekas narapidana perkara korupsi. Pengumuman ini menjadi masukan penting bagi calon pemilih saat menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2019.
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemilihan Umum mengumumkan 49 calon anggota legislatif peserta Pemilu 2019 yang berlatar belakang bekas narapidana perkara korupsi. Rekam jejak para caleg tersebut bisa menjadi bahan pertimbangan para pemilih saat menggunakan hak pilihnya pada 17 April 2019.
Dari 49 caleg bekas napi perkara korupsi yang diumumkan KPU, 40 orang adalah caleg tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari 12 partai politik. Adapun 9 orang lainnya adalah caleg Dewan Perwakilan Daerah dari tujuh provinsi.
Empat partai politik yang tak memiliki caleg bekas napi perkara korupsi adalah Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Solidaritas Indonesia.
Ketua KPU Arief Budiman, Rabu (30/1/2019), di Jakarta, mengatakan, pihaknya telah mengecek validitas data itu kepada KPU di daerah untuk memastikan nama yang diumumkan tidak ada yang salah.
Pengumuman itu dilakukan, lanjut Arief, sebagai bentuk tanggung jawab KPU untuk memberikan informasi seluas-luasnya kepada masyarakat mengenai penyelenggaraan pemilu.
”Yang terpenting, publik mengetahui informasi ini. Soal apakah mereka akhirnya memilih atau tidak memilih caleg-caleg ini, KPU tidak bisa memengaruhi mereka. Silakan publik menentukan pilihannya sendiri,” kata Arief.
Pengumuman nama caleg dengan status bekas terpidana korupsi itu, menurut Arief, telah diatur di UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 182 dan Pasal 240 UU itu menyebutkan, caleg dengan status bekas terpidana untuk diumumkan statusnya secara terbuka kepada publik.
Tidak keberatan
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk F Paulus mengatakan, Golkar tidak mempermasalahkan keputusan KPU mengumumkan nama-nama caleg bermasalah. Sikap Golkar ini merupakan wujud komitmen partai untuk menegakkan pakta integritas yang sudah ditandatangani semua caleg dan pengurus partai.
Terkait adanya caleg tingkat provinsi dan kota/kabupaten yang adalah bekas narapidana perkara korupsi, Paulus menuturkan, penyusunan caleg di tingkat daerah merupakan keputusan pengurus daerah dan tidak dapat diintervensi oleh DPP Partai Golkar.
Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria juga mengatakan, penyusunan caleg di tingkat provinsi dan kabupaten/kota ada di luar kewenangan DPP Gerindra.
Partai Gerindra, lanjut Riza, tidak mempermasalahkan langkah KPU mengumumkan nama-nama caleg yang bermasalah. Ia justru mendorong agar di kemudian hari, KPU juga menerapkan penyisiran rekam jejak yang sama pada pejabat eksekutif, seperti calon kepala daerah. ”Kami mendukung langkah KPU, tetapi tolong jangan hanya membuka nama-nama caleg bermasalah, tetapi pejabat lainnya juga,” ujarnya.
Apresiasi
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, mengatakan, langkah KPU itu bagus dan patut diapresiasi karena lembaga itu telah melaksanakan amanat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pengumuman KPU itu, tutur Mada, mesti ditindaklanjuti oleh berbagai kelompok masyarakat sipil dengan lebih menyosialisasikannya ke masyarakat, khususnya ke daerah pemilihan tempat para caleg itu berada. Dengan demikian, calon pemilih punya bekal informasi yang lebih kuat mengenai para calon wakil mereka.
”Pemilih punya peran penting dalam menentukan apakah para mantan napi perkara korupsi bisa mendapatkan suara atau tidak dalam pemilu. Pemilih diharapkan nantinya tidak memberikan suara kepada mereka yang memiliki catatan rekam jejak yang buruk,” kata Mada.
Mantan anggota KPU Hadar Nafis Gumay juga menyambut baik pengumuman nama-nama caleg berlatar belakang bekas napi korupsi. Bahkan, idealnya KPU tidak hanya mengumumkan caleg dengan latar belakang bekas napi korupsi, tetapi juga bekas napi di perkara lainnya.
”Banyak pemilih tidak mengetahui latar belakang calon wakil mereka yang terdaftar dalam daftar calon tetap. Ini merupakan upaya yang bagus dan memang harus dilakukan oleh KPU karena ini bagian dari tugas penyelenggara pemilu untuk memublikasikannya. UU telah mengatur bekas napi untuk mengumumkan statusnya, dan KPU dalam posisi menegaskannya saja dengan adanya pengumuman ini,” katanya.
Pemilih juga akan mendapatkan manfaat dari upaya ini karena mereka akan penuh pertimbangan dalam memilih, dan tidak asal memilih.
”Nah, dari mana orang itu tahu, tentu dia harus punya informasi. Di sini (KPU) sebetulnya informasi itu ada. Sebagai penyelenggara, tentu KPU harus membuka informasi itu karena hal itu juga menjadi hak pemilih untuk tahu,” ujar Hadar.
Selama ini, menurut Hadar, informasi dari KPU mengenai latar belakang calon legislator juga belum sepenuhnya optimal mengingat tidak semua caleg mau membuka profil dirinya di situs KPU.